“Setelah dilantik di bulan Oktober nanti kami adalah Presiden dan Wakil Presiden seluruh rakyat Indonesia. Kami adalah pemimpin dan pengayom dari 100 persen rakyat Indonesia. Kami akan berjuang keras demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bagi 100 persen rakyat Indonesia.”
Itulah pernyataan Jokowi yang disampaikannya di Kampung Deret, Tanah Tinggi, Johar Baru, sekitar 11 jam setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan paslon 01 Jokowi – Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 dengan selisih 16.957.123 atau 11 persen suara.
Pada hari yang sama, 21 Mei 2019, di penanggalan yang sama di saat Suharto turun dari 32 tahun kekuasaannya pada 21 tahun silam, Jokowi menerima presiden kelima Indonesia, Megawati Sukarnoputri.
Didampingi wakil presiden keenam dalam sejarah RI, Try Sutrisno, kedua tokoh itu menyatakan harapannya tentang Jokowi,
“Beliau akan terus jalan, membangun negara kita, mewujudkan cita-cita proklamasi. Saya sebagai orang tua mendoakan supaya Indonesia setelah selesai Pemilu sadar, sebagai rakyat bangsa yang religius, segera bisa kita konsolidasi. Karena kita dengan bersatu padu menjadi kuat, kalau kita tidak bersatu padu kita akan melemah dan berbahaya itu.”
Sementara itu, sekitar 487 mil laut dari Jakarta, Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidatonya dari Singapura. Salah satu petikan pidato yang awalnya ditayangkan di kanal youtube ‘Partai Demokrat TV’ kemudian menyebar ke program berita berbagai stasiun televisi arus utama itu berbunyi begini,
“Saya makin bersyukur dan lega karena Pak Jokowi telah menyampaikan bahwa akan menjadi pemimpin dan pengayom dari seluruh rakyat Indonesia, akan berjuang keras demi terwujudnya keadilan sosial, dan mengajak bersatu-padu membangun Bangsa dan Tanah Air tercinta.
Komitmen pemimpin seperti itulah yang ditunggu dan sangat diharapkan oleh rakyat untuk diwujudkan setelah Pemilu ini usai. Baik oleh mereka yang memilih Pak Jokowi dan Ma’ruf Amin maupun yang tidak memilihnya. Inilah awal yang baik bagi rukun dan bersatunya kembali Bangsa Indonesia yang hampir setahun berada dalam kontestasi yang keras dan polarisasi yang ekstrem.”
Dua hari berselang, tokoh bangsa yang juga presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, menemui Jokowi di Istana Merdeka.
Dalam pertemuan itu, Habibie mengingatkan bahwa siapapun yang memimpin bangsa Indonesia, sudah menjadi kewajiban bagi pemimpin itu untuk mengayomi seluruh rakyat Indonesia.
“Siapa saja yang nanti akan memimpin dan sedang memimpin, dia tidak hanya memimpin yang memilihnya, tapi dia memimpin seluruh bangsa Indonesia,” kata Habibie yang menjabat Presiden Indonesia selama 516 hari dari 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999 itu.
Inilah kata kunci dari pernyataan empat orang yang tergabung dalam ‘The Presidents Club’ itu, para presiden Indonesia yang masih hidup.
Jokowi menegaskan dirinya sebagai ‘pemimpin dan pengayom bagi 100 persen rakyat Indonesia’.
Megawati, sebagaimana diucapkan Pak Try, menekankan pada ‘konsolidasi’ dan ‘bersatu padu’.
SBY gembira karena penerus tongkat estafetnya menjadi pemimpin bagi ‘yang memilih Pak Jokowi dan Ma’ruf Amin maupun yang tidak memilihnya’.
Adapun BJ Habibie memberi penekanan senada: ‘Jokowi tidak hanya memimpin yang memilihnya, tapi memimpin seluruh bangsa Indonesia’.
Indonesia yang satu. Pemimpin yang mempersatukan.
Tiba-tiba kita teringat pada Barack Obama, presiden pertama Amerika Serikat yang menguak mitos bahwa kelompok minoritas bisa jadi pemimpin nomor satu Negeri Abang Sam. Obama kali pertama muncul jadi perhatian saat bertarung memperebutkan kursi senat dari Illinios pada 2004 yang masa kampanyenya berakhir bersamaan dengan Konvensi Nasional Pencapresan Partai Demokrat di Boston, akhir Juli 2004.
Pidato Obama yang disampaikan sebagai perkenalan dirinya sebagai calon senator sekaligus untuk mengantar John Kerry sebagai capres Demokrat pada pemilu 2004 itu begitu mencengangkan, menyihir, dan membuat orang bertanya-tanya tentang pria 42 tahun ini, “Who the heck is this guy?”
Tapi, begitu memesonanya pidato Obama, maka tanggal itu, saat berlangsungnya Konvensi Demokrat 27 Juli 2004 di Boston, kemudian ditandai sebagai ‘The Day America met Barack Obama. Hari Di Mana Amerika Menemukan Obama’. Ia berpidato tegas,
“There is not a liberal America and a conservative America, there is the United States of America. There is not a Black America and a White America and Latino America and Asian America, there’s the United States of America.”
Delapan tahun kemudian, ia mencuit lebih tegas, “There are no red states or blue states, just the United States.” (Twitter @BarackObama, 1 Mei 2012, 10.14 AM)
Obama menekankan, jika Amerika Serikat ingin bersatu, sesuai nama negara itu, maka seyogyanya mereka tak lagi terpolar mana daerah yang ‘merah’ (wilayah tradisional milik Partai Republik) dan mana yang ‘biru’ (dominan Partai Demokrat). Seluruh Amerika harus bersatu, bukan memosisikan diri sebagai ‘red states’ atau ‘blue states’, tapi sebagai ‘United States of America’.
Demikian pula Indonesia pascapilpres 2019. Tak usah lagi mempertentangkan mana kota, provinsi, pulau, atau bahkan agama yang 17 April kemarin mayoritas memilih Jokowi, atau 13 daerah yang didominasi suara Prabowo. Lupakan sekat-sekat itu. Tinggalkan angka-angka itu.
Indonesia adalah satu, karena Jokowi, sang pemimpin terpilih, dialah presiden yang berjanji berjuang keras mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bagi 100 persen rakyat Indonesia.
Presiden bagi Indonesia yang satu dan tak terbagi. (JOJ)