KOALISI GURU BESAR ANTI KORUPSI MINTA PRESIDEN PERINTAHKAN KPK AKTIFKAN 75 PEGAWAI KPK NONAKTIF, SEBAGAI “PELACURAN” INTELEKTUAL
Oleh Petrus Selestinus *)
Presiden Jokowi harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam Surat permintaan 73 Guru Besar di sejumlah universitas yang tergabung dalam Koalisi Guru Besar Anti Korupsi (Koalisi Guru Besar), yang ditujukan kepada Presiden Jokowi pada Senin 24 Mei 2021 meminta agar Presiden mengawasi KPK dan perintahkan Firli Bahuri dkk. aktifkan kembali 75 Pegawai KPK Nonaktif.
Permintaan Koalisi Guru Besar dimaksud, jelas bertentangan dengan Independensi KPK, karena di dalam pasal 3 UU No. 19 Tahun 2019 Tetang KPK, dengan tegas menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan ekskutif, yang dalam menjalankan “tugas” dan “wewenangnya” bersifat “independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”.
Begitu pula dengan UU No. 19 Tahun 2019 Tentang KPK adalah produk Legislasi (DPR) yang di dalamnya terkandung pemikiran Para Guru Besar yang disebut “Naskah Akademis” sebagai salah satu syarat dalam pembuatan UU. Karena itu ajakan Koalisi Guru Besar, untuk Presiden Jokowi menyimpang dari UU, jelas sebagai Pelacuran Intelektual, demi kepentingan lain di luar tujuan perbaikan KPK.
AJAK PRESIDEN MELANGGAR HUKUM
Kalau saja Presiden Jokowi mengiyakan permintaan Koalisi Guru Besar untuk mengawasi Firli Bahuri dkk. dan mengembalikan 75 Pegawai KPK yang nonaktif pada posisinya semula, maka ada 3 Institusi yang terkena dampak kerusakan sistem, yaitu Pendidikan Tinggi terkena dampak citra buruk pelacuran intelektual; Presiden terkena dampak penyalahgunaan wewenang; dan KPK sendiri terkena dampak kehilangan independensinya.
Akibatnya adalah, Para Guru Besar itu bisa saja pada kesempatan dan kepentingan lain akan bersorak menuduh Presiden Jokowi biasa dikendalikan mengintervensi KPK. Padahal Koalisi Guru Besar, mestinya paham, bahwa TWK menjadi salah satu syarat penting melahirkan ASN, yang memiliki nilai dasar (kesetiaan pada MKRI dan Pancasila) Etika Perilaku dll, karena UU KPK mensyaratkan bahwa Pegawai KPK adalah ASN sesuai dengan UU ASN.
UU No. 5 Tahun 2014 Tentang ASN, menegaskan bahwa ASN berprinsip pada “Nilai Dasar” (memegang teguh ideologi Pancasila, setia kepada UUD 1945 dan pemerintahan yang sah, mengabdi kepada negara dll), Kode Etik, Kode Perilaku, Komitmen Moral, Tanggung Jawab, dll. dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan Novel Baswedan dkk. telah dinyatakan tidak memenuhi syarat” dalam TWK dan untuk itu dinonaktifkan, sesuai hukum.
PELACURAN INTELEKTUAL
Koalisi Guru Besar Anti Korupsi juga, secara tidak bertanggung jawab menuduh Firli Bahuri dkk. melakukan tindak pidana terkait penandatanganan Surat Keputusan Penonaktifan 75 Pegawai KPK, namun mereka tidak melapor kepada Polisi, tetapi kepada Presiden. Langkah Ini sebagai bagian dari pelacuran intelektual yang mencitrakan bahwa dunia pendidikan tinggi gagal melahirkan kader-kader bangsa yang berwawasan kebangsaan.
Padahal Pemerintah sudah menyiapkan segala norma, standar, prosedure dan kriteria tentang syarat menjadi ASN sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014, tentang ASN. Dengan demikian soal ASN di KPK sepenuhnya wewenang BKN, Menpan, KASN dan PPK sedangkan KPK hanya terima hasil seleksi ASN dari BKN dan menentukan apakah Novel Baswedan dkk. layak dipertahankan atau tidak oleh Pimpinan KPK.
KPK disebut-sebut Kolaisi Guru Besar, menghadapi banyak permasalahan, itu benar, tidak dapat dipungkiri, tetapi janganlah menyandera KPK dengan permasalahan dinonaktifkannya 75 Pegawai KPK,
karena bisa saja masalah di KPK yang tidak kunjung selesai sesuai maksud Koalisi Guru Besar bersumber dari ulah sebagian dari 75 Pegawai KPK yang telah dinonaktifkan.
Jakarta 28 Mei 2021
(PETRUS SELESTINUS, KOORDINATOR TPDI & ADVOKAT PERADI).