Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie

Beragama itu bukan hanya urusan ibadah, tetapi juga merawat alam semesta yang diciptakan Allah untuk manusia. Karena itu maka upaya merawat lingkungan hidup haruslah menjadi bagian dari ibadah semua orang yang mengaku beragama. Terlebih lagi karena Nabi Besar Muhammad SAW diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.
Hal itu dikemukakan oleh Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie di kampus Universitas Riau usai ia melakukan penanaman 15 pohon secara simbolik, menandai diluncurkannya rangkaian program pencinta lingkungan yang diinisiasi oleh Yayasan Generasi Lintas Budaya.
Dalam pidatonya Prof. Jimly katakan, Alqur’an mengajarkan bahwa Rasullulah diutus untuk menjadi rahmat bagi segenap alam. Karena itu pemeluk agama pun harus meneladani beliau dengan cara menjadi rahmat bagi lingkungannya bahkan bagi seluruh alam, tegas Jimly.
“Andai kita konsisten bahwa kita memperhatikan alam semesta dan menjadikan diri kita dan agama kita sebagai rahmat bagi semua orang, semua hewan, dan tumbuh-tumbuhan, maka alam ini akan dipenuhi rahmat, bukan bencana,” kata Jimly dalam acara tersebut yang merupakan bagian dari rangkaian Multi Event Lintas Budaya di
berbagai daerah.
“Maka beragama itu harus menjadi sumber rahmat bagi seluruh alam, bahkan bukan hanya umat Islam, pemeluk semua agama hendaknya begitu. Jadi agama itu jangan menjadi sumber bencana, sumber perpecahan, sumber kebencian. Tetapi sebaliknya menjadi sumber rahmat bagi seisi alam,” tegas Jimly di Universitas Riau belum lama
ini.
Namun ia menyadari bahwa cita-cita seperti itu baru terjadi di dalam teori. Dalam praktiknya, dalam kehidupan sehari-hari, yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah hewan lair terbanyak di seluruh dunia. Dan di dalam Appendix 1 PBB, yaitu laporan UNESCO, tampak jelas bahwa jumlah hewan liar yang terancam punah paling banyak di seluruh dunia juga ada di Indonesia.
Kenapa hewan-hewan di negeri kita terancam punah? tanya Jimly, dan ia menjawab sendiri: “Karena semua hewan itu dimusuhi manusia sehingga kita bukan menjadi rahmat bagi hewan, kita justru menjadi sumber bencana bagi hewan dan lingkungan.”
“Kalau ada burung dara di pantai, begitu dengar manusia datang, mereka langsung terbang karena takut. Coba lihat di negara-negara yang peradabannya tinggi. Hewan begitu bersahabat dengan manusia. Manusia menjadi rahmat bagi hewan.”

 

Hak Asasi Hewan dan Alam

Jimly katakan, suatu hari ia berjalan-jalan di Melbourne, Australia, dan melihat ada tupai yang jatuh ke pundak seseorang. Orang itu berjalan dengan tenang dan tupai tersebut turun ke kakinya kemudian berlari ke taman dengan selamat.
“Saya bayangkan kalau ini terjadi di Indonesia, pasti tupainya sudah diinjak-injak dan dibunuh. Itu artinya kita ini tidak ramah terhadap hewan. Padahal Alqur’an menyuruh kita menjadi rahmat bagi semesta alam.”
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini katakan bahwa di negara-negara Barat yang sibuk diperjuangkan sekarang bukan lagi hak asasi manusia, tetapi hak asasi hewan.
“HAM sudah selesai. Tahun 1789 sudah ada Declaration of the Rights of Man and of Citizens yang menjadi pembukaan dari konstitusi Prancis. Sekarang mereka sibuk memperjuangkan hak asasi hewan. Bahkan di Ekuador sekarang dimasukkan hak-hak asasi alam (nature’s rights),” katanya.
“Jadi yang punya hak asasi bukan hanya manusia tetapi juga sungai, gunung, hewan, tumbuh-tumbuhan, seisi alam ini punya hak asasi yaitu hak untuk tetap eksis. Orang di luar sana sudah sangat maju cara berpikirnya. Kita, jangankan animals’ right, hak asasi tetangga pun belum kita penuhi.”

Baca juga  Buya Syafii Maarif Optimis di Lahan Mencerdaskan Bangsa

Perubahan Iklim

Jimly kemudian menerangkan bahwa para pemimpin di seluruh dunia kini sibuk berpikir tentang climate change, khususnya apa yang akan terjadi apabila es di kutub utara dan selatan mencair.
Yang akan lebih dulu terancam dan mati adalah manusia di negara kepulauan seperti Indonesia. “Kita ini, Alhamdulillah tidak takut mati, bukan karena kita berani, tetapi memang karena tidak mengerti dan tidak mau mengerti”, kata Jimly.
Oleh karena itu sebagai Ketua Umum ICMI, Prof. Jimly mengajak masyarakat di Riau dan di seluruh Indonesia untuk menanam pohon sebagai gerakan nasional yang patut dibudayakan guna mencegah percepatan peningkatan atmosfir bumi yang diakibatkan oleh tandusnya planet ini serta rusaknya lapisan ozone yang diakibatkannya.

Ironi Negara-Negara Muslim

Demi membangunkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya memelihara lingkungan hidup, Jilmy katakan bahwa ada ironi sangat besar di negara-negara berpenduduk Muslim di dunia ini.
Ironi yang dimaksudkannya adalah karena negara-negara tersebut justru tidak menjadi pelopor dalam memelihara alam semesta, padahal kitab suci secara tegas mengamanatkan agar umat Muslim menjadi rahmat bagi seisi alam.
Mengutip hasil survei tentang Islamic Cities Index yang dilakukan oleh para guru besar di Amerika, Jimly katakan bahwa kota-kota yang paling Islami justru adalah kota-kota yang tidak memiliki penduduk Muslim, seperti di Skandinavia. Oleh karena itu maka sangat perlu bagi umat Muslim dan komunitas lintas agama di Indonesia untuk menjadi pelopor dalam memelihara lingkungan hidup, termasuk menanam pohon sebagai gerakan nasional yang patut dibudayakan.
Dalam rangka itu Prof. Jimly memberikan apresiasi yang tinggi kepada Ketua Generasi Lintas Budaya Foundation, Raja Asdi, yang telah menggerakkan berbagai elemen masyarakat termasuk budayawan, para artis, dan juga kementerian serta pemerintah daerah untuk bersama dalam gerakan besar ini sebagai kontribusi yang sangat berarti bagi upaya melestarikan lingkungan hidup terus ke masa depan.

Benua Atlantis yang Hilang

Jimly kemudian mengutip temuan ahli geologi nuklir Prof. Arysio Nunes dos Santos, Ph.D. tentang benua Atlantis yang hilang tetapi disebutkan dalam literatur Yunani kuno bahkan diceritakan oleh Plato bahwa benua yang hilang itu akhirnya ditemukan dan namanya adalah Indonesia.
Sekitar 17.000 sampai dengan 11.000 tahun yang lalu Indonesia ini sebetulnya sebuah benua besar yang kemudian terbelah menjadi banyak pulau dimana satu pulau dengan pulau lainnya sekarang dihubungkan oleh laut, padahal dulunya itu adalah sungai-sungai. Sumatera dan Jawa dulu dihubungkan oleh sungai, begitu pula Jawa dan Kalimantan, Kalimantan dan Sulawesi, dan seterusnya.
Dalam bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found yang dirilis tahun 2005 itu Prof. Santos katakan bahwa karena dasar sungai-sungai itu runtuh akibat perputaran bumi yang dahsyat maka berubah menjadi laut dangkal yang menghubungkan pulau-pulau tersebut.
Inilah sebabnya maka lautan yang sekarang menghubungkan pulau-pulau itu berwarna biru muda, pertanda laut yang dangkal. Inilah juga sebabnya maka di bawah kepulauan Nusantara ini terdapat Ring of Fire atau cincin api berukuran raksasa yang di atasnya terdapat banyak gunung berapi.
Oleh karena kejadian alam yang mahadahsyat ini maka penduduk yang dulunya bermukim di Nusantara ini musnah semua. Dan ini yang bisa menjelaskan mengapa peradaban Indonesia baru muncul sekitar abad kedua dan ketiga Masehi padahal di Eropa dan daratan Asia tercatat bahwa peradaban manusia sudah ada ribuan tahun
sebelum ledakan bawah bumi di benua Atlantis itu.

Baca juga  Dengan Garam, Gelap Jadi Terang

Budaya Rawat Lingkungan

Oleh karena itulah maka Prof. Jimly mengajak masyarakat Indonesia untuk menjadikan gerakan menanam pohon sebagai bagian dari budaya bangsa, yaitu budaya merawat lingkungan, sekaligus sebagai perwujudan dari ajaran agama danteladan Nabi Muhammad. Hal ini juga untuk mengatasi tuduhan bahwa Indonesia adalah salah satu
penyumbang erosi bumi terbesar. Karena memang alam kita ini ringkih, kata Jimly. Maka kita harus tahu karakter alam
Indonesia ini dan memeliharanya melalui gerakan penghijauan. Sebab yang akan jadi korban tentunya adalah masyarakat Indonesia juga apabila alam semakin panas dan tidak bersahabat karena kekurangan tumbuh-tumbuhan, ujar Jimly.
Rangkaian program Generasi Lintas Budaya Foundation dengan tema Green Optimis Bersama Merawat Lingkungan Hidup Bumi Pertiwi ini didukung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Badan Restorasi Gambut RI, BNPB, Kementerian ESDM RI, Pemko Kota Payakumbuh,ICMI, PB NU, ICRP, Komunitas Karang Pohon, Green Radio, PT. PLN ( Persero ). [***]