Kenangan Anggota Doni Monardo dari Singaraja dan Kariango
Kisah tercecer ini adalah kesaksian dua perwira menengah yang berada pada pusaran komando Doni Monardo.
Mereka adalah Kolonel Inf Tri Aji Sartono dan Letkol Inf Yudi Rombe. Saat itu, Tri Aji adalah Dandim 1418/Mamuju. Sedangkan Yudi Rombe adalah Dandim 1401/Majene
(Saat ini Letkol Inf Yudi Rombe mendapat tugas baru sebagai Irdya Intelter Itutum It Kostrad). Dua teritori Kodim di Sulawesi Barat, di bawah Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin.
Dua wilayah itulah yang tertimpa bencana alam gempa bumi dahsyat pada hari Jumat tanggal 15 Januari 2021. Gempa berkekuatan 6,2 SR tadi, meluluhlantakkan rumah-rumah, gedung-gedung perkantoran, hotel-hotel, jembatan, dan berbagai bangunan lain.
“Gempa pertama kami rasakan sore hari tanggal 14, tapi tidak signifikan. Gempa besar justru yang kedua, keesokan harinya 15 Januari sekitar jam 03.00 pagi. Gempa pagi menjelang subuh itulah yang berdampak serius, karena memang kami rasakan sangat kuat,” ujar Tri Aji.
Seketika Tri Aji mengecek pangkalan, asrama, kantor, dan lain-lain di lingkungan Kodim Mamuju. ” Kami mengevakuasi keluarga, lalu pukul lima semua anggota Kodim saya kumpulkan di Makodim,” ujarnya.
Pagi itu juga, ia melapor kepada atasan langsung, Danrem 142/Taroada Tarogau, Brigjen TNI Firman Dahlan. Aji juga meminta bantuan tambahan pasukan. “Kami mendapatkan tambahan 40 personel dari Korem 142/TT,” ujarnya.
Sejurus kemudian, melalui Sekda Tri Aji mendapat amanat Bupati, untuk “mengambil-alih situasi”.
Secara kronologis, Tri Aji menyebutkan, pukul 05.30 bantuan pasukan Korem sudah datang di kantor Makodim Mamuju di Jl. Ahmad Yani, Binanga. Juga tiba bantuan Basarnas Kabupaten Mamuju.
Sebanyak 20 personel Basarnas datang membawa truk dan berbagai peralatan. Tak hanya itu, Kalak BPBD Mamuju juga merapat ke Makodim.
“Semua unsur sudah berkumpul, lalu saya bagi tugas. Ada yang bertugas mengidentifikasi, pemetaan dan evakuasi. Fokus pertama adalah evakuasi atau pertolongan kepada korban yang terjebak reruntuhan bangunan,” ujarnya.
Hasil identifikasi diketahui ada beberapa titik yang terbilang parah. Satu bangunan rumah sakit, satu lagi bangunan minimarket, dan satu lagi bangunan di Jalan Pababari.
Dandim Tri Aji lalu membagi personel menjadi kelompok-kelompok. Per kelompok antara 5 – 7 orang dipimpin oleh bintara. Mereka dibekali Handy Talky sebagai alat komunikasi.
Telpon Doni
Selagi mengatur aktivitas evakuasi korban, telepon genggam berdering. Jam tangan menunjuk angka tujuh. Tri mengangkat telepon, dan terdengar suara yang tak asing baginya. Suara komandannya dulu ketika berdinas di Yonif 741/Satya Bhakti Wirottama, Singaraja, Bali. Ya, itu suara Doni Monardo. Correct Tri menyahut, “Siap. Selamat pagi Komandan!”
Di ujung telepon, pertama-tama Doni bertanya, “Bagaimana kamu Tri?” Setelah dijawab “Siap, alhamdulillah selamat!” Disusul pertanyaan kedua Doni, “Keluargamu bagaimana?” Kembali Tri Aji menjawab, “Siap, alhamdulillah selamat.”
Try pun melaporkan keadaan sejauh informasi yang ia dapat hingga pukul 07.00. Itu artinya empat jam dari gempa dahsyat yang terjadi pukul 03.00 pagi. Informasi yang ia sampaikan kepada Kepala BNPB Doni Monardo antara lain kerusakan kantor gubernur, rumah sakit, dan sejumlah bangunan lain dengan tingkat kerusakan parah.
Ubah Tujuan
Pagi itu 15 Januari 2021, di Jakarta, semula Kepala BNPB siap siap melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Sumedang, Jawa Barat bersama sejumlah anggota DPR RI dari Komisi 8.
Seketika mendengar kabar terjadinya gempa, Doni segera merubah rencana, berangkat ke Mamuju Sulawesi Barat.
Kami semua masih menginap di lantai 10, Graha BNPB. Gesit berkemas, kami meluncur ke Base Ops Bandara Halim Perdana Kusuma. Dalam perjalanan, karena satu mobil, saya menyimak Doni berbicara dengan Presiden Jokowi Widodo via sambungan telpon. Doni melaporkan apa yang terjadi di Sulbar kepada presiden.
Nah kembali ke kisah Tri Aji. Selesai menerima laporan dari Tri Aji, Doni menutup telepon dengan kalimat, “Tetap laksanakan dan lanjutkan kegiatan. Utamakan evakuasi korban. Selamatkan nyawa.”
Memang itulah yang terjadi hari pertama gempa. Seluruh aparat TNI-Polri, Basarnas, BPBD, dan berbagai unsur lain bahu-membahu melakukan evakuasi korban. Terik matahari tak terasa. Haus lapar tak dirasa. Matahari pun kian condong ke barat. Mereka seperti berkejaran dengan waktu untuk bisa mengevakuasi sebanyak-banyaknya korban, dan melarikannya ke rumah sakit.
Telepon kedua Doni Monardo kembali berdering. Doni dan rombongan siang itu sudah mendarat di Mamuju menggunakan Hercules TNI AU. “Tri, kamu di mana, saya di depan Kodim. Ayo kita ke rumah dinas gubernur,” terdengar perintah Doni di ujung telepon. Rupanya, Doni mampir Kodim untuk mengajak Tri bersama-sama ke rumah dinas Gubernur Sulbar Ali Baal. Sementara Tri masih berada di lapangan.
Rapat Dadakan
Di rumah dinas gubernur, kondisi relatif aman. Bangunan itu tampak retak di beberapa bagian, tetapi masih relatif utuh. Di sana, selain Doni Monardo, juga hadir Mensos Rismaharini dan Pangkogabwilhan II, Marsekal Madya TNI Imran Baidirus.
Setelah meminta laporan perkembangan serta situasi terakhir di lapangan, Doni Monardo langsung memberi arahan. Personel BPBD Mamuju diminta mencari lokasi yang representatif dibangun barak pengungsian. Semua pengungsi yang terpencar-pencar, harus segera dikonsentrasikan ke titik-titik pengungsian.
Malam itu juga ketemu 13 lokasi yang bisa dijadikan titik pengungsian. Sebagian bisa menampung hingga ribuan orang, sebagian lain ratusan pengungsi. Ke-13 titik itu tersebar di berbagai daerah di Mamuju.
“Bangun titik pengungsian yang memadai, perhatikan masalah air dan sanitasi. Mereka akan tinggal di tenda pengungsian untuk waktu yang relatif lama, sampai proses rehab-rekon selesai,” ujar Doni.
Setelah itu, Doni meminta Danrem Brigjen TNI Firman Dahlan mengkoordinir dua Kodim yang tertimpa bencana Mamuju dan Majene. Dandim Mamuju dan Dandim Majene masing-masing menjadi Komandan Sektor di teritori binaannya.
Usai briefing di rumah dinas gubernur, masing-masing kembali ke lapangan. Sebelum bubar, Doni memanggil Try dan memberinya tugas khusus, mendampingi Mensos ke stadion Manakarra Mamuju melihat para pengungsi di sana. Ketika itu, situasinya hujan.
Lacak Tengah Malam
Pukul 23.00, kondisi masih hujan, telepon berdering. Nama Doni Monardo muncul di layar HP. “Waktu itu saya di Kantor Kodim setelah selesai mendampingi bu menteri. “Tri, kamu di mana. Saya di Jalan Nomor 5,” kata Doni. Ia menangkap sinyal perintah, untuk segera meluncur ke sana.
Mendekati titik pertemuan, ia melihat Doni Monardo berdiri di pinggir jalan dalam kegelapan, karena aliran listrik padam.
Malam itu saya ikut menemani Doni. Rombongan pun mengecek sebuah bangunan yang runtuh di dekat Doni berdiri. Di rumah itu, pagi hari tadi viral seorang anak tertimpa reruntuhan dan diberi minum oleh penolong. Sementara ibunya meninggal tak jauh darinya.
“Tri, di mana anak yang tadi pagi masih tertimbun di rumah ini,” tanya Doni.
“Siap, kebetulan tadi pagi yang bertugas di area ini teman-teman dari Paskhas TNI-AU. Menurut informasi, anak itu sudah berhasil dievakuasi,” jawab Tri.
“Yakin?”
“Yakin!”
“Kalau yakin, cari di mana sekarang. Saya mau ketemu. Tapi kalau ternyata masih ada, itu pembiaran namanya. Besok pagi saya mau ketemu dia,” kata Doni.
Dengan basah kuyup Doni dan Tri kembali ke tempat masing-masing.
Terus Mencari
Malam pertama Doni dan rombongan BNPB melantai istirahat di rumah dinas gubernur. Sementara Tri kembali ke markas Kodim. Ia masih harus menuntaskan tugas mencari keberadaan si anak kecil yang selamat dari reruntuhan tadi.
Hingga fisik letih dan mata lelap, kabar itu belum juga didapat. Pagi-pagi sekali, ia kembali ke lokasi reruntuhan rumah yang semalam ia datangi bersama Doni Monardo. “Jam tujuh saya harus lapor. Wah, gawat kalau belum dapat info,” kata Tri, mengenang.
Tuhan maha baik. Seorang lak-laki yang rupanya tetangga korban, sedang berada di situ, melihat dan mencoba mengambil barang-barang di reruntuhan rumah yang masih bisa diambil dan diselamatkan. Nah, bapak-bapak itu yang memberi nomor HP orang yang menolong korban.
Tri segera menghubungi nomor telepon itu dan menanyakan keberadaan si anak. Info pun didapat, bahwa anak itu sudah selamat dan saat ini sudah berada di RS Palu untuk mendapat perawatan. Jarak Mamuju ke Palu lebih 400 km, dan jika lewat jalan darat harus ditempuh dalam waktu sekitar 10 jam.
Tri pun melapor ke Doni. “Jadi saya tidak bisa bertemu dia?” Tri spontan menjawab, “Bisa komandan, pakai helikopter!” Dan Doni menutup telepon dengan kalimat, “Ya sudah, pastikan dia baik-baik saja. Itu artinya tidak ada pembiaran terhadap korban.”
Apakah tugas selesai? Oh, belum. Doni memerintahkan Tri Aji untuk menyiapkan stadion bagi penampungan pengungsi. “Tri, siapkan stadion untuk menampung pengungsi yang layak dikunjungi Presiden,” perintah Doni.
Sejak itu, Tri fokus menata Stadion Manakarra menjadi lokasi pengungsian yang representatif dan tertata dengan baik. Manajemen terkelola dengan baik. Tidak saja terbangun tenda-tenda yang memadai, tetapi juga dilengkapi fasilitas kesehatan, dapur umum, serta gudang logistik dan sarana lain.
Presiden Tiba
Tanggal 19 Januari, empat hari setelah gempa, Stadion Manakarra pun dikunjungi Presiden
Joko Widodo. Presiden mengapresiasi kerja keras penanganan gempa Mamuju. “Tanpa arahan, bimbingan, dan dukungan pak Doni, mungkin tidak akan secepat itu penanganannya. Kebetulan saya paham sekali kepemimpinan beliau,” ujarnya.
Lomba Militer, Ibarat Persiapan Perang
Tri Aji pun mengisahkan, saat-saat berada di bawah komando Doni. “Waktu itu saya Letnan Dua, baru selesai tugas operasi Timtim, dan langsung ditempatkan di Batalyon Singaraja. Saat saya masuk, masih komandan lama. Dua bulan kemudian, masuk pak Doni menjadi Danyon berpangkat letnan kolonel,” ujarnya.
Yang terkesan ketika itu, bagaimana Doni menggembleng kesamaptaan prajurit batalyon yang dipimpinnya. Ia bahkan membentuk Peleton Tangkas, di mana Tri Aji yang ditunjuk menjadi komandan peleton (Danton).
“Setiap hari kami digembleng fisik, lalu diarahkan untuk menciptakan rekor-rekor tertentu dalam cabang olahraga. Baik olahraga militer maupun cabang olahraga umum,” kenang Tri Aji.
Doni menginginkan prajuritnya bisa mengukir prestasi di Porad, Pekan Olahraga TNI Angkatan Darat yang mempertandingkan cabang-cabang olahraga militer dan cabang-cabang olahraga umum.
“Sebelum ikut Porad, batalyon kami nyaris tidak ada yang kenal. Tapi setelah kami keluar sebagai Juara IV, barulah batalyon Singaraja mulai dilihat orang,” ujar Tri Aji bangga.
Betapa tidak, di event Porad, atlet-atlet Batalyon Singaraja harus bertanding dengan atlet-atlet prajurit dari kesatuan lain yang sudah kesohor.
“Juara 1 Kopassus. Ya, itu kesatuan lama pak Doni kan? Pantaslah. Kemudian juara 2 Kostrad Cilodong, juara 3 Kodam Jaya, dan juara 4 batalyon Singaraja. Wah kami bangga sekali bisa berprestasi di tingkat nasional,” katanya.
Tri bahkan yakin, jika waktu latihan lebih lama, bisa berprestasi lebih bagus. “Kami digembleng enam bulan. Dan saya kira semua prajurit yang pernah dipimpin beliau, pasti tahu, dalam menggembleng beliau tidak hanya memberi perintah, tetapi terlibat langsung. Ketika itu, beliau adalah sosok paling tangguh. Tidak ada prajurit lain yang mampu mengalahkan fisiknya,” puji Tri.
Kontingan terdiri atas 31 orang. Kesemuanya harus bisa dan siap diterjunkan di cabang mana pun. Baik olahrara militer, seperti lari lintas medan, renang militer, menembak, dan lain-lain. Olahraga umum seperti sepakbola, voli, tenis dan lain-lain. “Di cabang umum, saya masuk tim sepakbola,” ujar lulusan Akmil 1997 itu.
Seni Perang
Suatu ketika saya bertanya kepada Doni, mengapa ia begitu all out menyiapkan anggotanya untuk lomba olahraga, padahal mereka kan unsur militer, bukan atlit?
Menurut Doni, menyiapkan pasukan untuk ikut lomba olah raga militer adalah ibarat persiapan menuju medan perang perang.
“Ini semacam latihan mengukur kemampuan pasukan. Kita siapkan latihannya, makanannya, juga mentalnya. Jadi kegiatan lomba olah raga militer adalah juga persiapan berangkat bertempur, berangkat ke medan perang. Komandan Kompi, Komandan Batalyon wajib belajar mengatur strategi. Mengatur dan mengukur kekuatan anak buah. Ini sebuah seni,” ungkap Doni.
Dalam pertandingan olah raga sipil, seorang atlit umumnya bertanding cukup dalam satu kecabangan. Namun dalam lomba olah raga di dunia militer, seorang atlit bisa ditugaskan bertanding beberapa cabang. “Misalnya seorang atlit militer bertanding di cabang lari, terus renang, sepak bola dan juga menembak. Satu orang ikut lomba di empat cabang,” kata Doni memberi contoh.
Intinya, Doni menanamkan ruh slogan “lebih baik mandi keringat di dalam latihan daripada mandi darah dalam penugasan di medan tempur”.
Hukuman Doni
Ketika ditanya, apa pernah mendapat hukuman dari Doni Monardo selaku komandannya? Tri Aji spontan tertawa terbahak. “Pernah. Malam-malam ketahuan merokok. Padahal, saya sudah sembunyi-sembunyi… eh ketahuan. Ya habislah dimarahi, dijungkir-balik. Waktu itu usia saya 25 tahun, dan ya itu memang karena kebandelan saya,” ujar Tri masih dalam derai tawa.
Doni Monardo diakui mengajarkan banyak hal. Prinsip-prinsip kepemimpinan militer ditanamkan betul dan melekat hingga sekarang. “Selama di Mamuju saya ingat betul pesan beliau, agar mengutamakan keselamatan warga. Selama beliau di Mamuju, selalu memanggil dan memberi perintah. Mulai dari tugas evakuasi, penyiapan pos pengungsi, penyaluran sembako, penyiapan fasilitas Rumah Sakit Darurat, membuka jalan terisolir di Desa Bela dan Kopeang, dan lain-lain. Ya begitulah beliau, perintah mengalir seperti air,” ujar Tri lagi-lagi diiringi tawa senang.
Perhatian Doni sehari-hari tertuju kepada persoalan-persoalan yang belum terselesaikan, lalu menuntaskannya. “Saya termasuk mendampingi beliau ke lokasi-lokasi bencana menggunakan helikopter. Selama itu pula, saya harus siap menerima perintah-perintah baru,” katanya.
Bahasa Militer
Beda tempat, beda situasi, tetapi ada sedikit kemiripan. Ini kisah yang disampaikan Dandim Majene Letkol Inf Yudi Rombe. Jarak Mamuju ke Majene sekitar 228 km atau 25 menit menggunakan helikopter. Tak heran jika dampak gempa Mamuju juga ikut meluluhlantakkan sebagian wilayah Majene.
Sama seperti yang terjadi di Mamuju, maka di Majene pun merasakan gempa besar kedua 15 Januari 2021 pagi dinihari.
Yudi pun langsung menghubungi dan mengecek kondisi Koramil yang ada di wilayahnya. Koramil Tapalang, Koramil Mambi, Koramil Sendana, dan Koramil Malunda. Dari semua, hanya Koramil Malunda yang tingkat kerusakannya terbilang lumayan. Selebihnya relatif aman.
Hari itu juga, Yudi Rombe berinisiatif mengumpulkan Forkopimda Majene. Unsur kepala daerah, BPBD, PUPR, Dinkes, Dinsos, dan lain-lain. Rapat dadakan itu menunjuk Yudi Rombe sebagai Komandan TCR (Tim Reaksi Cepat) bersama Wakapolres.
Dinas terkait bekerja bersama-sama unsur TNI-Polri dalam bidang-bidang yang sudah disepakati. Dinsos dan Pasiter misalnya, menghimpun para pengungsi dan mencarikan titik-titik pengungsian. Titik-titik pengungsian yang kecil-kecil, disatukan menjadi satu titik besar agar lebih mudah penanganannya.
Kesulitan lain, yakni sarana komunikasi. Signal selular timbul-tenggelam, menyulitkan kerja koordinasi. Dandim Yudi bersama Bupati Majene, Lukman menginisiasi penggalangan model swadaya. “Bupati menggunakan dana yang ada. Kodim juga begitu, Polres juga demikian. Semua berinisiatif mengeluarkan anggaran untuk pengadaan logistik bagi keperluan para pengungsi,” ujar Yudi.
Tentu saja masih belum memadai. Akibatnya, ada pengungsi kelaparan karena bantuan logistik yang tidak mencukupi untuk dibagi rata kepada pengungsi yang berjumlah hampir 800 orang. Beruntung, hari kedua bantuan logistik mulai berdatangan.
Di awal-awal, sempat terjadi kegaduhan akibat ulah sekelompok orang yang kurang betanggung jawab. Pernah terjadi kasus pengambilan paksa bantuan logistik dengan mengatasnamakan kepala desa atau kepala dusun. Padahal, untuk kelompok tendanya sendiri. Akibatnya, bantuan tidak merata. Ada tenda yang berlimpah logistik, sementara ada tenda pengungsi yang kekurangan.
Teritori Yudi Rombe yang terkoyak terdiri atas dua kecamatan: Malunda dan Ulumanda. Yudi memanggil Danramil dan Camat, termasuk para kepala desa saat itu juga. Yudi menerapkan peraturan, tidak akan ada bantuan tanpa disertai kebutuhan tertulis dari masing-masing Kades. Pak Camat juga diminta memantau setiap aliran bantuan. “Prinsipnya tidak melayani permintaan yang bersifat pribadi. Saat itu saya menerapkan kebijakan yang agak keras. Tapi tujuannya agar pembagian logistik, merata dan tepat sasaran,” tegas Yudi.
Hari kedua itu pula saya dan Kepala BNPB Doni Monardo tiba di Majene menggunakan helikopter.
“Rombe, saya perintahkan kamu bikin stiker, Petakan kelompok-kelompok pengungsian, pisahkan yang usia tua dengan yang muda. Pisahkan kelompok rentan dan komorbid. Atur posisi bagian logistik, keamanan dan kesehatan,” ujar Yudi menirukan perintah pertama Doni Monardo sesaat setelah tiba di Majene.
Setelah mendapat instruksi Doni Monardo, Yudi Rombe langsung menggelar rapat kilat. Ia mendistribusikan penugasan sesuai arahan Doni Monardo. Hari ketiga, aliran bantuan makin kencang. “Karena sudah dibentuk kelompok-kelompok, jadi saya tinggal panggil para ketua kelompok didampingi bagian logistik,” ujar Yudi.
Manajemen Alur Bantuan
Para Kades dan Camat juga hadir di setiap kelompok. Mereka yang berfungsi menjadi pengawal sekaligus pengawas, sehingga semua sistem berjalan bagus sampai tuntas. Distribusi logistik, sempat mengalami kendala memasuki Kecamatan Ulumanda, karena akses jalan putus.
“Saya minta bantuan helikopter kepada pak Doni untuk mendistribusikan bantuan. Begitu datang helikopter, semua berjalan lancar. Wilayah terdampak yang tidak bisa diakses kendaraan, saya perintahkan Babinsa untuk menembus dengan sepeda motor. Saya perintahkan, kendalikan masyarakatmu jangan sampai rebutan, dan jangan sampai jatah satu desa jatuh ke desa yang lain,” tegas Yudi mengulang perintahnya.
Tidak hanya itu, Yudi juga menginstruksikan para Babinsa mencari titik-titik yang bisa dijadikan helipad, atau pendaratan helikopter. Setelah Babinsa turun tangan, bekerjasama dengan unsur Babinkhamtibmas dan lain-lain, persoalan makin terkendali.
Doni Monardo kembali mengunjungi Majene di kesempatan lain, khusus untuk mengecek akses jalan yang terputus. “Rombe, ini bagaimana?” kata Doni menunjuk akses jalan yang masih terputus. Yudi sigap menjawab, “Izin Bapak, saya sudah memanggil Dinas PUPR dan Zipur ke sana. Semua sudah berjalan, beberapa titik jalur putus, sudah mulai tersambung. Kami juga merekolasi satu dusun,” lapor Yudi kepada Doni.
Problem penanganan bencana Mamuju – Majene tidak hanya persoalan evakuasi korban, logistik, dan perbaikan akses jalan yang terputus, tetapi juga pengendalian Covid—19. “Pertama pak Doni datang, sempat ditegur karena banyak yang tidak pakai masker. Tapi kemudian pak Doni mengirimkan bantuan masker lewat Deputi BNPB Ibu Prasinta,” katanya.
Semua bantuan langsung didistribusikan. Kebetulan, tenda-tenda pengungsian pun sudah dipilah sesuai instruksi Doni Monardo. Untuk ibu-ibu tenda sendiri. “Kebetulan ada dua kasus melahirkan,” katanya.
“Meski pak Doni tidak tiap hari di Majene, karena posko beliau di Mamuju, tapi semua instruksinya saya jalankan. Sebab saya tahu persis karakter beliau, perfeksionis. Sekali kasih perintah, pasti akan dicek. Jadi tentang prokes juga menjadi perhatian saya, karena beliau menekankan pentingnya memakai masker. Sebab, dalam situasi seperti itu, kerumuman pasti tak terhindarkan,” katanya.
Kenangan Kariango
Yudi Rombe dua tahun menjadi perwira di bawah Doni Monardo, saat Doni menjabat Danbrigif Linud 3/Tri Budi Mahasakti (2006—2008) Kariango, Sulawesi Selatan. Terinspirasi kepemimpinan Doni, maka Yudi Rombe dalam bekerja menangani bencana alam di Majene pun menyandarkan semua tindakannya kepada konsep kerja ikhlas.
“Bahwa kemudian mendapat apresiasi, terima kasih. Tetapi saya bekerja tidak mengejar apresiasi. Itu didikan yang saya dapat dari pak Doni, maupun saat menimba ilmu di Seskoad. Itu pula yang saya praktikkan, di berbagai medan tugas. Pernah menangani bencana banjir di Kendari, saat menjadi Kasi Ops Korem,” ujarnya.
Kisah Tragis
Mengisahkan interaksinya dengan Doni Monardo di Kariango, ada satu peristiwa yang tidak pernah bisa ia lupakan. Peristiwa itu terjadi sangat cepat, dan ia menjadi saksi mata. Disebutkan, pada suatu masa, prajurit latihan terjun payung.
“Nah, satu payung ada yang tidak mengembang sempurna. Mengetahui itu, pak Doni sebagai Dan Brigif lari sangat kencang. Ketika di depan ada lubang yang sangat lebar, beliau melompat setinggi-tingginya. Ukuran normal, saya kira tidak ada manusia yang mampu melompat sejauh itu, tapi entah karena apa, pak Doni berhasil melompati lubang itu, dan berhasil menangkap prajuritnya yang nahas itu. Kejadian itu tidak akan pernah saya lupakan,” kisah Yudi Rombe.
Atas peristiwa itu, Doni pun mengingat dengan baik dan berkomentar, “Alhamdulillah walaupun payung kuncup namun anggota tidak cedera serius. Masalah keamanan harus nomor satu. Tidak boleh ada yang cedera apalagi sampai meninggal karena latihan. Di daerah operasi juga. Target berangkat dan pulang harus dengan jumlah yang sama serta misi berhasil dilaksanakan,” kenangnya.
(Catatan Egy Massadiah dan Roso Daras)