Artikel oleh Ahmad Zazali, S.H.
Wabah atau pandemi Covid 19 telah menyebabkan cobaan besar bagi sektor ketenagakerjaan/perburuhan di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Secara global, pada 7 April 2020, ILO telah merilis dampak Covid 19 terhadap sektor ekonomi atau tepatnya dampak terhadap keluaran ekonomi, dimana dampak dengan kategori sangat tertinggi terjadi pada bidang transportasi, pergudangan dan telekomunikasi. Kemudian kategori tinggi yaitu pada bidang jasa dan akomodasi, perumahan (property), manufaktur, perdagangan grosir dan ritel. Kategori sedang terjadi pada sektor ekonomi bidang konstruksi, keuangan dan asuransi, pertambangan, pertanian, kemudian diikuti oleh bidang seni, hiburan dan rekreasi dengan kategori sedang sampai tinggi. Lalu kategori terdampak rendah yaitu bidang pendidikan, kesehatan manusia dan pekerjaan sosial, administrasi dan pertahanan publik serta utilitas, sementara bidang pertanian, kehutanan dan perikanan masuk kategori rendah hingga sedang.
Di Indonesia sendiri hingga pertengahan April 2020 dampak Covid 19 telah menyebabkan sedikitnya 2,8 juta buruh telah dirumahkan dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika penularan Covid 19 belum bisa teratasi dengan cepat maka diperkirakan akan semakin banyak lagi pekerja yang dirumahkan dan di-PHK. Situasi ini merupakan ujian terbesar bagi Serikat Pekerja/Serikat Butuh (SP/SB) untuk menegosiasikan nasib mereka dengan pengusaha dan pemerintah. Instrumen kebijakan yang ada harus ditelaah dengan seksama secara cermat dan jeli untuk melihat peluang kekuatan sebagai dasar argumentasi SP/SB dalam perundingan-perundingan dengan pengusaha dan pemerintah.
Perselisihan Hubungan Industrial
Sebenarnya kebijakan ketenagakerjaan telah mengatur sedemikian rupa hubungan antara pekerja atau buruh dengan pengusaha, dan jika terjadi perselisihan atau sengketa hubungan industrial masing-masing punya pijakan untuk memperjuangkan hak-haknya. Terdapat Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai kebijakan payung, lalu kebijakan yang secara khusus berisikan pedoman dan mekanisme penyelesaian perselisihan yaitu Undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PHI). Pada masing-masing Industri kebijakan ini kemudian diturunkan menjadi peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama yang dibuat berdasarkan kesepakatan perundingan antara SP/SB dengan Pengusaha.
Dalam UU PHI tersebut, jenis-jenis perselisihan hubungan industrial diklasifikasikan menjadi 4 (empat) macam yaitu perselisihan Kepentingan, Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Satu Perusahaan (SP/SB), perselisihan Hak, dan Perselisihan akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Perselisihan Hak merupakan perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama. Perselisihan Kepentingan merupakan perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang diterapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan PHK merupakan perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh merupakan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain namun terbatas hanya dalam satu perusahaan. Hal tersebut dapat disebabkan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan pekerjaan.
Lebih lanjut UU PHI juga telah mengatur tentang mekanisme penyelesaian perselisihan untuk masing-masing jenis perselisihan, dimana secara umum kita kenal dengan mekanisme Bipartit yaitu perundingan langsung SP/SB dengan Pengusaha, mekanisme Tripartit yang difasilitasi oleh Dinas Tenaga Kenaga dengan pilihan melalui jalur Mediasi, Konsiliasi atau Arbitrase. Jika mekanisme tripartit gagal baru memungkinkan untuk menempuh jalur Pengadilan Hubungan Industrial.
Peluang Renegosiasi
Terdapat wilayah abu-abu yang ditafsirkan beragam, apakah kondisi saat ini dapat dijadikan alasan yang kuat bagi pengusaha untuk melakukan PHK terhadap pekerja/buruh di perusahaannya. Jika menyimak pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Prof. Mahfud Md.[1], ketika memberi penjelasan terkait keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan wabah virus Corona (COVID-19) sebagai bencana nasional non alam, dinyatakan bahwa pengusaha tidak dibenarkan memberlakukan keadaan memaksa (force majeoure) atas dasar Keppres tersebut. Lahirnya Kepres tersebut justru dinyatakan sebagai peluang bagi SP/SB untuk melakukan renegosiasi dengan pengusaha.
Pernyataan hampir serupa juga disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Ida Fauziah[2], ketika memberikan penjelasan maksud dikeluarkannya Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. SE yang ditandatangani tanggal 17 Maret 2020 ditujukan kepada para Gubernur di seluruh Indonesia. Pada kesempatan tersebut secara tegas dinyatakan bahwa antara pengusaha dan buruh harus mengedepankan dialog sosial dalam menghadapi dampak Covid 19.
Mencermati hal tersebut, maka ruang renegosiasi dan dialog sosial haruslah dijadikan mekanisme utama yang mesti ditempuh oleh SP/SB dengan pengusaha, tentu dengan pengawasan ketat atau bahkan fasilitasi langsung oleh pemerintah maupun pemerintah daerah.
Adapun agenda renegosi atau dialog sosial yang mungkin dibawa oleh SP/SB dalam pertemuan perundingan dengan pengusaha yang difasilitasi pemerintah atau pemerintah daerah setidaknya meliputi opsi-opsi yang berisikan dua skenario utama yaitu, pertama, skenario tidak di-PHK tapi dirumahkan dengan merenegosiasikan nilai nominal upah atau penyesuaikan kembali mekanisme pembayaran upah, kemudian kedua, skenario keadaan terpaksa setelah dilakukan penilaian (assessment) secara objektif terhadap keadaan perusahaan sehingga harus melakukan PHK, yaitu merenegosiasikan nilai nominal uang pesangon, uang penggantian hak yang seharusnya diterima, dan uang penghargaan masa kerja.
Proses renegosiasi bisa merujuk pada ketentuan UU Ketenagakerjaan, tepatnya pada pasal 156 ayat (2), (3), dan (4) yang mengatur tentang menghitung cara perhitungan uang pesangon[3], uang penghargaan masa kerja[4], dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima[5]. Proses renegosiasi yang diprediksi akan sengit ini harus dipersiapkan sedemikian rupa oleh SP/SB, dan semua elemen organisasi pekerja/buruh sektoral harus memiliki kesepahaman tentang posisi dan kepentingan mereka secara umum, dan kesepahaman tentang rentang nilai-nilai yang akan ditawarkan (zone of possible agreement) dalam pertemuan renegosiasi.
Sementara untuk pengusaha juga diharapkan mau membuka diri seluas-luasnya untuk menempuh proses renegosiasi, dan telah menyiapkan data dan informasi empirik untuk disampaikan dalam forum perundingan, sehingga opsi-opsi alternatif dan objektif bisa dikembangkan dalam proses pertemuan tersebut.
Selamat Hari Buruh, 1 Mei 2020.
Salam Damai Harmoni,
Ahmad Zazali, S.H.
Managing Partner AZ Law & Conflict Resolution dan Direktur Eksekutif IMN (Impartial Mediator Network
[1]https://20.detik.com/detikflash/20200414-200414085/mahfud-md-keppres-bencana-nasional-tak-bisa-jadi-dasar-force-majeure
[2]https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e79ac3e367ad/dampak-covid-19-bisa-picu-phk–menaker–kedepankan-dialog-sosial/
[3] Pasal 156 ayat (2) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[4] Pasal 156 ayat (3) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[5] Pasal 156 ayat (4) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan