AGRARIA.TODAY – Berbeda dengan Pilkada yang sarat kepentingan politik, pemilihan ‘Pj Gubernur’ yang sifatnya sementara, tentu mesti figur yang netral, tepat, dan adil; selain memang memiliki kapabilitas, pengalaman dan integritas memimpin DKI setelah masa tugas Anies dan Riza 16 Oktober 2022
Berikut ini pendapat Tokoh Nasional Prof. Jimly Anggota DPD RI dari Dapil DKI Jakarta 2019-2024, Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH, MH Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2003-2008 dan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum 2010).
Ada tugas penting, yang menurut Prof Jimly mesti segera disiapkan oleh Pj Gubernur DKI Jakarta yang baru nanti, yakni soal perubahan Undang-Undang tentang kedudukan Ibukota Negara RI yang baru, yang rencananya tahun 2024 akan pinda ke Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur.
UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Ibukota Negara di DKI Jakarta akan berganti dengan UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN (Ibu Kota Nusantara). “Jadi, secara hukum konstitusi, masih ada dua Ibukota. Segera cabut UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Ibukota Negara di DKI Jakarta… .” Demikian, Prof Jimly menegaskan.
Memang, meski di UU yang baru tentang IKN akan otomatis menggantikan UU yang lama, namun masyarakat perlu tahu supaya tak rancu. Kecuali, misalnya, ada tambahan sebagai berikut: ‘UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN, Perubahan/Pengganti UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Ibukota Negara di DKI Jakarta’.
Lebih lanjut, Prof Jimly memaparkan, bahwa selain perubahan UU tersebut bisa membantu kinerja presiden, “Pj Gubernur DKI Jakarta yang baru harus bisa dan mampu bersinergi dengan Kemendagri dan dengan DPR RI untuk menyelesaikan UU yang baru. Dari 3 calon yang punya pengalamam legislasi UU dan sudah biasa jadi tim penyusun UU adalah Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum.”
Mengingat ‘PR’ tugas penting tersebut, Prof Jimly mengingatkan dengan pernyataan: “Hentikan polarisasi dan politik identitas di Jakarta. Dan, Calon Pj Gubernur yang baru nanti mesti yang netral dari polarisasi dan politik identitas masa lalu.”
Selain soal persyaratan dan kemampuan serta pengalaman, masa transisi Pj Gubernur yang terbatas waktunya hanya sekitar dua tahun, tingkat kepercayaan masyarakat menjadi lebih tinggi dan kinerja Pemerintah Pusat pun akan terbantu.
Lebih lanjut, berikut ini pandangannya terhadap Dr Drs Bahtiar, M.Si yang dinilainya tepat, netral, dan adil sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta yang baru; selain memang karena sudah berpengalaman pernah jadi Pj Gubernur Provinsi Kepri.
“Daerah Khusus Jakarta Raya bukan ibu kota ekonomi, tapi kekhususannya ‘Kota Ekonomi’; maka kekhususannya itu di bidang Ekonomi dan perluasan wilayah Jabodetabek. Jadi nanti, Tanggerang, Bekasi, Depok, Tangerang Selatan, Bogor, yang di dalamnya ada kota dan ada kabupaten (termasuk Kabupaten Kepulauan Seribu atau Kabupaten Laut yang akan jadi Kabupaten Parawisata).
Sudah saya sampaikan, kalau nggak salah sudah 3 kali rapat dengan Pemprov DKI, tahun lalu dan tahun sekarang. Sebagai anggota DPD RI asal DKI, saya sudah kasih arahan, kita usulkan supaya saya tetap harus mempertahankan sebagai daerah khusus. Kita usulkan supaya masuk undang-undang IKN (‘Omni Buslaw’) yang menyangkut Ibu kota, mengubah undang-undang DKI sebagai wilayah khusus, tapi pada undang-undang IKN-nya tidak menggunakan undang-undang ‘omni buslaw’, jadi tinggal menyetujui undang-undang perluasan wilayah. Kalau disetujui, maka akan mengubah 2 undang-undang, yakni undang-undang tentang Jawa Barat dan undang-undang tentang Banten.
Kalau Bakhtiar sebagai Dirjen, mudah untuk mengubah undang-undang DKI. Apalagi, DPD RI asal DKI sudah mendukung. Menurut saya, Bakhtiar itu lebih tepat karena dia lebih netral. Sekarang ini kan perlu mengurangi imej politik dari jabatan kepala daerah. Hal ini karena mantan gubernurnya mau ‘nyapres’, supaya nggak kebawa-bawa terus ‘image’ politik pencapresan itu kepada PJ Gubernur yang akan meneruskan kepemimpinan itu di DKI. Maka, jangan yang dari istana.
Bakhtiar itu, disamping kualifikasi orangnya, ‘positioning’ tempat dia berasal, itu pas, lebih tepat kalau menurut saya. Dia bisa merangkul dua-duanya: dari istana karena dia orang pemerintah, dan dari DKI karena memang dia ‘ngurusin’ pemerintahan umum-kan. Maka, hubungannya dengan Pemda itu dekat selama ini. Jadi, dengan Pak Matali sebagai Walikota Jakarta Selatan… nah, Pak Matali sebagai mantan Walikota Jakarta Selatan selama ini dekat dengan saya. Dia jadi Sekda itu sudah pas.
Lagi pula, saya rasa Bahtiar lebih senior, Sekda-nya jangan diganti, tetap Pak Matali, jadi cocok. Sedangkan Setpres itu sebenarnya untuk melayani presiden lebih bergengsi Setpres dong daripada Pj DKI. Nah, kecuali kalau Presiden tidak puas dengan kinerjanya dia, dia dilempar ketempat lain.
Jadi, saya kira kalau dia diangkat jadi ‘Pj’, malah itu cermin yang tidak baik bagi presiden. Jadi, lebih baik dia terus melayani presiden lah… Nah, kalau dia masuk ke DKI, nantinya dia jadi figur politik karena yang dia gantikan adalah calon presiden. Nah, bisa saja dia bertentangan dengan calon presiden yang mantan gubernur. Kalau menang atau kalah, itu soal pilihan, makanya kalau dia jadi figur politik, bukan profesional lagi — sekarang dia masih profesional — makanya lebih baik dia melayani presiden.
Jadi, saya kira saya sebagai anggota DPD dari DKI, saya bisa bicarakan dengan teman-teman untuk mendukung supaya, pertama: ada undang-undang DKI agar tetap sebagai daerah khusus di bidang ekonomi dan kebudayaan; misalnya yang kedua, kemungkinan pertimbangan tentang memperluas wilayahnya bukan hanya DKI yang sekarang, tapi memasukkan juga Jabodetabek sehingga DKI ini menjadi daerah penyangga dan sebagai daerah ekonomi. Jadi, pusat ekonomi indonesia itu tetap di sini di Jakarta. Jadi bukan pusat pemerintahan lagi.
Artinya, 3 calon ini memenuhi syarat semua, dan saya kira sukses kalau dipilih. Tapi, secara “image” politik, yang paling baik itu Bakhtiar, lebih tepat menurut saya. Nah, Pak Jokowi ini pertimbangan politiknya lebih menonjol, apalagi kalau bisa diyakinkan oleh Menteri Dalam Negeri, saya rasa akan dipilihnya kalau objektif, ya yang dipilih itu Insya Allah Bahtiar.
Di antara sekian kelebihan semua calon, kelebihan yang paling banyak, ya Bahtiar. Lamanya dia menjabat di Kemendagri, saya nggak tahu, jangan-jangan dia juga menjabat dipercaya Presiden sebagai ‘Plt Provinsi Kepulauan Riau’. Jadi, sudah biasa… jadi, untuk menjadi Pj Gubernur DKl itu selama 2 tahun, itu mudah bagi dia.
Dan lagipula bagi saya sebagai Anggota DPD RI dari DKI Jakarta, kerjanya nanti mudah kolaborasi dengan Gubernur Bahtiar itu, misalnya mensukseskan undang-undang wilayah lebih mudah. Dia menguasai masalah di Kemendagri dan sering mewakili Mendagri di DPR RI. Dia juga kalau nanti jadi Gubernur DKI dan saya sebagai pribadi, ya lebih dekat dengan dia; dan dia juga jadi lebih mudah kita berkomunikasi. Sehingga, kami di DPD RI DKI itu ber empat, mudah untuk memberi dukungan ‘full’ kepada Pemprov DKI yang nanti dipimpin oleh Bahtiar. Hubungannya dengan partai-partai di DPR RI sudah terbiasa; Kalau Matali, belum.
Jadi kalau DKI ingin menyelesaikan masalah sehungan dengan undang-undang DKI, layaknya dia (Bahtiar) yang dipilih. Jadi kalau saran saya kepada presiden, sudah… dia yang dipilih (Bahtiar).
***
Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H.(lahir 17 April 1956) adalah akademisi Indonesia yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden pada tahun 2010.
Sejak Juni 2012 sampai dengan Juli 2017, ia dipercaya sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dari lembaga yang sebelumnya bernama Dewan Kehormatan KPU yang juga ia pimpin pada tahun 2009 dan 2010. DKPP ini ia perkenalkan sebagai lembaga peradilan etika pertama dalam sejarah, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di dunia.
Sebelumnya, ia merupakan pendiri dan menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pertama (2003–2008) dan diakui sebagai peletak dasar bagi perkembangan gagasan modernisasi peradilan di Indonesia.
Prof Jimly juga pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Gelar Pahlawan Nasional; dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang membentuk Peradilan Etika dan pernah menggelar sidang Pengadilan Etika saat penyelenggaraan Pilpres 2019.
Sampai saat ini, beliau telah menulis 76 buku dengan tema konstitusi; yang salah satunya yang terkenal:
Prof Dr H Jimly Asshiddiqie, SH, MH
salaah satunya judul :
“Green and Blue Constitution”
(Konstitu Hijau dan Biru Dasar Berwawasan Nusantara)