Jika Puan-Puan & Tuan-Tuan meluncur di Jl Gajah Mada, Jakarta, di sebelah kiri ada bangunan tua bagus yang sempat menjadi ‘gedung arsip’. Dulu itu pernah jadi milik orang Yahudi kaya. Lembaga bahasa belum sempat meneliti bahwa sebenarnya kata bahasa Betawi judes diserap dari bahasa Belanda judas—yang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karya jagoan WJS Poerwadarminta dicatat sebagai (1) orang yang suka memfitnahkan orang, (2) lekas marah dan suka membentak-bentak atau menyakiti orang—sebenarnya berkaitan dengan nama orang Yahudi pukimak yang menjual gurunya dengan 30 keping perak, yaitu Yudas Iskariot, untuk disalibkan oleh Yahudi-Yahudi di atas bukit Golgotha dengan tempiksorak riuh.
Peristiwa gaduh itu terjadi di wilayah Palestina sekitar tahun Masehi 33. Dan justru peristiwa itu pula yang mengubah tatanan adab di dunia Barat dan melahirkan sejarah kebudayaan yang terus berprogres hingga kini meliputi senirupa, musik, sastra, teater, film, arsitektur.
Sekalian mari kita sama-sama tinjau hubungan pernyataan kamus tentang lema judes: ‘suka memfitnah dan menyakiti’ dalam kasad sifat, bawaan, kepribadian, khuluk, korenah, dan temperamen umum orang-orang Yahudi di aras sastra, di luar catatan filologi bahwa mereka bangsa pilihan. Yaitu, dimulai dari kakekmoyang Yahudi, bernama Yakub, dieja secara Ibrani Ia’aqob. Ini diwartakan oleh Nabi Musa dalam urutan Torah-nya yang pertama, Bereshith, bahwa Yakub gelut dengan malaikat di tempat bernama Pniel, dan mengalahkannya, lalu meminta kepada malaikat itu mengurapinya memberinya nama pengakuan kepadanya. Nama yang dianugerahkan oleh malaikat itu kepada Yakub adalah Israel.
Baca Juga
Sekarang Puan-Puan & Tuan-Tuan maklum Israel adalah nama negara yang sering ‘memfitnah dan menyakiti’. Yang paling merasakan itu tentu Palestina. Dengan plastis penyair kontemporer Palestina Harun Hashim Rashid menggambarkan judesnya Yahudi Israel dalam puisi-puisinya yang terhimpun di diwan Ghazzah fi Khait al-Nur, diterjemahkan oleh penyair Hartojo Andangdjaja sebagai Gaza di Garis Pertempuran. Dan, berikut karyanya yang berjudul “Orang Palestina”:
Mata mereka memburu aku
Mengejar dan melukai diriku
Karena namaku orang Palestinaminahasa, Remy Sylado, Synagoga, tondano, Wisata Tanah Waris Damai Tondano
Dalam bahasa politik, sebutan yang populer atas tindakan-tindakan Yahudi Israel yang menyakiti dan merusak di negara tetangganya itu adalah agresi. Oma-Opa kita pun di Indonesia sudah mengalami itu di zaman pembantaian yang dilakukan Raymond Westerling, kapten baret-merah Belanda turunan Turki. Kejahatannya membantai 40.000 orang di Sulawesi Selatan, disesalkan Indonesia karena luput dari tangan hukum lewat pengadilan.
Dengan mengingat kejahatan Westerling itu, patutlah Puan-Puan & Tuan-Tuan bertanya kenapa kok terjadi kegandrungan agresi dalam naluri manusia? Arkian Konrad Zacharias Lorenz ahli psikologi binatang dari Universitas Wina yang memperoleh Hadiah Nobel bidang fisiologi, antaralain menyimpulkan bahwa faktor dasar tindakan agresi manusia yang merusak dan menyakiti, ada dalam naluri individual yang tak terpisahkan oleh misalnya prejudis rasial, prejudis etnis, dan prejudis sosial ekonomi.
Berkaca pada sejarah kekuasaan politik di Indonesia, terekam di situ tentang ajaran-ajaran agresi. Biang keroknya boleh diingat pada nama Herman Willem Daendels. Anthek-antheknya dibangun dan dibina dengan pola derajat keorangan yang disamakan dengan Belanda. Anthek-anthek ini secara khusus diambil dari Manado, Madura, Solo. Untuk itu dibuat UU sendiri yang disahkan pada 11 Juli 1816 oleh Louis Napoleon, saudara Napoleon Bonaparte yang berkuasa sebagai raja Belanda dan bersinggasana di istana Amsterdam. Pegangan wet atau UU untuk tanah jajahan Indonesia ini diejawantah dengan kebijakan gelijkgestelling, yakni gagasan penyamaan hak warga di tanah koloni, “de regeering der kolonien wordt door bijzondere wetten bepaald.”
Cerita tentang hak untuk mendapat penyamaan ‘harkat’ atau gelijkgestelling ini, di zaman Daendels itu kian menyolok (saya tidak mengeja ‘mencolok’) pada abad ke-20 sekitar tahun-tahun menjelang Proklamasi Kemerdekaan manakala nasionalisme Indonesia sedikitbanyak bergaung kuat akibat pengaruh Politik Etis dari Van Deventer di abad ke-19 yang berlanjut ke gerakan budaya Ki Hajar Dewantoro pada abad ke-20. Khususnya di Manado orang-orang—si Alo, si Utu, si Tole, si Waseng—diiming-iming oleh Belanda untuk mewujudkan gagasan Pax Neerlandica melalui projek ‘provinsi ke-12 Belanda’, atau populernya disebut TWAPRO, singkatan dari ‘Twaalfde Provincie van Nederland’ dengan membeli formulir kewargaan seharga F 1,5 atau ‘satu setengah gulden’. Nilai ini lazim pula dibahasakan sebagai ‘tiga suku’ yaitu suku = 50 sen. Dan populernya pula orang-orang Minahasa dengan gelijkgestelling tersebut disebut sebagai “Belanda tiga suku”. Sementara ex-KNIL yang tidak tergoda pada TWAPRO lantas melawan pada 14 Februari 1946, mengibarkan merah-putih, menyatakan setia ada Indonesia Raya, berdiri di belakang Bung Karno.
Memang tampak jelimet pihak Belanda membangun eksklusivisme etnis Minahasa sebagai pion Belanda. Belanda yang sudah menghisap kekayaan tanah di Indonesia kuranglebih 3,5 abad, gerangan mengerti betul betapa gampang mengadudomba kesukubangsaan di Indonesia melalui sentimen-sentimen SARA. Niscaya Belanda pun masih paham juga bahwa api perselisihan dalam masyarakat Indonesia sekarang, gampang sekali disulut oleh alasan-alasan SARA itu. Tak pelak masalah paling rentan dan rumit dari bagian SARA itu sekarang, adalah tentu, dengan emosi yang urung diurus, maka siapapun bakal gampang merengut makanbawang ketika dialog tentang keyakinan agama yang berbeda dipaksa untuk menjadi sama dibalut prejudis oleh ketakberdayaan sosial.
Beberapa kecenderungan prejudis yang terjadi belakangan ini, yang sertamerta mencabik-cabik keindahan Bhinneka Tunggal Ika, dan kelihatannya nyata tendensi ini. Kini masih dengan tiadanya penanganan yang serius dari negara, antaralain cacian-cacian tentang kafir bagi Kristen yang pating klumpruk di media-media sosial. Secara kebahasaan kafir memang terbaca di Al-Quran sebanyak 525 kali. Tapi Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat lema ini sebagai “orang yang tidak percaya Allah dan rasul-Nya.” di Indonesia hadir juga Kristennya, tak soal Pri atau Nonpri, dan mereka merasa terhina disebut kafir.
Masalahnya Injil bahasa Indonesia pada 1733, waktu itu masih bahasa Melayu, menerjemahkan kata bahasa Belanda ‘heidens’ sebagai ‘kafir’. Teks bahasa Belanda atas surat injili Rasul Paul kepada warga Galatia 2:14, “… Indien gij die een Jood zijt, naar heidensche wijze leeft…” diterjemahkan ke bahasa Indonesia sebagai “…Kalau kamu Yahudi tapi hidup secara kafir…” Sementara dalam teks asli Injil dalam bahasa Yunani, kata ‘heidens’ itu adalah kata ‘apistos’. Terjemahan Inggrisnya ‘infidel’, Prancisnya ‘paien’.
Mungkin karena melihat kenyataan bahwa pihak Kristen tidak sentosa disebut kafir, berhubung telah lama Injil bahasa Indonesia mengartikan kafir sebagai penyembah berhala, dan pihak warga NU menyadari terjadi perpecahan kebangsaan yang makin besar didasari prejudis hal kafir, maka di Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Ponpes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkole, Banjar yang dihadiri Presiden RI Jokowi, syahdan KH Said Aqil Siradj berseru kepada umat untuk menjauhi kata kafir bagi orang-orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sertamerta saya ingat pada peninggalan budaya yang dipercaya sebagai ciptaan Sunan Kalijaga melalui syiar Islam di tanah Jawa. Menurut babad, empat sosok wayang Semar-Petruk-Gareng-Bagong, berasal dari bahasa Arab, masing-masing Semar dari ‘mismar’ artinya ‘paku’ maksudnya Islam harus terpaku kokoh di tanah Jawa; Petruk dari ‘fatruq’ kalimatnya ‘fatruq kullu man siwallahi’ maksudnya ‘sebarkanlah agama illahi ini’; Gareng atau Nologareng dari ‘nala qarin’ maksudnya orang Islam datang di Jawa untuk mencari teman; Bagong dari ‘bagha’ maksudnya Muslim yang mukmin tidak sembarang mengata-ngatai orang beriman sebagai kafir.
Toh ketika cukup luas pihak yang mengkafir-kafirkan non-Muslim, maka tanah Minahasa di Sulawesi Utara merupakan contoh sejati kerukunan tanpa prejudis SARA antara Kristen yang mayoritas dan Islam yang minoritas. Gambaran ini sudah berlangsung sejak 1832, ketika Kyai Mojo dan pengikut Pangeran Diponegoro melakukan syiar Islam di Tondano bersamaan waktunya dengan Johann Friedrich Riedel mengabar Injil pula di situ. Riedel menunjuk nas surat Roma 5:1 “Wij dan gerechtvaardigd zijnde uit het geloof, hebben vrede bij God door onzen Heere Jezus Christus.” Artinya “Kita dibenarkan oleh iman, damai sejahtera dengan Allah melalui Gusti kita Yesus Kristus.” Lalu Kyai Mojo menunjuk ayat dari Surah Al-Kafirun 6, “Lakum dinukum wa liya din.” Artinya “Bagimu agamamu bagiku agamaku.” Damai Tondado!
Inggih, Puan-puan & Tuan-Tuan, Tondano di tanah Minahasa yang menyangkut suai agraria di zaman Belanda dulu diarahkan untuk diperintah langsung atau rechtstreeks bestuurd gebied, kini boleh dibikin contoh negeri paling damai di Indonesia. Di sini bukan cuma gereja-gereja dan masjid berdiri bareng-bareng, pertanda kerukunan bukan di bibir tapi di hati, sekaligus jangan heran pula bahwa hanya di Tondano yang ada sinagoga, tempat sembahyang Yahudi—dalam bahasa Ibrani kata ‘sembahyang’ adalah na’: suatu partikel mendasar atas dorongan sukma dan permohonan nurani yang sangat mendesak kepada Tuhan, yang jika dimaknakan secara Inggris simpulan etiknya adalah “I pray now or then.”
Dalam bahasa Ibrani Tuhan Yang Maha Pencipta disebut Elohim, yakni Allah nan tunggal, dan Yahweh adalah seperti tulis nabi Israel Nahum Elkosh, secara tetragramaton dengan huruf-huruf konsonan YHWH, acuannya adalah Tuhan maha cemburuan.
Sinagoga di Tondano ini terletak di jalan raya bagian barat kota. Namanya Sinagoga Shaar Hashmayim. Ibadahnya dipimpin oleh Rabbi Yaakov Baruch. Kalau memimpin doa sang Rabbi mengenakan tallit, kain khusus ibadah yang lazim dipakai oleh pemimpin agama Yahudi, disertai minyan, syarat yang harus disediakan bagi sekurangnya 10 orang lakilaki supaya bacaan doanya dianggap sempurna. Anda, Puan-puan dan Tuan-Tuan, boleh berwisata di Tondano, Minahasa, melihat sinagoga ini untuk memperkaya wawasan. Kami, terdiri dari anggota kelompok Dapur Teater 23761, masing-masing Jose Rizal Manua, Imamuddin Sulewardah, Tanty Saragih, Asep Saefuddin, Catherine Lee, Pipien Putri, David Namora, Anang Dasoel, Ariaguna Ma’mur, Metta Sari, Seni Marsan, Charles Tjoa, Jimmy Moniung, dan Eleonora Agatha Tan, sempat ke sinagoga ini setelah mementaskan teater di Tondano tentang Riedel, Kyai Mojo dan Diponegoro atas undangan Gubernur Sulut Dondokambey. Bogor 18 Maret 2019.