Oleh Taufik Ikram Jamil

Acara alih kelola blok Rokan, ladang minyak dengan injeksi uap terbesar dunia, Senin (09/08), barangkali dapat menjadi kado hari jadi Riau ke-64 dan hari adat sedunia 9 Agustus, bahkan hari kemerdekaan Indonesia. Tapi serah terima pengelolaan antara PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan PT Pertamina tersebut, menggambarkan bagaimana jauhnya kegiatan perminyakan di blok Rokan dengan masyarakat selama ini.

Identitas Melayu Riau berupa pakaian, minimal tanjak yang membalut pengisi acara, memperlihatkan suatu peragaan semata karena tak seorang pun perwakilan masyarakat adat sebagai pewaris langsung simbol itu dihadirkan. Blok Rokan malah nyaris kehilangan sejarah jika Gubernur Riau, Syamsuar, tidak menyebutkan eksplorasi minyak di sini diawali dengan pemberian izin oleh Sultan Siak, Syarif Kasim II, tahun 1928.

Boleh saja acara itu menjadi seadanya karena pandemi dan mungkin memang pula tidak mau terlihat menonjol agar tidak begitu terendus. Virtual yang seharusnya menghandalkan siaran (broadcast), jauh panggang dari api – hanya monoton dengan satu sisi gambar. Lalu, tidak salah pula bila kenyataan tersebut dapat menjadi suatu gambaran bagaimana wilayah kerja Rokan dikelola tidak dengan landasan humanis.

Sasaran kerjanya bukan pemartabatan pada bumi di tempat sumber kekayaan itu berada, tetapi bagaimana suatu kesempatan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pemilik modal. Hampir satu abad kekayaan alam itu dikuasai pihak asing, sekitar 12 milyar barrel minyak mentah sudah dihasilkannya, menempatkan posisi 30-80 persen dari produksi minyak nasional, sungguh menggiurkan secara meterial dan teknis.

Syahdan, asal ingat saja bahwa kawasan blok Rokan, merupakan kawasan adat masyarakat adat (bukan pedalaman) Sakai, Bonai, dan sejumlah puak Melayu lainnya semacam Mandau, Rokan, dan Tapung. Hal ini setidak-tidaknya ditulis oleh Max Moszkowski dalam Forschungstreisen in Ostund Zentral Sumatra tahun 1907. Sebagaimana halnya tanah adat, tentu di kawasan itu berlaku hukum adat. Dalam desertasinya yang kemudian dibukukan menjadi When the Bird Flies: Shamanic Teraphy and The Maintenance of Worldly, Boundaries Among a Indigenous of Riau (Sumatra), Nothan Porath dari Inggris, tahun 2003 menulis, bahwa berlaku 1/10 bagi pemanfaatan kawasan adat Sakai. Artinya, 10 persen dari apa-apa yang diolah di lahan mereka, diberikan kepada masyarakat adat, disebut pancung alas.Hal serupa sebelumnya juga ditulis A. van Rijn Alkemade tahun 1885.

Baca juga  Pentingnya Resolusi Konflik Dialogis Kasus Wadas

Sampai sekarang, pancung alas ini masih berlaku dalam masyarakat tertentu, tetapi memang tidak bagi eksplorasi minyak dengan berbagai alasan yang selalu menjadi “dunia” tersendiri—maklum, proyek vital negara, keh…keh…keh… Tak mengherankan jika sekitar 12.000 warga masyarakat adat Sakai, Bonai dan Tapung, masih hidup dalam memprihatinkan di tengah kemilau minyak blok Rokan. Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) mencatat bahwa mereka adalah bagian dari sekitar 400.000 orang Riau yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan itu juga menyebar di tengah masyarakat adat Talangmamak, Akit, Petalangan, Laut, dan puak Melayu lainnya.

Bayangkan saja, hampir satu abad beroperasi, seperti dikatakan tokoh Sakai Muhamad Yatim (77), hanya empat orang warga Sakai yang bekerja di CPI sebagai karyawan kecil, duh…duh…Kenyataan ini seperti membenarkan ungkapanPresiden Majelis Umum PBB, John Ashe, dalam pidato peringatan hari adat internasional, 9 Agustus 2014, bahwa pada banyak negara, masyarakat adat diperlakukan secara tidak adil—menyingkirkan mereka dari kepemilikan kekayaan alam.

Ya, tampaknya mereka seperti dianggap tidak ada. Infrastruktur yang dibangun dan selalu digaung-gaungkan sebagai sumbangan besar CPI, justru meluluhlantakkan kawasan masyarakat adat, sebab tidak ada upaya rekayasa sosial terhadap mereka sebagaimana terlihat pada pengrekrutan pekerja di atas. Kemudahan akses menyebabkan kawasan mereka diserbu para pendatang tanpa dapat dibendung termasuk booming sawit sejak 80-an. Mereka malahan menempati kawasan konsesesi CPI yang begitu mudah dilihat di sepanjang jalan Pekanbaru – Dumai sekitar 100 Km. Belum lagi di kawasan di dalamnya termasuk jalan khusus CPI Pekanbaru – Minas.

Seperti ada pembiaran terhadap perampasan milik adat yang seharusnya sejak lama diatasi perusahaan.
Pasal lingkungan, usah cakap. Misalnya, sebanyak 297 warga mengadukan lahan mereka terkontaminasi minyak CPI ke Pengadilan Negeri Pekanbaru melalui Tim Hukum Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI), awalJulilalu. Lahan terkontaminasi limbah berbahaya B3 tersebut, tersebar paling tidak pada 125 lokasi sekitar 6 juta metrik ton. Diperparah limbah dari perkebunan, tak ada lagi sungai di kawasan ini yang baik seperti terlihat pada sungai Buluh Kasap, Mandau, dan Penaso.

Baca juga  Tidak Boleh Permisif terhadap Aksi Terorisme, Dukung Penindakan Terukur dan Akuntabel

Hal-hal semacam di atas akan semakin lebar jika diperkatakan terus. Misalnya, tentu ada nilai positifnya juga dari usaha CPI itu bagi masyarakat adat, tapi pasti juga untuk keperluan CPI. Jalan Pekanbaru – Dumai dibangun oleh CPI bukan dengan pertimbangan masyarakat Riau, tetapi agar minyak CPI mudahdisalurkan. Apalagi, pembangunan SMA 1 Pekanbaru tahun 50-an, dengan biaya operasionalnya jauh lebih besar yang ternyata berada di pundak pemerintah. Tak ada jurusan perminyakan di perguruan tinggi negeri di Riau yang seharusnya dikembangkan CPI. Politeknik CPI tetap berstatus sebagai politeknik, padahal semula dijanjikan sebagai institut.

Masih punya harapan juga kiranya, jika masyarakat adat tetap menuntut pancung alas, pemulihan lingkungan, pengabaian, dan pembiaran aset di kawasan wilayah kerja Rokan. Sebab undang-undang pokok Agraria No. 5 tahun 1960 megakui keberadaan tanah adat itu sendiri, selain menjiwai Keputusan Mahkamah Agung No.35 Tahun 2012 tentang hutan ulayat. Belum lagi berkaitan dengan Peraturan Presiden No.86/2016 tentang reforma agraria yang mengaku adanya tanah komunal. Masyarakat adat di kawasan itu seperti Sakai, Bonai, dan Tapung, sudah minta LAMR memperjuangkan hak-hak adat itu baik berkaitan dengan masa lalu maupun akan datang, 30 Juni berselang. “Berbagai cara akan kita lakukan, termasuk maju ke mahkamah internasional,” kata Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat LAMR Datuk Seri H. Al azhar kepada media baru-baru ini.

Suai. Ayo cepat, jangan lamban lagi!