Oleh : Eko Sulistyo

Kehadiran Presiden Joko Widodo di Glasgow, Scotlandia, untuk menghadiri COP-26 tentang Perubahan Iklim, selain memiliki arti strategis, juga ekspektasi terhadap peran Indonesia dalam pembahasan isu-isu global. Apalagi posisi Indonesia saat ini sebagai Presidensi G-20, yang merupakan kumpulan negera-negara berpendapatan tinggi di dunia. Indonesia diharapkan bisa menjadi pelopor dalam penerapan kebijakan pembangunan yang lebih hijau dan rendah emisi.

Tidak heran jika belakangan ini menuju COP-26, banyak pemimpin dunia, memuji dan mengapresiasi kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam bidang iklim dan lingkungan. Seperti disampaikan John Kerry, Utusan Khusus Presiden AS untuk isu perubahan iklim, yang menyatakan Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin pembangunan yang lebih hijau dan berperspektf iklim. Selain keberadaan hutannya, Indonesia juga memiliki potensi sumber energi terbarukan (EBT) terbesar di dunia, termasuk keberadaaan nikel.

Sebelumnya, apresiasi yang sama pernah disampaikan Presiden COP-26, Alok Sharma. Saat berkunjung ke Jakarta, Juni lalu, Sharma menawarkan kepemimpinan (Co-Chair) COP-26 pada Presiden Joko Widodo, dan menyebut Indonesia sebagai negara “super power” di bidang penanggulangan iklim. Sharma terkesan dengan upaya dan kemajuan Indonesia di bidang iklim, khususnya dalam pengendalian laju deforestasi dan penanaman mangrove secara masif.

 

Target NDC

COP atau Conference of the Parties, merupakan Konferensi Para Pihak di bidang iklim di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Diikuti oleh negara-negara yang telah menandatangani Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Pertemuan sebelumnya adalah COP-21, yang diselenggarakan di Paris, Desember 2015, yang melahirkan Kesepakatan Paris atau Paris Agreement.

Indonesia telah memasukkan kesepakatan global tersebut dalam sistem hukum nasional melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement. Sejak itu, Indonesia berkomitmen melakukan kontribusi terhadap lingkungan atau target NDC (Nationally Determined Contribution), yang menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan rendah emisi dan berketahanan iklim. Kebijakan ini juga masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, melalui sektor energi, transportasi, kehutanan, industri dan pertanian.

Dalam target NDC Indonesia kedua yang telah direvisi (updated), penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) adalah tetap, seperti NDC pertama, yakni 29 persen pada 2030 atau 41 persen dengan dukungan internasional. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dalam siaran pers, 23 Maret 2021, dengan dukungan internasional, Indonesia memiliki skenario yang lebih ambisius melalui Low Carbon Compatible with Paris Agreement (LCCP).

Baca juga  Melacak Jejak MacArthur Di Padaidi

Di sektor kehutanan dan penggunaan lahan, Indonesia diproyeksikan mendekati pada kondisi sebagai penyerap karbon netto pada 2030. Kemudian rencana pengurangan batubara secara bertahap hingga 60 persen pada 2050, dan menuju nett zero emission pada 2070. Updated NDC ini untuk memperbarui informasi tentang Visi Pemerintah dan Pembangunan Jangka Panjang Nasional Indonesia serta menjabarkan dan merinci strategi implementasi tentang adaptasi dan peningkatan transparansi.

Selain itu, juga untuk menambah subjek baru dan penguatan komitmen dengan memasukkan laut, lahan basah, termasuk mangrove dan lahan gambut, serta kawasan permukiman manusia dalam skenario adaptasi. Rehabilitasi dan penanaman mangrove seluas 600 ribu hektar selama 2021-2024. Di bidang energi, Indonensia berencana menerapkan teknologi Carbon Captured Storage/Carbon Capture Utilization Storage (CCS/CCUS), dan energi terbarukan dan bioenergi.

Dalam penerapan teknologi adaptasi iklim, sektor swasta atau bisnis akan memainkan peran penting pencapaian skenario tersebut. Dalam Energy Technology Perspectives 2020, Badan Energi Internasional (IEA), telah memetakan peluang teknologi untuk mencapai tujuan iklim internasional dan energi berkelanjutan. Pemerintah dapat menangkap peluang ini dengan memberikan dukungan kebijakan kepada swasta, perguruan tinggi, dan lembaga riset, untuk pengembangan teknologi tersebut.

 

Transisi Energi

Aspirasi yang mengemuka menjelang COP-26, bahwa setiap negara diharapkan menaikkan target NDC-nya. Berdasarkan perhitungan Climate Action Tracker (2021), target NDC saat ini belum cukup memadai untuk menahan kenaikan temperatur global, jauh dari target awal Kesepakatan Paris. Untuk mencapai itu, salah satu jalan yang bisa ditempuh adalah melalui transisi energi dengan meningkatkan penggunaan energi dari EBT.

Di sektor kelistrikan, belum lama ini, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah menerbitkan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2020-2030, yang menjadi pedoman rencana kelistrikan untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dalam RUPTL ini, komposisi EBT untuk pembangkit diperkuat, menjadi 51,6 persen. Banyak kalangan yang menilai RUPTL kali ini lebih “hijau” untuk mencapai target bauran energi 23 persen di tahun 2025.

Guna menekan emisi karbon di Indonesia, pemerintah juga telah menetapkan pajak karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) senilai Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) dalam UU Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, berlaku mulai 1 April 2022. Dalam transisi energi di sektor kelistrikan, PLN telah menyusun peta jalan menuju netral karbon 2060, yang akan menghentikan PLTU pada 2056.

Namun dengan krisis energi dan listrik yang melanda beberapa negara dan kawasan, situasi anomali terjadi ketika harga batubara tiba-tiba meroket tajam. Ketika harga batubara menguat, artinya meningkatkan ekspor, bisa menjadi alarm bahaya bagi konservasi lingkungan terkait GRK. Ekspor batubara terbesar adalah ke China dan India, yang kini dilanda krisis listrik dan energi.

Baca juga  Nostalgia Dua Danjen Kopassus

Sekitar 54 persen dari seluruh ekspor batubara Indonesia, untuk memenuhi kebutuhan PLTU di China dan India. China mengkonsumsi separuh batubara dunia, tapi saat ini berada di bawah tekanan internasional untuk mengurangi penggunaan batubara dalam negeri. Situasi di China hampir sama dengan Inggris, yang terpaksa mengoperasikan kembali PLTU batubara, ketika kini dilanda kiris energi.

Dengan tantangan yang ada dan disrupsi di sektor energi, Indonesia dapat menggunakan momentum COP-26 sebagai kesempatan meneguhkan tekad, mematok target lebih ambisius dalam NDC. Indonesia cukup memiliki sumber daya dalam memacu pembangunan ekonomi hijau yang bebas emisi, serta potensi tak terbatas pengembangan EBT. Dalam Global Energy Review 2021, IEA mencatat, permintaan energi terbarukan akan terus tumbuh.

Saat ini adalah waktu yang tepat mempercepat transisi energi yang lebih bersih dan green. Percepatan ini adalah salah satu solusi penting mengatasi situasi kompleks hari ini. Penyiapan infrastruktur dan membangun kesadaran masyarakat, bisa dibangun paralel.

Dari segi geografis dan iklim, Indonesia sangat strategis meraih banyak manfaat dari energi bersih, dan menjadi mercusuar energi terbarukan. Indonesia, salah satu negara yang memiliki potensi EBT tertinggi di planet ini, sehingga mampu menghasilkan energi berlipat ganda dari peak saat ini. Bila ditambah cadangan nikel, material utama baterai kendaraan listrik, potensi itu akan lebih besar lagi.

————-
Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero).