Catatan Egy Massadiah
Bagaimana Doni Monardo mengekspresikan rasa bahagianya terhadap pohon? Moment itu terungkap Jumat pagi (23/10/2020).
Alkisah, saat berkunjung ke markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur, Doni menjumpai pohon-pohon yang pernah ditanamnya, kurun waktu 2011 hingga 2012. Saat itu, Doni menjabat Wadanjen Kopassus.
Pada satu pohon sengon laut yang ia tanam Januari 2012, spontan kedua tangannya memeluk sang batang pohon, seakan tak kuasa menyembunyikan kerinduan. Apa yang dia ekspresikan, sungguh mengagetkan sekaligus mengharukan.
Laksana dua orang yang lama tak berjumpa, dan demi melepas rindu, tak ada ekspresi paling lugas kecuali merangkulnya. Dengan mata berbinar, degup jantung yang terpacu kencang karena dorongan rasa bahagia, Doni seketika merapatkan dirinya ke pohon sengon laut itu.
Kami menyaksikan dan ikut larut dalam rona kebahagiaan Doni Monardo. Saya sebut kami, sebab saya memang bukan satu-satunya saksi mata atas peristiwa tadi. Di sekitar saya berdiri antara lain Danjen Kopassus Mayjen TNI Mohamad Hasan, Danpusdiklatpassus Brigjen TNI Thevi Angandowa Zebua, S.E. dan lain-lain.
Peristiwa hari itu sejatinya tidak berdiri sendiri. Doni Monardo bukan tiba-tiba datang ke Mako Kopasus. Satuan yang sudah menempanya sejak lulus Akmil 1985 hingga memuncaki karier menjadi Danjen Kopassus (2014-2015).
Rangkaian peristiwa sebelumnya, terjadi di nol kilometer hulu Sungai Ciliwung, Cisarua, Kabupaten Bogor, Selasa (20/10/2020). Selaku Kepala BNPB, Doni Monardo meninjau sekaligus menanam bibit vetiver dan pohon keras, tepatnya di kawasan Telaga Saat.
Di hadapan Bupati Bogor Ade Yasin dan Wali Kota Bogor Bima Arya, Doni menyebutkan ihwal prognosa Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa beberapa bulan ke depan curah hujan tinggi 20 sampai 40 persen dari biasa. Fenomena La Nina berpotensi menyebabkan bencana khususnya banjir dan longsor.
“Bapak Presiden dalam dua minggu ini menyampaikan pesan kesiapsiagaan menghadapi cuaca ekstrem agar tidak menimbulkan kerugian dan korban jiwa yang banyak,” kata Doni Monardo.
Danjen Kopassus Mayjen TNI Mohamad Hasan akmil 1993 diundang khusus oleh Doni dalam kapasitas penggagas pembersihan titik nol Ciliwung. Ketika itu Hasan menjabat Danrem Bogor.
Saat kegiatan rampung, Doni mengintermezo Mayjen Hasan dengan mengatakan, “Saya Kepala BNPB yang mantan Danjen Kopassus, tapi staf saya di BNPB belum pernah ada yang melihat dan memegang senjata….”
Latihan Menembak
Tanggap kalimat mantan atasannya di Kopassus, Mayjen Hasan segera mempersilakan Doni Monardo dan staf BNPB berkunjung ke Cijantung. Mayjen Hasan akan menyiapkan lapangan tembak bagi para staf BNPB “memegang dan merasakan senjata api”.
Sejurus kemudian Doni memalingkan pandang ke arah saya, “Pak Egy, tolong mintakan peluru ke Pak Maruli Dan Paspampres.”
Dan Paspampres Mayjen TNI Maruli Simanjuntak, Akmil 1992 tak lain adalah mantan anak buah Doni Monardo juga, sama seperti Mayjen Hasan. Saya langsung menghubungi “Ucok”, begitu biasa saya menyapa. Sosok yang juga sama sekali tidak asing karena kami sudah berkenalan sejak pangkat letnan dua.
Gayung bersambut. Bukan hanya peluru, tapi lapangan tembak Paspampres pun sudah disiapkan. Saya menyampaikan, bahwa yang diperlukan hanya peluru, sedangkan latihan menembak dilakukan di lapangan tembak Kopassus. Maruli paham, meski ia juga sangat ingin Doni dan staf BNPB bertandang menembak di lapangan Paspampres Tanah Abang.
“Lapangan tembak Paspampres ini kan punya Pak Doni, saya hanya merawatnya” seloroh mantan atlit judo nasional itu sambil tertawa. Sejatinya, lapangan tembak Paspampres sudah lama ada, jauh sebelum Doni Monardo menjabat.
Syahdan, selepas menjabat Wadanjen Kopassus, Doni promosi menjadi Dan Paspampres (2012-2014). Di era kepemimpinan dialah, lapangan tembak itu dibuat lebih kinclong.
Tapi apa boleh buat. Bukan Doni tak mau mengajak staf BNPB berlatih menembak di sana, tetapi ia sudah menjanjikan akan mengunjungi Mako Kopassus.
Nah, bagaimana hasil menembak warga BNPB? Tidak penting. Yang penting adalah, para pejabat BNPB sudah pernah merasakan memegang senjata api, dan punya pengalaman belajar menembak. Mengenakan kacamata, menerima instruksi tangan rileks, bahu rileks, posisi kaki tegap-mantap, fokus pada sasaran, letakkan jari di pelatuk, dan pull the trigger… dor!!!
Tak ayal, pengalaman itu saja sudah sangat berharga buat para staf BNPB. Tak heran jika sejurus kemudian, para staf BNPB memajang foto-foto aktivitas berlatih menembak di sosmed masing-masing. Tentu saja dengan berbagai pose yang menurut mereka –tentu saja—eksklusif. Langka.
Selama mereka berlatih menembak, saya perhatikan ada yang menikmati. Ada yang kaget sendiri mendengar suara letusan senjata. Sekali lagi, jangan tanya skor tembakannya…. Setidaknya di antara mereka mulai ada yang menyadari, bahwa tidak ada yang namanya “menembak kaki, yang kena kepala” dengan sengaja. Bahwa membidik sasaran dengan tepat, sungguh bukan perkara mudah. Wajib penuh konsentrasi dan fokus
Sejenak saya tersadar, bahwa ternyata Doni Monardo tidak ada di deretan orang-orang BNPB yang tengah berlatih menembak. Mereka antara lain, Tim Pakar Satgas Prof Wiku Adisasmito, Tim Komlik Satgas Tommy Suryo (Dubes RI untuk Singapore), Hery Trianto. Juga pejabat eselon 1 BNPB Irtama Tetty Saragih, Deputy Dody Ruswandi, Liliek Kurniawan, Prasinta Dewi serta sejumlah pejabat eselon 2 lainnya.
Selempar pandang, saya melihat Doni berjalan kaki menuju “hutan” Kopassus yang bersisian dengan sungai Ciliwung. Ya, area yang sangat rimbun dengan aneka pepohonan keras.
Menyapa Sengon Laut
Rupanya, Doni lebih berkenan menyambangi pepohonan yang ditanamnya dulu. Satu per satu dipegang. Bahkan ada yang dipeluk erat. Pohon sengon laut yang mendapat pelukan hangat Doni itu, ditanam tahun Januari 2012 saat tingginya baru 120 cm. Kini, tinggi sengon laut itu sudah belasan meter dan berdiameter lebih dari pelukannya. Pelukan lelaki dengan tinggi 175 cm.
Beberapa perwira baret merah, mengamati “reunian Doni Monardo dengan pohon-pohonnya”, sempat berkelakar, “Coba kalau dihitung dengan uang, sudah berapa miliar nilai pohon-pohon itu. Kayu bagus harganya sekitar dua juta rupiah per kubik. Padahal, satu batang pohon bisa empat kubik. Lihat, ada berapa banyak pohon besar yang dulu ditanam pak Doni….”
Yang lain menimpali, “Wah, bisa untuk beli rumah, beli mobil, dan buat modal bisnis….” Candaan itu pun disahuti, “Memang sih… kalau pohon-pohon ini ditebang dan dijual bisa untuk beli rumah, beli mobill, dan bisa untuk berbisnis. Tapi jangan lupa, kita juga bisa kena masalah….” Semua pun tertawa.
Kepada setiap Danjen Kopassus yang menjabat setelahnya, Doni Monardo tidak pernah lupa menitipkan pesan, “tolong kasih tahu anak-anak, jangan ada yang menebang pohon-pohon itu.”
Alhasil, pesan Doni pun dicatat sebagai “peraturan” bagi keluarga besar Kopassus. Menebang berarti berani melanggar peraturan. Di sisi lain, memang tidak ada jalan untuk menyelundupkan pepohonan tersebut tanpa melewati markas provost. Dalam kondisi seperti itu, siapa pula yang berani melanggar “larangan” menebang pohon di area Mako Kopassus?
Di bawah kepemimpinan Danjen Kopassus Mayjen TNI Mohammad Hasan, pohon-pohon dan area hijau Cijantung sangat terjaga. Seperti halnya Doni, rupanya Hasan juga termasuk prajurit yang getol pada isu-isu lingkungan. Ia terkenal karena kiprahnya “menjadikan yang kotor menjadi bersih”. Doni bangga akan hal itu.
Laksana Oase
Berada di hutan kota markas Kopassus, laksana oase di padang pasir. Jarak Graha BNPB ke Mako Kopassus Cijantung kurang lebih 19 kilometer. Sama-sama di teritori Jakarta Timur. Tapi, berada di hutan kota Kopassus, serasa berada di tengah hutan, nun jauh di pedalaman Indonesia sana.
Itulah buah ketekunan Doni Monardo menghijaukan area Kopassus. Tanpa terasa, yang ditanam telah menjelma menjadi pohon-pohon besar yang rimbun dan meneduhkan. Berada di tengah-tengahnya, kita bisa tidak percaya, bahwa kerimbunan itu ada di wilayah Ibu Kota Jakarta.
Begitulah, sekilas selingan kegiatan di Mako Kopassus. Banyak pengalaman baru bagi staf BNPB, dan banyak kenangan bagi Kepala BNPB. Sajian pisang rebus dan bubur kacang ijo menjadikan kesempurnaan hari yang indah itu.
Tak lupa di hadapan prajurit, Doni spontan membagi petuah perihal pentingnya menjaga alam. Bahwa ukuran profesionalisme di kalangan militer sangat erat dengan lingkungan. Jika seorang tentara peduli alam, peduli lingkungan, maka bakat profesionalismenya menjadi terasah.
Mengenali aneka jenis tanaman, adalah cara untuk bertahan (survival) di dalam hutan. Aneka tanaman bisa dimakan, tetapi harus dipahami, mana tanaman yang bisa dimakan, dan mana yang beracun. Memahami jenis pohon, kekuatan batang pohon, juga cara untuk bertahan, sebagai tempat berlindung dari musuh. Termasuk mengenali jenis-jenis pohon yang aman untuk berteduh.
Memori Lama
Menjelang meninggalkan lapangan tembak Rama-Sinta, tiba tiba seorang perwira pertama menyapa Doni dengan salam Komando. Memori lama Doni Monardo berputar ke peristiwa saat pangkatnya masih letnan satu.
Prajurit tadi adalah Kapten Inf I Gusti Ketut Riama. Ketut mengilas pengalaman operasi tempur di Timor Timur dulu. Saat itu, Ketut Riama berpangkat prajurit satu (Pratu), sementara Doni Letnan Dua.
Mereka tergabung dalam satu unit tugas, di bawah Satuan Tugas Cakra XV pimpinan Mayor Inf Heri Pisan. Sejatinya, penugasan pertama Doni Monardo ke Timtim adalah sebagai perwira muda yang ditugaskan di Satgas.
Akan tetapi, saat bersamaan komandan unit tempat Pratu Ketut bertugas, tertembak milisi Fretilin. Tembakan yang menembus dada, mengakibatkan tidak bisa lagi memimpin unit tugas memburu para Fretilin. Nama komandan unit itu adalah Sersan Burhan Samsudin.
“Beliau selamat, dan masih hidup sampai sekarang. Tapi akibat tertembak, komandan Satgas menugaskan Doni Monardo mengambil alih tongkat komando unit,” ujar Ketut yang selama tugas operasi tempur di Timtim banyak mengemban tugas bagian perhubungan. Karenanya, ia selalu melekat pada komandan.
Personel unit tugas yang berjumlah 10, berkurang satu menjadi sembilan. Sebab, satu prajurit bernama Humaidi tergolek sakit.
Sebagai catatan, Doni yang lulusan Akmil 1985 menjadi perwira muda yang belum memiliki pengalaman tempur. Sementara, sembilan orang pasukannya, meski berpangkat lebih rendah, tetapi sudah berkali-kali menjalani penugasan operasi tempur di Timtim.
Pratu Ketut sendiri mencatatnya sebagai penugasan ketiga di Timtim tahun 1987, saat berada di bawah komando Letda Doni Monardo. “Yang pasti, pak Doni sangat gigih. Selalu memotivasi dan membangkitkan semangat pasukan. Keyakinan dan keteguhan beliau sangat kuat. Inti arahan adalah keberhasilan menunaikan tugas. Waktu itu, kalau berhasil ‘mendapat’ Fretilin di hutan, rasanya sungguh luar biasa,” kenang Ketut.
Keyakinan dan Keteguhan
Ketut makin dalam membawa Doni Monardo ke lorong waktu tahun 1987, saat memburu milisi Fretilin di lereng Gunung Mundo Perdido. Gunung ini terletak di sisi timur Timor Timur. Sebuah hutan tropis pegunungan dengan aneka satwa liar, termasuk kuda-kuda liar.
Untuk bisa mencapai puncak padang rumput Mundo Perdido, perjalanan harus ditempuh melalui medan yang sulit. Itulah mengapa Mundo Perdido juga disebut The Lost World of East Timor. Karena itu pula, lokasi hutan Mundo Perdido dijadikan basis milisi Fretilin.
Suatu hari, atas petunjuk kordinat Satgas, tim di bawah pimpinan Doni menyusuri Mundo Perdido. Sebelum mendaki pegunungan, harus melewati sungai. Lepas dari sungai, pendakian dilakukan melalui lereng-lereng batu.
Tiba di satu titik, salah satu anggota unit bernama Kopral Ade memberi tahu Doni, “Bapak, ada orang. Ada musuh. Ada musuh!” Seketika semua diperintahkan tiarap. Sesaat kemudian, ketika salah satu prajurit mengintai, “musuh” tadi sudah tidak kelihatan batang hidungnya.
Doni pun memerintahkan pasukan melanjutkan pendakian lereng Gunung Mundo Perdido. Di salah satu bagian lereng, Doni menemukan semacam gua kecil atau rongga batu di lereng pegunungan. Pelan-pelan gua itu diobservasi. Ternyata, itu adalah gua penyimpanan logistik Fretilin. Terbukti dari ditemukannya alat makan, padi, keranjang, dan beberapa barang lain.
Meski lokasi itu bukan titik kordinat yang diarahkan Satgas, tetapi Doni mengambil keputusan, “Kita tunggu saja di sekitar area ini. Mereka (Fretilin) pasti akan datang mengambil makanan.”
Feeling Doni, Fretilin sudah mengendus kehadiran TNI. Setidaknya, ada milisi Fretilin yang sudah melihat Kopral Ade. Itu pula sebabnya, Fretilin tadi langsung kabur ke atas, ke area hutan. Mengawali strateginya, Doni mengajak Ketut, Ade dan yang lain naik ke area yang lebih terbuka. Sengaja supaya terlihat musuh.
Doni lalu “bersandiwara” seolah-olah tidak ada fretilin di situ, dan sebaiknya pulang. Maka meluncurlah perintah pura-pura dari Doni, “Di sini tidak ada fretilin, mari kita turun dan mencari di lokasi lain.” Anggota Doni yang asli Timor Timor kemudian sengaja meneriakkan dengan suara keras dalam bahasa Tetun agar terdengar oleh para anggota milisi fretelin di atas sana.
Waktu itu, matahari segera tenggelam. Saat temaram menyergap lereng Gunung Mundo Perdido, Doni membagi tiga pasukannya, dan berjaga di tiga titik yang berbeda. Pratu Ketut sebagai prajurit bagian perhubungan melekat di samping Doni. Dua regu kecil lainnya terdiri masing masing 3 orang, mencari lokasi bersembunyi, yang dari persembunyiannya tetap bisa melihat dengan jelas ke arah gua tempat penyimpanan logistik Fretilin tadi.
Malam itu, Doni Monardo dan pasukannya merebahkan tubuh di lereng gunung, beratapkan bintang gemintang. Prajurit digilir tidurnya. Selalu ada yang siaga, saat yang lain beristirahat.
Sampai matahari terbit di ufuk timur, tidak ada pergerakan di sekitar gua. Salah seorang anggota prajurit mengajukan saran kepada komandan Doni untuk meninggalkan area itu. Doni bergeming. Ia tetap perintahkan bertahan, meski matahari mulai merangkak naik, dan sengatnya mulai menusuk kulit.
Para prajurit patuh. Tapi tidak lama kemudian, lewat komunikasi radio, seorang anak buahnya kembali menyarankan kepada komandan Doni untuk bergeser. Doni bergeming. Kali ini, masih juga saran itu diusulkan, ditambahi embel-embel alasan, “di sini bau taik. Baunya gak tahan komandan.”
Antara rasa ingin memenuhi permintaan anak buah yang terkepung bau kotoran manusia, dan insting bahwa pasukan harus bertahan, sebab anggota milisi pasti akan turun mendatangi gua logistik.
Doni teguh pada instingnya, dan –terpaksa— mengabaikan sengatan bau tak sedap yang menusuk hidung prajuritnya. “Tetap bertahan di posisi masing-masing,” perintah Doni tegas. Keyakinan Doni pun makin kuat, bahwa akan ada “sesuatu”.
Sekadar informasi, komunikasi prajurit dan komandannya dilakukan melalui radio tactical jenis AN/PRC-77. Radio ini pertama kali digunakan tahun 1968, dan langsung dioperasikan oleh GI (tentara AS) di Perang Vietnam.
PRC-77 ini pula yang digunakan sebagai tactical radio standar untuk unit tempur TNI, terutama bagi satuan infanteri TNI-AD dan Korps Marinir TNI AL. Jug pada ajang pertempuran TNI vs Fretilin di tahun 1975 dan seterusnya. Termasuk yang dibawa Pratu Ketut di sisi Letda Doni Monardo. Radio tactical itu adalah buatan JETDS (Joint Electronics Type Designation System) Amerika Serikat.
Medan Pengintaian
Pas matahari di atas ubun-ubun, tampaklah satu orang Fretilin turun dari hutan menuju lokasi gua. Satu orang. Hanya satu orang. “Mereka sudah pinter. Tidak pernah turun berkelompok. Pasti keluarnya satu-satu dan dalam jarak saling berjauhan, tapi masih bisa melihat antara satu dan lainnya,” kisah Ketut.
Itu artinya, tidak mungkin bisa menyergap Fretilin dalam jumlah besar. Satu-satunya kesempatan adalah menyergap satu orang yang berada dalam jangkauan tembak. Benar. Saat satu anggota milisi Fretilin tiba di bibir gua, pasukan Doni Monardo pun memberondong dengan tembakan hingga tewas. Sementara, fretilin-fretilin lain yang ada di atas, spontan balik arah dan lari kembali masuk ke hutan.
Doni dan pasukan segera menghambur menuju lokasi gua. Setelah memastikan satu fretilin tewas, pasukan Doni Monardo pun mengambil senjata musuh dan melanjutkan buruannya ke atas lereng. Mengejar para milisi Fretilin ke hutan dengan posisi siaga penuh. Yang berlari paling kencang, tentu saja prajurit yang mendapatkan pos pengintaian dekat kotoran tadi.
Pengejaran pun sampai ke bibir hutan. Selangkah demi selangkah mereka masuk ke tengah hutan. Tidak satu pun fretilin berhasil dijumpai. Ketika pasukan tiba di ujung hutan yang lain, tampak sebuah perkampungan. “Kalau sudah masuk kampung, susah. Kampung di sana itu seperti wilayah abu-abu, tidak jelas mana penduduk sipil mana yang klandestin,” tutur Ketut.
Babi di Gunung Tiba
Kisah tidak berhenti di situ. Dan Doni Monardo masih tertarik mengenang operasi yang ia jalankan semasa tugas di Timor Timur bersama –antara lain—Kapten Ketut Riama yang dulu masih berpangkat Pratu.
Kisah berlanjut ke penugasan di lereng gunung yang lain. Bukan di Gunung Mundo Perdido, tetapi di gunung Tiba Silo. Berangkat dari markas Satgas di distrik Baucau, kota terbesar kedua setelah Dili, pasukan Doni mencapai Hutan Tiba Silo pukul 15.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA).
Mendadak ada seekor babi hutan lari tunggang langgang. Sementara di kejauhan sana, tampak ada asap mengepul. Sigap Doni menyimpulkan, tak jauh di depan terdapat markas milisi fretilin. Perintah selanjutnya, sembilan prajurit berjalan berderet tetapi membentuk formasi sejajar, melewati jalan setapak. Sebagian di kiri, sebagian di kanan, dan sebagian di tengah. Letda Doni dan Pratu Ketut di tengah.
Tak lama berjalan, pasukan di kiri dan kanan melihat ada Fretilin bergerak. Tanpa aba-aba, mereka langsung memberondongkan tembakan. Milisi Fretilin pun kabur ke arah atas, dan menghilang ke dalam hutan. Doni segera memerintahkan pasukannya mengejar.
Akan tetapi, salah seorang prajurit menyampaikan usul dengan sikap correct, bahwa sebaiknya menunggu. Sebab, jika langsung mengejar, bisa jadi di atas sana pasukan milisi sudah siap menghadang dengan senapan terkokang.
Doni adalah komandan unit tempur saat itu. Tetapi, ia mendengar masukan dari prajurit yang dinilainya logis. Terlebih informasi datang dari anak buah yang nota bene jauh lebih berpengalaman di medan tempur Timtim.
Setelah cukup menunggu, pasukan Doni pun merangsek ke hutan, memburu para milisi fretilin. Hari itu memang tidak ada Fretilin yang berhasil dilumpuhkan. Tapi keesokan harinya, sejumlah anggota milisi Fretilin yang takut diburu pasukan Doni Monardo, keluar hutan dan turun gunung. Mereka langsung menjumpai aparat teritorial yang ada di kampung dan menyatakan menyerah.
“Waktu itu, selain kami yang bertempur naik gunung dan masuk hutan, juga ada pasukan Sandi Yudha yang bertugas di kampung sebagai aparat pembina teritorial,” ujar Ketut.
Perburuan Malam Hari
Jika kita buka lembaran-lembaran sejarah operasi ABRI di Timtim, banyak kisah kelam yang tercatat di gunung Tiba Silo. Salah satunya adalah peristiwa dramatis saat 30 prajurit dihabisi Fretilin di lerang Tiba Silo, dan menyisakan 9 prajurit selamat. Itu terjadi tahun 1978.
Sejak itu, strategi operasi pun pelan-pelan diubah. Di era Doni Monardo, perburuan fretilin tidak lagi dilakukan siang, tetapi malam hari.
Pengalaman menarik lain dari operasi ini adalah ketika harus berada di hutan dengan larangan keras mandi. Untuk makan mereka dibekali ransum jenis T2. Setidaknya ada dua jenis ransum T2. Yang pertama adalah T2-ABC. Yang kedua adalah T2FD.
Ransum T2-ABC sekilas menyerupai kaleng kornet. Beratnya sekitar 400 gram dan terdiri dari beberapa pilihan menu seperti nasi ikan, nasi tumis daging cincang, nasi ayam bakar, nasi daging cabai hijau, hingga nasi gudeg daging.
Ransum tersebut diproduksi langsung oleh TNI dan masa kedaluwarsanya diprediksi hingga satu tahun. Teknik pengolahannya pun terbilang praktis. Para serdadu hanya perlu menghangatkan kaleng tersebut beberapa saat. Porsinya pun cukup besar, T2 dapat dikonsumsi oleh dua orang sekaligus.
Yang kedua dinamakan T-2FD. Ini adalah jenis ransum yang dikeringkan sehingga proses pengolahanya diseduh terlebih dahulu dengan air mendidih. Umumnya, menu ransum ini berupa ‘nasi bantal’, istilah yang sering digunakan oleh tentara. Cara penyeduhanya, nasi yang berada di dalam plastik disiram air panas lalu ditutup selama kurang lebih 15 menit. Kemudian plastik akan menggelembung menyerupai bantal bayi yang menandakan hidangan tersebut telah matang.
“Kami dibekali T2-ABC, tidak boleh bawa sikat gigi, odol, sabun, apalagi deodoran. Kami juga tidak boleh mandi selama operasi. Maksudnya agar aroma tubuh kita melebur dengan aroma hutan. Sebab kalau di hutan, orang membuka pepsoden baunya bisa kecium sampai jarak yang jauh,” kenang Ketut.
Itu artinya, kalau seminggu di hutan, ya seminggu pula tidak mandi. Kalau 10 hari, ya 10 hari tidak mandi. “Tergantung perbekalan. Kalau logistik habis, kami baru turun ke base camp, tapi selama perbekalan masih ada, kami tetap bertahan di hutan. Bila perlu hanya makan mie instan mentah dan minum dari sumber-sumber air yang ada di tengah hutan,” tambahnya.
Teramat banyak kenangan I Gusti Ketut Riama, yang kini berpangkat kapten dan berusia 57 tahun itu. Lelaki kelahiran Jembrana ini menyebut Doni Monardo sebagai komandan yang sangat cerdas, cepat beradaptasi dengan keadaan, dan memiliki insting atau feeling yang kuat.
Setahun bertugas bersama Doni Monardo, Ketut merasakan kepemimpinan yang kuat. Sangat memotivasi dan perhatian. “Setahun kami di bawah komando pak Doni. Tak terhitung berapa kali kami kontak senjata dengan milisi fretilin. Kami bersyukur, tidak satu pun yang terluka apalagi sampai meninggal,” kata Ketut dalam nada suara takzim.
Sungguh, hari itu Doni merasa sangat bahagia. Perasaan yang harus ia selalu pelihara, agar imun tetap terjaga. Sebuah kebahagiaan yang sederhana, yakni dengan menyapa dan memeluk pohon, serta mengenang hari-hari panjang di medan juang. (*)
#SiapUntukSelamat
#BersatuLawanCovid19
#CuciTangan
#JagaJarak
#MaskerUntukSemua
#TidakMudik
#DiRumahAja