Oleh: Ahmad Zazali, SH., MH.
Praktisi Sosio-Legal dan Resolusi Konflik
Managing Partner AZ Law Office & Conflict Resolution Center
Ketentuan hukum penyelesaian sengketa atau konflik di Indonesia secara umum bisa dilaksanakan melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi. Penyelesaian sengketa melalui litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa melalui mekanisme formal oleh aparat penegak hukum yang berujung pada putusan pengadilan. Sedangkan penyelesaian melalui non litigasi dapat berupa negosiasi, mediasi, arbitrase, fasilitasi, dan penilaian ahli merupakan proses penyelesaian sengketa yang hanya dilakukan di luar Pengadilan atau sebelum suatu sengketa masuk ke pengadilan.
Seiring perkembangan pembaharuan hukum, mekanisme non litigasi berupa Mediasi juga diadopsi dan diintegrasikan dalam perkara sengketa yang masuk di pengadilan sebagaimana dapat kita temukan ketentuannya dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan. Terdapat sanksi tegas apabila tidak menempuh prosedur mediasi, penyelesaian sengketa tersebut melanggar ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Sementara mekanisme non litigasi yang murni dilakukan di luar pengadilan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang ini lahir untuk menjawab kekosongan hukum yang muncul ketika ada kebutuhan penyelesaian sengketa bisnis dan penbankan sebagai dampak krisis keuangan di Indonesia pada tahun 1998 pasca lengsernya Presiden Soeharto. Belakangan peraturan lain bersifat sektoral yang mengadopsi mekanisme non litigasi banyak bermunculan seperti pada sengketa ketenagakerjaan, perbankan dan jasa keuangan, pemilihan umum, pertanahan, lingkungan hidup, kehutanan, kesehatan, pengadaan barang dan jasa, sengketa informasi publik dan lain sebagainya. Bahkan dalam 10 tahun terakhir mekanisme non litigasi juga diadopsi dalam penyelesaian perkara tindak pidana dengan istilah penyelesaian secara restorative justice yang dilakukan oleh kepolisian maupun Kejaksaan.
Penyelesaian Sengketa Pemilu
Belajar dari penyelesaian sengketa tahapan Pemilu antara Partai Prima dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Partai Politik lain dengan KPU sebelumnya, maka perlu dipahami bahwa kewenangannya ada pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada tingkat pertama, dan jika tidak puas dengan putusan Bawaslu dapat berlanjut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Penyelesaian oleh Bawaslu mengadopsi mekanisme non litigasi, dimana ketentuannya diatur melalui Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 9 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilu, sebagai penggati dari Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pemilu yang terakhir berubah melalui Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 5 Tahun 2019.
Penyelesaian sengketa Pemilu yang berada dalam wewenang Bawaslu adalah sengketa tahapan Pemilu yang terjadi antara partai politik peserta Pemilu dengan KPU sebagai penyelenggara Pemilu maupun sengketa antara sesama partai politik peserta Pemilu. Dalam penyelesaian sengketa, Bawaslu bersifat pasif yaitu menunggu permohohan, baik yang datang secara langsung maupun tidak langsung ke kantor Bawaslu Pusat, Provinsi, dan Kabupaten atau Kota hingga Kecamatan.
Alokasi waktu untuk menyelesaikan sengketa Pemilu oleh Bawaslu hanya 12 hari kerja. Pada tahap awal Bawaslu akan memanggil para pihak untuk menempuh Mediasi selama 2 hari kerja, dimana Komisioner Bawaslu bertindak sebagai Mediator atau Penengah, dengan harapan terjadi kesepakatan damai untuk selanjutnya diperkuat dengan Putusan Bawaslu. Namun jika Mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, maka penyelesaian akan berlanjut dengan sidang Ajudikasi dimana Komisioner Bawaslu akan bertindak sebagai Hakim Ajudikator dan akan memeriksa serta memutus penyelesaian sengketa Pemilu dalam kurun waktu tidak lebih dari 10 hari kerja.
Tantangan dan Solusi
Bawaslu secara kelembagaan maupun komisioner-komisionernya akan berhadapan dengan kesibukan yang luar biasa ketika tahapan Pemilu dimulai, terutama hubungnnya dengan banyaknya permohonan sengketa yang masuk ke kantor Bawaslu di semua tingkatan. Pada satu sisi Komisioner Bawaslu berwenang bertindak sebagai Mediator yang berupa memfasilitasi lahirnya kesepakatan perdamaian dengan prinsip netral, imparsial dan bebas dari konflik kepentingan, pada sisi lain jika Mediasi tidak berhasil maka Komisioner Bawaslu akan berganti wajah sebagai Majelis Ajudikator yang bertindak layaknya seorang hakim yang dituntut harus cermat dalam mengeluarkan keputusan.
Untuk itu, Komisioner Bawaslu menghadapi berbagai tantangan dalam penyelesaian sengketa Pemilu. Pertama, berkenaan dengan soft skill Komisioner Bawaslu dalam menyelenggarakan proses mediasi dan ajudikasi. Untuk bertindak sebagai Mediator, Komisioner Bawaslu harus memahami teknik mediasi dengan baik, karena memfasilitasi para pihak yang bersengketa memerlukan strategi dan tahapan khusus sesuai dengan konsep mediasi yang efektif. Seorang Mediator, tidak cukup hanya memiliki latar belakang pendidikan tinggi, tetapi harus memiliki pengalaman sebagai seorang fasilitator yang menjadi jembatan komunikasi yang tidak memihak. Pada saat salah satu pihak atau kedua pihak terlibat emosi, maka seorang Mediator harus bisa menengahi secara bijaksana dan proporsional. Begitu juga pada saat suasana mediasi mengarah pada kebuntuan, maka Mediator harus mampu menurunkan ego para pihak dan mengajak para pihak berpikir tentang solusi alternatif.
Begitu pula pada saat menjadi Majelis Ajudikator, maka Komisioner Bawaslu harus mampu melakukan telaah perkara berdasarkan rezim hukum kepemiluan berdasarkan asas berkeadilan. Termasuk kemampuan merumuskan pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat sebagai dasar dibuatnya kesimpulan, dan isi petikan putusan yang sesuai dengan bahasa hukum.
Kedua, Komisioner Bawaslu harus terbebas dari konflik kepentingan, baik saat menjadi Mediator maupun Ajudikator. Godaan untuk memenangkan salah satu pihak bersengketa dipastikan akan selalu ada, baik berupa iming-iming imbalan materi maupun imbalan dukungan politik untuk peningkatan karier ke depan. Pintu masuk kepentingan bisa melalui hubungan kekerabatan, pertemanan, maupun kontak langsung antara pihak bersengketa dengan anggota Komisioner Bawaslu. Profesionalitas sangat dibutuhkan agar sengketa dapat selesai dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan.
Ketiga, keterbatasan waktu penyelesaian sengketa yang hanya 12 hari dapat mengakibatkan Komisioner Bawaslu kurang cermat dan cendrung dituntut mengejar target. Sementara sengketa yang harus ditangani memiliki tingkat kerumitan yang berbeda-beda. Untuk sengketa yang sederhana, waktu 12 hari mungkin cukup, tetapi untuk sengketa yang rumit yang membutuhkan verifikasi dokumen dan konfirmasi saksi lebih lanjut, maka waktu 12 hari tidaklah cukup.
Keempat, jumlah sengketa yang masuk terkadang banyak dalam kurun waktu bersamaan, sedangkan jumlah anggota Komisioner Bawaslu hanya berjumlah 5 orang, dan jenis pekerjaan pengawasan Pemilu yang harus dilakukan beragam. Akibatnya penyelesaian sengketa Pemilu tidak dapat ditangani secara maksimal, baik di tingkat mediasi maupun ajudikasi, sehingga menyebabkan banyaknya Mediasi yang gagal mencapai kesepakatan, dan putusan ajudikasi yang berlanjut ke gugatan di PTUN.
Untuk mengatasi tantangan yang demikian, maka solusi terbaik untuk penyelesaian sengketa pemilu ke depan perlu dibenahi sejak proses rekrutmen calon anggota Bawaslu. Individu yang dipilih harus memenuhi kelayakan dari segi soft skill di bidang penyelesaian sengketa, misalnya dengan memasukkan syarat kemampuan komunikasi dan resolusi konflik dengan pengalaman penyelesaian sengketa yang dapat dibuktikan dari rekam jejaknya. Dari 5 orang anggota Komisioner Bawaslu setidaknya ada 2 orang yang memiliki keterampilan mumpuni di bidang penyelesaian sengketa. Anggota Komisioner yang sudah memiliki keahlian dalam penyelesaian sengketa diharapkan dapat menjabat minimal selama 2 priode, karena fungsi penyelesaian sengketa pemilu oleh Bawaslu sangat penting dan strategis.