OLEH: DATUK SERI H. AL AZHAR,
Ketua Umum Lembaga Kerapatan Adat Melayu Riau

Sejak UUD 1945 resmi disahkan pada 18 Agustus 1945 hingga hari ini, negara belum mengakui hak-hak masyarakat adat. Mereka yang hidup di wilayah-wilayah adat dianggap tidak ada. Komunitas wilayah adat pun menjadi tidak punya hak atas wilayahnya. Dari situasi itu, konflik pun kerap muncul, yang tak jarang berujung kekerasan.

Penantian panjang pengakuan hak masyarat hukum adat dalam bentuk perundang-undangan belum juga terwujud hingga hari ini. Dengan kata lain, republik ini berutang secara konstitusi terhadap masyarakat adat. Padahal, pengakuan atas keberadaan
masyarakat adat jelas tertulis dalam UUD 1945, terutama Pasal 18B ayat(2).

Tanah adat kerap dirampas begitu saja melalui kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Melalui negara, tanah adat dikapling-kapling demi kepentingan korporasi, melalui izin eksploitasi migas, Hutan Tanaman Industri, Hak Pengelolaan Hutan dan Hak Guna Usaha. Masyarakat adat sama sekali tidak diajak bicara, meski diakui sebagai pewaris tanah adat. Walaupun terdapat janji yang menyertai kebijakan pertumbuhan ekonomi yang menyatakan bahwa suatu saat, seluruh rakyat Indonesia,
-oleh karena itu, secara tidak langsung juga masyarakat adat akan menikmati hasil pertumbuhan ekonomi melalui “trickledown effect” atau efek menetes ke bawah. Tapi kenyataannya, masyarakat adat hingga saat ini menjadi pihak yang paling tidak tersentuh capaian-capaian pertumbuhan ekonomi.

Pendeknya, semua wilayah adat di negeri ini dianggap sebagai tanah kosong tak bertuan. Di Riau khususnya, marjinalisasi masyarakat adat lebih disebabkan karena penerapan kebijakan pembangunan, bukan faktor-faktor alamiah seperti overpopulasi sehingga menyebabkan kelangkaan tanah yang berdampak pada berinvolusinya sektor pertanian tradisional sebagai mata pencaharian utama. Sebaliknya, okupasi masif atas tanah adat di masa lalu menjadi penyebab kelangkaan sumber-sumber mata pencaharian di wilayah adat. Itu sebabnya, masyarakat adat berharap keberadaan sebuah perundanganundangan yang melindungi mereka dan hak-hak mereka.

Pemerintahan yang dipimpin Joko Widodo-Jusuf Kalla ini telah menggagas dan mengimplementasikan program yang dinamakan Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Ini merupakan program yang menjadi bagian dari reformasi agraria terkait redistribusi aset. Meskipun secara teknis, Perhutanan
Sosial tidak termasuk dalam redistribusi aset, karena TORA adalah program yang diorientasikan sebagai redistribusi, namun bagi saya, baik skema Perhutanan Sosial maupun TORA adalah upaya redistribusi aset kepada rakyat, yang membedakan adalah Perhutanan Sosial merupakan aset bersama dengan pemanfaatan
yang ditentukan oleh peraturan tentang kehutanan,

Saya melihat program itu sebagai niat baik pemerintah untuk membangun keseimbangan tenurial: keseimbangan agraria. Oleh karena itu, dalam konteks Riau, saya berharap agar Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) tidak sekadar membagibagikan sertifikat kepada warga secara individual. Tapi juga ada tanah yang diberikan sebagai hak bersama, hak komunal. Pasalnya, di Riau ada tanah yang berada di wilayah adat yang umumnya milik bersama dan adat.

Pertanyaan yang muncul dari skema TORA; apakah ada regulasi
yang mengatur tentang sertifikat kepemilikan bersama tersebut? Karena, masyarakat adat perlu melestarikan wilayah adat untuk
berbagai alasan terutama karena alasan identitas.

Baca juga  Pindahkan Ibu Kota, Presiden Jokowi Berkirim Surat ke DPR

Implementasi kebijakan Perhutanan Sosial di Riau juga perlu
memperhatikan hal penting berikut karena selain lahan Perhutanan Sosial adalah milik komunal, sebagian besar areal perhutanan sosial di Riau berada di wilayah adat. Selama Indonesia merdeka, kasus tanah adat di Riau menjadi terlupakan. Masyarakat adat Riau berharap bahwa implementasi Perhutanan Sosial yang berada di areal yang diklaim sebagai wilayah adat
harus mengikuti karakteristik areal dimana Perhutanan Sosial diterapkan.

Perjuangan masyarakat adat pada dasarnya adalah perjuangan atas hak yang meliputi hak atas identitas maupun wilayah. Identitas masyarakat adat melekat pada wilayah adat. Karena itulah, persoalan negara atau regulasi yang berhubungan dengan masyarakat adat pasti berkaitan dengan persoalan hak, bukan peruntukan. Hal inilah yang menyebabkan kuatnya resistensi masyarakat adat jika dihadapkan dengan persoalan wilayah adat. Isu yang mencuat ke publik adalah tingginya konflik agraria di Riau.

Berhubung pengakuan terhadap hak masyarakat adat tak kunjung tiba, sengketa lahan pun kerap terjadi dan tidak jarang berujung pada kekerasan. Catatan Ombudsman membuktikan
hal tersebut. Sepanjang 2016, misalnya, Ombudsman mencatat
konflik agraria mencapai 450 kasus meliputi sekitar 1,3 juta hektar. Dari kasus itu, konflik perkebunan menduduki posisi puncak, dengan 163 konflik atau sekitar 602 ribu hektar.

Konflik sektor kehutanan meliputi sekitar 450 ribu hektar, properti
104 ribu hektar, migas 44 ribu hektar, infrastruktur 36 ribu hektar, pertambangan 27 ribu hektar, pesisir 1.706 hektar dan pertanian seluas 5 hektare. Dalam konteks Riau, 75 persen hingga 80 persen dari masyarakat miskin (yang jumlahnya mencapai 7,9 persen dari populasi) memiliki hak hutan adat. Hal ini merupakan ironi karena masyarakat adat adalah pemilik sesungguhnya harta dan kekayaan di Riau selama ini.

Meskipun sejumlah aturan seperti Perhutanan Sosial yang dilengkapi dengan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) dan TORA merupakan sebuah kemajuan. Tapi, pelaksanaannya masih setengah hati karena prosedur pengusulan dan penetapan skema Hutan Adat dalam Perhutanan Sosial lebih rumit dibandingkan skema lainnya. Itulah sebabnya, perlu dikomunikasikan ke Kantor Staf Presiden (KSP) agar aturan-aturan skema hutan adat dipermudah atau setidaknya disamakan dengan skema perhutanan sosial lainnya.

Pertanyaan berikutnya mengapa KSP? Karena, pemerintah
provinsi, kabupaten/kota dan DPRD tidak mempunyai kewenangan di sektor kehutanan. Yang memiliki kewenangan sektor kehutanan adalah pemerintah pusat. Kendati belum baik benar, saya melihat kebijakan sekarang ini sudah ada semacam keberpihakan, meski implementasinya masih belum sesuai dengan keinginan masyarakat adat, dimulai dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara atau secara eksplisit mengeluarkan hutan adat dari hutan negara hingga perhutanan sosial dan TORA keberpihakan tersebut mulai terlihat jejaknya.

Gerakan masyarakat adat juga semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Salah satu buktinya adalah munculnya Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat. Kendati merupakan inisiatif DPR, setidaknya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengawal kencang dan maraton proses penyusunan RUU tersebut, antara lain dengan mengkritik pasal-pasal yang dianggap tidak beriktikad baik.

Baca juga  Presiden Tinjau Langsung Program Sambungan Listrik Gratis di Bekasi

Menurut saya, selain karena amanat konstitusi, ada beberapa alasan mengapa RUU tentang Masyarakat Adat perlu segera disahkan. Pertama, sebagai dasar untuk menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi, baik masyarakat adat dengan pemerintah
maupun dengan pihak swasta. Konflik tersebut umumnya berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam dan tanah. Kedua, pembentukan Undang-Undang tentang Masyarakat
Adat menjadi penting karena merupakan tanggung jawab negara— yang selama ini mengabaikan hak-hak masyarakat adat.

Memperjuangkan hak bagi masyarakat adat, sepanjang yang saya
pahami berada pada aras ideologis yang meliputi sekurang-kurangnya identitas dan wilayah. Identitas secara sosiologis adalah simbol tertinggi suatu eksistensi, masyarakat adat masih memiliki sistem norma dan pranata yang kuat untuk menjelaskan
identitasnya. Wilayah adat merupakan komponen penting karena sistem sosial, otoritas, pusat ingatan kepada para pendahulunya, leluhurnya, sekaligus marwah, spirit, ashabiyyah atau das geist tersublimasi pada wilayah adat. Oleh karena itu, wilayah adat menjadi semacam magna charta, piagam atau simbol otentik eksistensi yang dimanifestasikan dalam bentuk tanah, hutan, sungai dan elemen lain yang disakralkan. Begitulah mengapa perjuangan masyarakat adat tidak pernah berhenti meskipun
diliputi keterbatasan dan represi.

Perjuangannya adalah perjuangan yang dilatari berbagai dimensi;
identitas, nilai dan pranata inti serta keberlanjutan hidup. Penjelasan ini setidaknya dapat menjelaskan tingginya konflik agraria di Riau. Berdasarkan fakta tersebut, akan sangat berisiko jika negara tidak segera mengambil tindakan nyata untuk memberikan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat yang selama ini terampas. Perjuangan yang dilandasi nilai inti atau grund norm cenderung memiliki kekuatan dalam menggalang konsolidasi yang lebih luas. Terlebih, masyarakat adat sudah banyak yang terpelajar, dimana pengetahuan yang didapatkan di
lembaga pendidikan tinggi formal tidak serta merta menggerus
identitas mereka sebagai masyarakat adat, tapi justru memperkokoh kesadaran terhadap nilai yang harus diperjuangkan.

Kelompok ini memahami konsep-konsep kesadaran termasuk true and false consciousness secara mendetail dan menularkan spiritnya ke komunitasnya melalui gerakan sosial. Jika suatu saat munculnya kesadaran bahwa aturan yang selama ini dinilai selalu menghina dan meminggirkan masyarakat adat terkonsolidasi dalam suatu gerakan sistemik, maka sungguh berbahaya jika hal tersebut terjadi.