Antara Keberhasilan Mengatasi Paparan Asap dan Kekalahan Pilpres 2019. <fn>Refleksi atas program pro lingkungan Jokowi yang paling berhasil dibanding Presiden era sebelumnya dan kekalahan telak Jokowi pada Pilpres 2019</fn>
Ahmad Zazali, SH <fn>Penulis pernah 12 tahun tinggal di Riau dan merasakan dampak langsung paparan asap dari kebakaran hutan dan lahan. Penulis saat ini adalah Relawan Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 melalui organ relawan Pemuda Bravo 5 Pusat sebagai Kepala Departemen Hukum dan Advokasi, sehari-hari berprofesi sebagai Advokat dan Mediator serta Pelatih atau Trainers berkaitan dengan isu Tata Kelola Sosial dan Lingkungan serta Resolusi Konflik.</fn>

Direktur, Impartial Mediator Network

 

Penghelatan Nasional Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden telah rampung, rakyat telah menentukan pilihannya secara langsung di bilik suara pada 17 April lalu. Kendati 2019 pemilihan berlangsung serentak antara Pemilu Legislatif (DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI dan DPD RI) dan Presiden – Wakil Presiden, namun Pemilu 2019 bisa berlangsung dengan sukses dan tanpa ada gangguan yang sigiifikan. Pemilu serentak 2019 ini terbukti mendapatkan apresiasi dari manca negara.

Kendati demikian, harus diakui bahwa Pemilu 2019 ini juga paling menyedot perhatian masyarakat, terutama prihal Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang kebetulan hanya diikuti dua pasangan calon.

Proses kontestasi antara dua pasang calon, Jokowi vs Prabowo yang merupakan kedua kalinya sejak Pemilu Presiden 2014 telah membuat dinamika sosial yang cukup panas tidak hanya pada pemilih perkotaan namun juga hingga ke pelosok-pelosok desa.

Cukup banyak cerita dimana terjadi pembelahan dukungan yang cukup keras dan kadang berujung pada ketegangan-ketegangan antar pendukung Jokowi (01) dan Prabowo (02).

Ketegangan antar pendukung ini bukanlah berlangsung secara alamiah, namun dipengaruhi oleh arus informasi yang cepat dan masif melalui dunia maya, media sosial dan melalui aplikasi smartphone yang semakin canggih.

Penyebaran informasi dengan berbagai sentimen Identitas dan Stigma negatif sampai palsu (hoak) kerap muncul di berbagai media, sehingga publik semakin susah membedakan yang mana informasi valid dan benar, dan mana informasi palsu dan kampanye negatif atau kampanye hitam.

Pada 21 Mei lalu, KPU telah mengumumkan pemenang Pilpres adalah pasangan 01 Jokowi dan Ma’ruf Amin dengan perolehan suara 55,50% atau 85.607.362 suara, sementara pasangan 02 hanya memperoleh 44,50% atau 68.650.239 suara.

Pengumungan KPU ini sesuai dengan prediksi berbagai lembaga survei yang menyelenggrakan hitung cepat atau quick count, seperti Indonesia Barometer, Charta Politika, SMRC, LSI Denny JA, Poltracking, Voxpol Center, Litbang Kompas, dan lain-lainnya.

Kemenangan Pasangan 01 terdapat di 21 Provinsi sedangkan sisanya 13 Provinsi dimenangi pasangan 02, kekalahan terbesar Jokowi terjadi di Sumatera terutama di Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan, Bengkulu.

Pengumuman KPU ini sempat diwarnai aksi penolakan dari pendukung 02 yang terpusat di depan kantor Bawaslu, mereka menggelar demonstrasi sampai malam, sempat mengadakan sholat tawarih di depan kantor Bawaslu.

Namun aksi yang berlangsung damai ini ternodai oleh kelompok lain yang memancing kerusuhan, sehingga terjadi perusakan prasarana publik dan pembakaran asrama Brimob, bahkan yang paling memprihatinkan aksi ini menyebabkan timbulkannya korban nyawa 9 orang serta ratusan peserta demonstrasi yang ditangkap karena melakukan perusakan dan pembakaran tersebut.

Riau dan Kekalahan Jokowi

Kekalahan Jokowi – Ma’ruf di Riau pada Pilpres 2019 ini sebanyak 726.574 suara dibanding Prabowo – Sandi dari total suara sah 3.224.000 suara atau dengan perbandingan 1.248.713 suara memilih pasangan 01 dan 1.975.287 suara untuk pasangan 02.

Kekalahan ini jika dilihat secara seksama dari data KPUD Riau tersebar di Kota Pekanbaru 226.170 suara, Kabupaten Kampar 160.808 suara, Indragiri Hilir 68.429 suara, Kuantang Singingi 65.208 suara, Rokan Hulu 47.225 suara, Bengkalis 42.394 suara, Indragiri Hulu 33.817 suara, Kota Dumai 26.039 suara, Siak 20.514 suara, Rokan Hilir 17.424 suara, Pelalawan 13.944 suara, dan Kepulauan Meranti sebesar 4.602 suara. Perolehan suara Jokowi ini meningkat sebesar 94.104 suara jika dibandingan perolehan suara pada Pilpres 2014.

Lalu kira-kira apa yang menyebabkan kekalahan Jokowi di Riau semakin besar di Sumatera, khususnya Riau. Secara umum banyak yang berpendapat kalau Riau memang tidak pernah menyukai PDIP, ini dibuktikan dengan tidak pernah berhasilnya kader PDIP menduduki kursi Gubernur Riau, dan dalam Pilpres 2019 Jokowi identik dengan PDIP.

Baca juga  Presiden Resmikan 4 Ruas Jalan Tol Trans Jawa di Jawa Timur

Pendapat lain menyatakan bahwa kekalahan ini seperti halnya di Sumatera Barat sangat di pengaruhi oleh ketidaksenangan para trah Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia. Ketidaksenangan ini secara historis dimulai dari jaman pergolakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang memberontak dan ingin memisahkan diri di era pemerintahan Soekarno pada tahun 1958 – 1961, dimana Sumatera Barat sebagai basis utama dan pengaruhnya hingga ke Riau.

Sebaliknya Bapak Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo, yang sebelumnya pernah menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan (1950 – 1951), dan Menteri Keuangan (1952 – 1956) di era Pemerintahan Soekarno, diidentikkan sebagai penyokong pemberontakan PRRI ketika itu, bahkan diisukan menduduki jabatan salah satu Menteri dalam pemerintahan tandingan PRRI.

Kekalahan Jokowi yang tak kalah penting diduga kuat karena hubungannya dengan kampanye negatif dan kampanye hitam serta informasi palsu atau Hoaks yang banyak tersebar ke publik melalui berbagai situs dunia maya, media sosial dan aplikasi smartphone.

Isu yang bernuasa identitas keagamaan diduga sangat mempengaruhi persepsi masyarakat pemilih di Riau terhadap sosok Jokowi, seperti isu Jokowi PKI, Jokowi mengkriminalisasi ulama, kebijakan pro pada Non Muslim. Termasuk juga isu Jokowi Pro Asing dan Aseng, Mendukung LGBT, asal-usul Jokowi yang tidak jelas, maupun isu-isu politik Jokowi dalam kendali dan bayang-bayang Megawati, dan lain sebagainya.

Analisis lain atas kekalahan Jokowi yang tak kalah penting yaitu berhubungan dengan kebijakan Jokowi yang dianggap tidak bersahabat dengan korporasi besar dan perorangan yang menguasai tanah dan hutan yang berada pada areal gambut di Riau, terutama penguasa lahan bidang perkebunan sawit dan hutan tanaman yang menguasai areal Gambut rentan terbakar di Riau.

Kebijakan Jokowi ini diawali dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan melalui Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut serta kebijakan-kebijakan teknis olek Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan BRG.

Kebijakan tersebut mengharuskan korporasi kehutanan untuk merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU) yang berada di atas lahan gambut dan membuat rencana perlindungan dan pemulihan ekosistem Gambut. Sebagaimana data Bappeda Provinsi Riau menyebutkan bahwa 51% atau 4,8 juta hektar wilayah daratan Riau merupakan lahan gambut.

Akibat kebijakan pemerintahan Jokowi tersebut, perusahaan-perusahan Hutan Tanaman Industri penyedia bahan baku 2 industri pulp and paper di Riau yang dipastikan akan menerima dampaknya secara langsung, dimana saat ini tercatat sekitar 70 unit perusahaan hutan tanaman menguasai kawasan hutan seluas 2, 1 juta hektar (Walhi Riau, 2018).

Selain hutan tanaman, juga tercatat Perkebunan Sawit di Riau yaitu seluas 4,2 juta hektar (Sawit Watch, 2019) yang sekitar setengahnya dikuasai langsung oleh 513 unit perusahaan.

Dari luasan penguasaan korporasi tersebut, terdapat sedikitnya 1,4 juta hektar hutan tanaman (51 Perusahaan) dan 164 ribu hektar perkebunan sawit milik 50 perusahaan (Walhi Riau, 2018) berada dalam areal gambut yang rentan terbakar, sehingga tidak boleh lagi ditanami dan wajib dilakukan perlindungan serta pemulihan oleh perusahaan dengan pengawasan dan supervisi oleh BRG, dengan demikian kebijakan ini secara langsung mengganggu ketersediaan lahan serta bahan baku kayu dari hutan tanaman milik 2 industri raksasa di Riau.

Dampak langsung ke bisnis bahkan sempat diprotes oleh perusahaan melalui ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja akibat pengurangan luas lahan produktif tanaman pokok hutan tanaman.

Menjelang penghujung tahun 2017, bahkan salah satu perusahaan besar di Riau bahkan sempat melakukan perlawanan hukum dengan melayangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara terkait kebijakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang membatalkan Rencana Kerja Usaha (RKU) di lahan gambut untuk restorasi ekosistem, walaupun akhirnya berujung kekalahan dan Kebijakan tersebut terus dijalankan hingga saat ini.

Jokowi dan Keberhasilan Mengurangi Bencana Paparan Asap di Riau <fn>Refleksi atas program pro lingkungan Jokowi yang paling berhasil dibanding Presiden era sebelumnya dan kekalahan telak Jokowi pada Pilpres 2019</fn>

Kebijakan restorasi ekosistem gambut tersebut pada kenyataannya terbukti berbuah positif menekan laju kebakaran  hutan dan lahan, dan mengurangi bencana akibat paparan asap bagi masyarakat Riau serta Provinsi sekitarnya, termasuk negara tetangga, Singapura dan Malaysia.

Baca juga  Asap kembali ganggu penerbangan di Bandara SMB II Palembang

Persepsi negatif dan informasi Hoaks telah berhasil dibangun oleh lawan politik Jokowi dan mengalahkan prestasi pemerintahan Jokowi di Riau. Prestasi ini terlihat dari semakin menurunnya luas lahan terbakar di Indonesia, penurunan nya mencapai 85% dibanding tahun 2015, dimana ketika awal menjabat lahan dan hutan terbakar seluas 261 ribu kektar dan akhir 2018 tersisa 4,7 ribu hektar lagi (Global Forest Watch Fires, 21 Februari 2019).

Keberhasilan menekan laju kebakaran lahan dan hutan ini tentu dirasakan manfaatnya oleh semua rakyat Riau, baik di Perkotaan maupun di Pedesaaan, terlebih di Kebupaten/Kota yang memiliki lahan bergambut luas, yang tersebar di Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, Pelalawan, Siak, Pekanbaru, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Dumai dan Indragiri Hilir.

Dukungan atas kebijakan pro lingkungan Jokowi ini juga banyak mendapat dukungan kuat dari organisasi masyarakat sipil atau LSM-LSM di Riau, Nasional dan Internasional.

Namun kalau dilihat angka kekalahan Jokowi dalam Pilpres 2019 justru terjadi besar-besaran di Kabupaten/Kota yang banyak terdampak paparan asap selama ini maupun Kabupaten dengan lahan gambut yang luas-luas.

Menjadi pertanyaan besarnya, apakah fakta keberhasilan program di era Pemerintahan Jokowi tidak terinformasikan sampai di tingkat lapangan oleh pendukung kebijakan Jokowi, termasuk oleh kalangan LSM yang selama ini mendukung kebijakan pro lingkungan Jokowi atau memang karena sikap apolitis dari para aktifis LSM yang masih kental atau karena terkalahkan dan tertutupi oleh ganasnya semburan kampanye negatif serta kampanye hitam yang dilakukan tim kampanye pasangan 02, atau memang pengaruh langsung maupun tidak langsung dari ketidaksenangan korporasi besar dan perorangan yang terkena dampak kebijakan restorasi gambut era Jokowi.

Ataukah karena politisi-politisi penyokong Jokowi dan tim kampenye pasangan 01 di Riau yang tidak punya kemampuan mengkomunikasi keberhasilan Jokowi atau justru mereka juga tidak senang dengan kebijakan pro lingkungan ini, sehingga tidak berselera mengangkat keberhasilan Jokowi mengatasi paparan asap bagi rakyat Riau.

Tentu, analisis lebih dalam kaitan perolehan suara (elektoral) dengan kebijakan pro lingkungan Jokowi ini perlu dilakukan lagi, sehingga isu lingkungan juga bisa menjadi arus utama dalam kebijakan politik dan hukum Indonesia ke depan.

Jokowi 5 tahun kedepan

Kendati kalah telak di Riau, saya yakin Jokowi tidak akan menganaktirikan Riau setelah beliau kalah di Pilpres 2019.

Sebaiknya kebijakan yang telah ada selama ini, terutama terkait  tata kelola lingkungan (environment governance), seperti  terhadap korporasi yang lahannya terkena objek restorasi ekosistem harus dimintai komitmen lebih besar lagi untuk benar-benar mendukung restorasi gambut.

Bukan Hanya terkait restorasi gambut, harapan saya, kewajiban perusahaan menyediakan tanaman kehidupan 20% untuk masyarakat sekita dan minimal 20% untuk kebun kemitraan oleh perkebunan kelapa sawit juga harus dipastikan bisa terwujud pada pemerintahan pak Jokowi priode 5 tahun mendatang.

Kemudian terkait tata kelola perusahaan (corporate governance), Apabilan ada korporasi yang nakal atau  bandel, misalnya tidak merealisasikan kewajiban-kewajiban yang sudah ditentukan peraturan perundangan-undangan maka harus diberi sanksi tegas, seperti realisasi kewajiban 20% tanamanan kehidupan dan kebun kemitraan tadi, program Pemberdayaaan melalui CSR (Corporate Social Responsibility), Pengutamaan tenaga kerja lokal, Penyelesaian masalah sosial dan konflik tenurial dengan masyarakat, pengelolaan limbah, dan lain sebagainya.

Namun sebaliknya, bagi perusahaan yang punya komitmen kuat dan terbukti direalisasikan maka harus diberi penghargaan oleh pemerintah.

Untuk tata kelola di bidang pemerintahan secara umum, maka perubahan mentalitas ASN dan pejabat daerah harus benar-benar dibenahi dari paradigma dilayani menjadi melayani masyarakat.

ASN dan Pejabat daerah harus terbiasa bekerja turun langsung ke lapangan dan berdialog langsung dengan masyarakat dan melihat langsung persoalan di lapangan, dengan demikian apa yang dikerjakan sebagai pelayan masyarakat menjadi lebih efektif.

Untuk masyarakat pada umumnya, Pemerintahan Jokowi mendatang harus menaruh perhatian lebih besar kepada nasib petani, terutama kalau di Riau kepada petani sawit dan karet. Harus dipastikan ada solusi terhadap harga-harga komoditi pertanian utama masyarakat Riau agar meningkat dan dapat menguntungkan dan mensejahterakan petani.