Penulis:
Ahmad Zazali, S.H.
Senior Associate – AZ Law Office & Conflict Resolution Center
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan pristiwa pemberian sanksi adat oleh masyarakat hukum adat suku Sakai kepada salah satu LSM Lingkungan di Riau, yang disebabkan oleh dugaan kesalahan tidak mencantumkan penulisan nama atau gelar, tanggal lahir dan dugaan penggunaan data-data serta informasi tanpa pesertujuan (consent) dari masyarakat suku Sakai. Sanksi adat yang diberikan yaitu berupa kain putih dan tepak sirih, yang dimaknai sebagai permintaan maaf atas kesalahan yang dilambangkan dengan kain putih sebagai kesucian (bersih) dan pengakuan kesalahan[1].
Dalam perspektif hukum nasional masyarakat hukum adat termasuk hukum adatnya telah mendapat tempat yang istimewa, kendati banyak kasus hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayat dan tanah adatnya terabaikan dari pengakuan hukum positif dan dalam kebijakan pembangunan di berbagai macam sektor. Sebuah perjuangan panjang untuk memperjuangkan Undang-Undang tentang penghormatan, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat juga sedang diadvokasi oleh banyak pemerhati dan aktivis masyarakat adat. Bahkan sudah ada draf RUU yang beberapa kali masuk program legislasi nasional (prolegnas) oleh DPR RI di senayan Jakarta, namun hingga hari ini belum mendapat persetujuan untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Tentu kita semua yang peduli akan nasib Masyarakat hukum adat dan sangat mendukung lahirnya UU khusus tentang Masyarakat Adat ini.
Dukungan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat juga harus termanifestasi dalam wujud pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi dan pengakuan penerapan hukum adat oleh suatu masyarakat adat. Subyek yang bisa mendcapatkan sanksi adat juga seharusnya tak boleh diskriminatif, termasuk dan tidak terbatas pada invidu maupun badan hukum seperti korporasi, LSM maupun pemerintah. Karena itu, untuk menumbuhkan kepedulian kita akan perjuangan masyarakat hukum adat, maka di bawah ini akan kami uraikan konsep dan pandangan-padangan mengenai masyarakat hukum adat, hukum adat dan sanksi adat dalam perspektif hukum yang hidup di tengah masyarakat namun tidak terkodifikasi maupun dalam perspektif hukum nasional yang sudah terkodifikasi.
Masyarakat hukum adat, termasuk Suku Sakai memiliki hukum adat dan kearifan tradisionalnya sendiri yang wajib dihormati sebagai bagian dari prinsip hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi Indonesia, Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 sebagai hasil amandemen kedua menyatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang – undang negara RI”. Kemudian diperkuat lagi dalam Pasal 28I ayat (3) yang mengatakan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Pengakuan Masyarakat hukum adat juga ada dalam deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat (UNDRIP – United Nation on Declaration on the Right of Indigenous Peoples).[2] Jauh Sebelum lahirnya UNDRIP, Konvensi ILO No. 169 atau Konvensi Masyarakat Adat 1989 menjadi instrumen internasional pertama yang mengakui Masyarakat Adat. Konvensi tentang Masyarakat Adat yang ditetapkan oleh negara-negara anggota Organisasi Perburuhan Internasional pada 1989 itu, bertujuan untuk merevisi Konvensi ILO No. 107 (Konvensi Masyarakat Adat 1957). Prinsip utama konvensi tersebut adalah perlindungan terhadap Masyarakat Adat atas kebudayaan, gaya hidup, tradisi, dan kebiasaan.
Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turuntemurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.[3] Sedangkan, menurut Ter Haar pula merumuskan masyarakat hukum adat yaitu kelompok – kelompok teratur yang sifatnya ajek dengan pemerintahan sendiri yang memiliki benda – benda materil maupun immaterial. Juga merupakan kesatuan- kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.
Sedangkan menurut AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Masyarakat Hukum adat identik dengan terminologi “Indigenous Peoples” yang dipakai secara global dan didefenisikan sebagai “Masyarakat Adat.” Masyarakat Adat sendiri didefenisikan AMAN sebagai kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun-temurun. Masyarakat Adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial-budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan Masyarakat Adat sebagai komunitas adat.[4]
Hukum Adat
Istilah hukum adat pertama sekali diperkenalkan oleh Snouck Hurgronje pada Tahun 1893 dalam bukunya De Atjehnese. Dalam buku itu dia memperkenalkan istilah Adatrecht (hukum adat) yaitu hukum yang berlaku bagi bumi putra (orang Indonesia asli) dan orang timur asing pada masa Hindia Belanda. Hukum adat baru mempunyai pengertian secara tehnis yuridis setelah C. Van Vollenhoven mengeluarkan bukunya yang berjudul Adatrecht. Dialah yang pertama sekali menyatakan bahwa hukum adat merupakan hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia asli dan mejadikannya sebagai objek ilmu pengetahuan hukum positif serta dijadikan sebagai mata kuliah tersendiri. Dia juga yang mengangkat hukum adat sebagai hukum yang harus diterapkan oleh hakim gubernemen.[5]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hukum adat merupakan hukum asli Indonesia. Adat sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Kebiasaan tersebut ditiru dan akhirnya berlaku untuk seluruh anggota masyarakat. Hukum adat tidak tertulis akan tetapi dipatuhi oleh anggota masyarakat adat. Hukum adat merupakan bentuk dari adat yang memiliki akibat hukum.
Hukum adat berbeda dengan hukum tertulis ditinjau dari bentuk sanksi yang diberikan kepada orang yang melakukan pelanggaran. Bentuk sanksi hukum adat menitikberatkan pada bagian moral serta material, hukum adat tidak mengenal penjara sebagai tempat para terpidana menjalani hukuman yang telah ditetapkan oleh hakim.
Hukum adat merupakan adat yang disertai dengan sanksi. Apabila ada adat yang tidak memiliki sanksi maka hal tersebut berupa bentuk aturan perilaku dan secara terus menerus berlaku dalam masyarakat sehingga disebut sebagai kebiasaan yang normatif. Oleh karena itu, perbedaan antara hukum adat dengan adat kebiasaan itu sendiri tidak jelas titik batasannya. Hilman Hadikusuma menambahkan bahwa hukum adat dapat juga dikatakan sebagai hukum pelanggaran adat. Hukum adat merupakan aturan – aturan yang menjadi pedoman berperilaku demi terjalinnya keseimbangan antara kehidupan bermasyarakat.
Penerapan Sanksi Adat
Sanksi adat menurut Lesquillier didalam disertasinya “ het adat delectenrecht in de magische werel de beschouwing” mengemukakan bahwa sanksi adat merupakan tindakan – tindakan yang bermaksut mengembalikan ketentraman magis dan meniadakan atau menetralisis suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh pelanggaran adat.
Reaksi yang berupa penghukuman atau sanksi itu sangat perlu dilakukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi titik goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujut. Sanksi adat merupakan upaya untuk mengembalikan keseimbangan dari sifat masyarakat adat yaitu sifat magis, sanksi adat itu dapat menetralisirkan kegoncangan yang terjadi apabila terjadi pelanggaran adat. Sehingga sanksi adat dapat berfungsi sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan, wujut dari nilai – nilai dan perasaan masyarakat yang bersangkutan.
Sanksi adat dijatuhkan oleh pemimpin masyarakat hukum adat. Hukum adat tidak tidak selamanya identik dengan sanksi adat, namun masyarakat menjadikan sebagai alternatif terakir ketika sesorang tidak menaati norma yang hidup dalam masyarakat tersebut.
Mangambil contoh pemberlakuan sanksi adat pada Desa Adat/Pekraman di Bali sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki tiga klasifikasikan sanksi yang dikenal dengan nama tri danda (tiga sanksi), yaitu pertama, Arta danda (sanksi berupa harta benda atau benda-benda materiil), kedua Sangaskara danda (sanksi berupa pelaksanaan upacara tertentu, sesuai dengan ajaran agama Hindu), dan ketiga Jiwa danda (sanksi berupa penderitaan jasmani dan rohani/jiwa).
Sanksi adat dalam perspektif hukum nasional
Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia penjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan sifatnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam kedaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. (Supomo, 1963 : 6). Dari pandangan supomo tersebut diatas jelas bahwa hukum adat sebagai suatu pernyataan kebudayaan bangsa Indonesia adalah salah satu perwujudan dar cara berpikir, mentalitas bangsa Indonesia dalam wujudnya hukum adat.
Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dan peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Setiap terjadi pelanggaran terhadap peraturan hukum yang ada akan dikenakan sanksi sebagai reaksi oleh masyarakat atau pengurus adat terhadap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum.
Secara garis besarnya dapat dikatakan sanksi adat berfungsi sebagai kontrol social dalam masyarakat adat. Sebagai kontrol sosial berfungsi mempertahankan kaidah-kaidah/nilai-nilai pola-pola hubungan yang ada. Hal ini dapat dilakukan secara preventif, misalnya melakukan sosialisasi, penyuluhan dan sebagainya. Secara represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu dengan menjatuhkan sanksi negatif terhadap warga yang melanggar atau menyimpang dari nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang berlaku.
Setiap perbuatan yang mengganggu keseimbangan kosmis yang merupakan pelanggaran hukum adat wajib mengambil tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan hukum. Tindakan –tindakan yang diambil yang oleh Ter Haar disebut dengan adatreactie (reaksi adat) yang dalam masyakat suku-suku di Indonesia, termasuk suku Sakai lebih dikenal dengan istilah sanksi adat. Sanksi adat ini kemudian diformulasikan kedalam bentuk Pamidanda (hukuman), yang berupa Sangaskara Danda (hukuman dalam bentuk melaksanakan upacara agama dan Jiwa danda (Hukum pisik dan Psikis).
Berbicara mengenai sanksi maka persoalan pada umumnya mengarah pada hukum pidana, meskipun diketahui bahwa hukum adat tidak mengenal perbedaan antara pelanggaran yang bersifat perdata dan pelanggaran yang bersifat pidana (Privat atau Publik). Hukum pidana adalah bagian dari keseluhan atauran hukum yang berlaku yang mengatur perbuatan yang dilarang yang disertai sangsi yang berupa pidana. Dapat dikatakan hukum pidana adalah hukum sanksi (Pidana).
Untuk memahami sanksi dalam delik adat menurut konsep hukum adat, tidak dapat mengkajinya dengan menggunakan konsep hukum barat. Hukum adat tidak mempunyai sistem pelanggaran yang tertutup. Hukum adat tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan terlebih dahulu seperti hal nya Pasal 1 ayat 1 KHUP ( Supomo. 1963 : 93), meskipun diketahui bahwa hukum adat tidak mengenal perbedaan antara pelanggaran yang bersifat perdata dan pelanggaran yang bersifat pidana (Privat atau Publik).
Sanksi adat merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan keseimbangan magis. Dengan kata lain sanksi adat tersebut merupakan usaha untuk menetralisir kegoncangan yang terjadi sebagai akibat perlanggaran adat. Jadi sanksi adat berfungsi sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib. Dan wujudnya dari sanksi adat bermacam-macam tergantung pada nilai-nilai dan perasaan keadilan masyarakat bersangkutan.
Kadang-kadang sanksi adat yang diterapkan/dijatuhkan kepada warga yang melanggar hukum adat tidak diterima atau ditaati oleh si terhukum. Penolakan pentaatan terhadap sanksi tersebut menimbulkan reaksi masyarakat hukum adat yang bersangkutan, misalnya aksi masa pembakaran, perusakan sarana ibadah bahkan sampai pertentangan fisik.
Reaksi/tindakan masyarakat tersebut tentunya tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh sanksi adat yaitu mengembalikan keseimbangan hubungan kosmis yang terganggu, tetapi justru muncul gangguan terhadap ketentraman , ketertiban masyarakat, dan keadilan bahkan kadang-kadang lebih parah lagi, muncul pelanggaran yang mengarah ke pelanggaran hukum nasional.
Berbagai kasus-kasus adat yang demikian ini perlu dipahami bersama, baik oleh masyarakat, pimpinan adat sebagai pengambil keputusan, tentang keberadaan sanksi adat khususnya dalam penerapan sanksi adat tersebut, sehingga tidak sampai timbul arogansi dalam penjatuhan sanksi adat dan bertentangan dengan hukum (pidana) nasional apalagi mengarah kepada pelanggaran HAM.