Sepiring mi goreng Aceh tiba di meja. Di depan saya duduk Letnan Jenderal Doni Monardo yang terus bersemangat bercerita tentang penanggulangan bencana. Tubuhnya tinggi dan serasi dengan otot-otot yang lumayan berisi. Wajahnya tampak lebih muda untuk lelaki berusia lima puluh enam tahun.
Dia memesan mi itu, matanya mengikuti gerak pinggan yang dibawa pelayan sebelum mendarat di hadapannya. Sepiring mi goreng berbumbu merah basah dan sebutir telor ceplok mandi kuah tumisan, dengan sejumput kerupuk mengapung di atasnya. Wangi bumbu rempah meruap di ruang kedai kopi itu. Dan Jenderal Doni masih terus berbicara meskipun makanan telah tiba.
Saya menggeser sebotol air mineral ke dekat piringnya, sebagai antisipasi kalau dia butuh minum nanti. Tapi sang jenderal menggeleng, dan dia melirik ke ajudannya. “Tolong ambilkan tumbler saya”.
Sudah dua tahun, kata dia, botol minuman itu dibawa ke mana pun dia pergi. Jenderal Doni rupanya sedang melakukan diet plastik. Dia sedapat mungkin tidak memakai plastik yang kemudian jadi sampah. “Dengan botol ini, kita bisa isi ulang air minum,” ujarnya.
Dia tampak sangat disiplin melaksanakan sikap itu.
Saya kagum. Tak terbayangkan seorang bekas komandan pasukan khusus peduli pada hal-hal kecil tapi berdampak besar seperti itu. Sampah plastik di Indonesia, kata Jenderal Doni, termasuk yang terbesar di dunia. “Ikan Paus lewat di laut kita. Sayangnya mereka mati menelan plastik di sini”.
Menurutnya tanpa perubahan sikap mental bencana akan terus mengintai. Bencana akibat gerak alam, kata dia, sudah ada sejak bumi tercipta. Persoalannya bagaimana kita menyikapinya, dan menghindar dari bahaya. Bencana lebih besar adalah ulah manusia, makhluk yang hadir kemudian setelah bumi berusia tua. Tingkah manusia memang menyebalkan. Merusak. Misalnya ya limpahan plastik itu tadi.
Jenderal Doni memang beda. Dia mencintai lingkungan, dan terutama dia menyukai tetumbuhan. Sewaktu menjadi panglima di Jawa Barat dia ikut membuat sungai Citarum bersih dari sampah. Di mana pun berada dia mencanangkan gerakan sejuta pohon.
“Sejak kapan Anda menjadi pecinta tanaman?” Lalu dia bercerita tentang kehidupan masa kecil di Peuniti, sebuah kampung di kota Banda Aceh, di era 1970an. Di Krueng Daroy, dekat rumahnya, air masih mengalir jernih di sungai kecil itu. Kita bisa melihat gerombolan ikan berkecipak, dan sulur-sulur lumut menari digoyang arus kali. “Saya mandi di sana, dan kadang memancing ikan”.
Sewaktu di bangku SD, dia rajin ikut neneknya yang suka membersihkan pekarangan. Dia kerap menemukan biji mangga atau nangka tumbuh di dekat tumpukan sampah. Tanaman itu mungil, dan daunnya hijau menggemaskan. Doni kecil ingin merawatnya. Dia memindahkan tanaman itu ke tanah yang lebih luas, dan takjub melihat tunas kecil itu kelak tumbuh subur menjadi pepohonan besar.
Sejak itu dia kerap melakukan hal sama. Menebar biji buah-buahan, dan ketika bertunas dipindahkannya ke lahan lain, dan puas melihat tanaman itu tumbuh serta menyuguhkan manfaat bagi orang-orang sekitar. Kebiasaan itu terus dijaga sampai dia besar. Ketika menjadi komandan militer, menanam pohon menjadi agenda yang sama pentingnya seperti tugas perang. “Ini berguna buat menjaga alam, sekaligus kemanusiaan”.
Dia mencintai alam, dan tentu saja manusia.
Apa yang dilakukannya sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana sekarang? “Saya tetap alat negara. Saya bekerja sesuai perintah negara”. Maka sibuklah sang jenderal memadamkan kebakaran hutan dan lahan di Riau, yang sangat sulit dilakukan di musim kemarau. Dia belajar banyak dari sana, dan menyimpulkan bahwa bencana terus berulang karena kita tak mau belajar dari alam.
Sang Jenderal meminta izin menyantap hidangan. Saya melihatnya makan dengan lahap, dan sesekali mendengar bagaimana mimpinya agar Indonesia punya suatu sistem penanggulangan bencana yang lebih rapi dan berkelanjutan. “Jika kita bisa menghindari jatuhnya korban akibat bencana, semua kita adalah pahlawan kemanusiaan”.
Saya mengangguk. Lelaki di depan saya ini tampaknya adalah seorang tentara dengan karakter yang tak biasa.