AGRARIA.TODAY – Sistem pemerintahan yang demokratis dengan pemilihan berkala menjadi norma global di dunia saat ini. Namun,manipulasi keputusan pemungutan suara dan konsekuensinya, bahkan di negara maju sekalipun sering luput dari pemantauan. Manajemen pemilu yang baik akan melibatkan keterlibatan publik yang konstruktif. Ini terdengar sangat utopia, karena banyak negara bukan hanya di Asia dan Afrika, terutama mereka yang berada di posisi kekuasaan, atau berharap untuk mendapatkan kekuasaan, akan tergoda untuk bermain-main dengan suara rakyat.
Prof.Dr.Nurliah Nurdin, Guru Besar Ilmu Politik menyatakan hal tersebut terkait pentingnya caretaker atau penjabat yang saat ini sedang marak diperbincangkan. Menurutnya, dalam skema demokrasi normal, pemilih secara berkala memutuskan nasib politik partai dan tokoh pemimpin. Ada kekhawatiran bahwa pemilih atau suara pemilih akan dimanipulasi atau disesatkan? Jika ini terjadi, maka seluruh seluruh negara dan sistem politiknya dilemparkan ke dalam kondisi parah dan gejolak berkepanjangan.
Argumen ini lah menjadi dasar pemikiran dan perdebatan yang sampai saat ini masih mempertanyakan sikap jujur dan adil akan banyaknya Pj yang akan ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan berlanjut di tangan presiden menjelang pemilu 2024.
Selama 2022-2023 ada 271 kepala daerah yang habis masa jabatannya dan akan digantikan oleh penjabat (pj) kepala daerah. Jumlah itu terdiri dari 24 gubernur, 56 wali kota, dan 191 bupati. Para pj kepala daerah mengisi kekosongan kekuasaan hingga ada kepala daerah definitif hasil Pilkada Serentak 2024.
Diantara 24 Pj Gubernur tersebut, yang menjadi trendsetter tentu saja Pj Gubernur DKI, pengganti Anies Baswedan, bukan hanya karena Anies telah digadang gadang menjadi bakal calon Presiden, namun Gubernur yang sering dianggap sebagai Gubernur Indonesia ini telah menjadi harapan karena kebijakannya yang banyak menyentuh rakyat kecil selain prestasi internasional telah membanggakan bangsa.
Dalam kondisi tersebut, Gubernur Anies pun harus melepas jabatannya, mematuhi aturan yang berlaku. Maka pemilihan caretaker atau Penjabat (Pj) Gubernur DKI pun tidak akan luput dari perhatian masyarakat luas. Mampukah melanjutkan 2 tahun kepemimpinan Anies tersebut? Pj Gubernur DKI menjadi tolak ukur keberhasilan Kemendagri dalam menjad netralitas menyongsong Pemilu serentak 2024.
Nurliah menyatakan, Untuk mencegah adanya tendensi dan argumentasi yang menentang kehadiran Pj karena dampak destruksif yang bisa terjadi maka kehatihatian perlu dilakukan dalam menentukan Pj Gubernur DKI Jakarta. Perlu sikap demokratis, transparan dan akutanbel pada sosok yang akan memimpin DKI sampai tahun 2024. PJ Gubernur DKI bertanggung jawab untuk menjalankan fungsi rutin pemerintah dan memastikan bahwa DKI Jakarta tidak berhenti pada saat antara pemilihan anggota DPRD dan pemerintahan baru dilantik. Dia juga harus tidak memihak dan tidak memiliki afiliasi politik sehingga tidak mencoba untuk mencampuri proses pemilihan atau mempengaruhinya ke arah tertentu.
Pengalaman nasional dalam memimpin dan membina politik dalam negeri karena skala DKI yang mengnasional menjadi sangat penting karena gejolak DKI menjadi barometer nasional. PJ adalah teknokrat untuk mengambilalih pemerintahan , bukan saja untuk memimpin rakyat dan birokrasinya tetap berjalan memberikan pelayanan terbaik bagi warga, namun satu tugas utama: menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pemilihan umum yang bebas dan adil pada Pemilu Serentak 2024. Nurliah yang telah melakukan beberapa studi komparasi pemerintahan, melihat bahwa caretaker dalam pernyaratan tersebut sangat layak dan tepat diamanahkan kepada Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri Bahtiar.