Bali yang sangat terkenal di dunia ini semakin hari semakin menjadi rebutan para investor untuk menanamkan modalnya di berbagai bidang kehidupan manusia. Namun demikian, pada umumnya mereka hanya berfokus pada hal-hal keuntungan yang bersifat material semata. Bila hal ini terus berlanjut tanpa kendali, maka sudah dapat dibayangkan bahwa kehancuran ada di depan mata.

Mungkin hanya sedikit orang BALI yang Ngeh (paham) bagaimana akibat yang timbul dari tidak terkendalinya pembangunan. Membangun tanpa pengendalian, sama saja menganggap BALI hanya sebagai sapi perahan, tanpa mengingat ajaran para leluhur orang BALI yang begitu arif dan bijak.

Kita harus ingat, para leluhur Bali dalam menata ruang dan lingkungannya begitu arif dan bijak. Hingga kita saat ini masih dapat menemukan peninggalan para leluhur tersebut berupa ajaran luhur tentang kehidupan. Misalnya, melalui ajaran agama HINDU yang mengajarkan tentang keseimbangan melalui Swastika, sebagai lambang kesuburan dan keseimbangan.

Swastika dilambangkan dengan tanda plus, yakni garis silang tegak lurus dan vertikal, di mana titik tengahnya merupakan titik keseimbangan. Artinya, hidup manusia perlu kesadaran yang tinggi, bahwa setiap manusia atau umat Hindu di Bali untuk segera kembali ke Tatwa ajaran yang benar seperti pengenalan terhadap arti manusia itu sendiri.

Setiap orang dilahirkan sama, sama-sama telanjang dan berada 9 bulan dalam kandungan ibu dan keluar dari song garba ibu. Kemudian secara merdeka untuk mengisi kehidupan ini secara evolusi, bertahap, tidak ada yang tiba-tiba. Semua ada tahapannya, ada prosesnya. Karenanya,  tidak satu pun yang tiba-tiba menjadi presiden, tiba-tiba menjadi jenderal, ataupun tiba-tiba menjadi milyuner.

Mari kita selalu ingat, manusia itu hanya terdiri dari tiga bagian besar yakni badan kasar yang terdiri dari pertiwi/apah/bayu/teja /akasa. Sedangkan badan halus-nya terdiri dari pikiran, ingatan, kecerdasan dan rasa ataupun ego. Dan yang terakhir, terdiri dari Roh/Atman.

Dengan demikian kita hendaknya selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kita umat manusia ciptaan Tuhan dan sangat bergantung hidup ini kepada-Nya. Oleh sebab itu secara singkat kita bisa mengatakan, bahwa satu dibagi nol sama dengan tak terhingga. Artinya, percayalah kepada yang maha Esa karena Tuhan maha segalanya.

Ingat, BALI bisa kita maknai sebagai Bantu Ayah Lindungi Ibu. Artinya sebagai anak yang budiman, anak suputra, tentunya pemali bila kita melupakan orang tua alias ayah ibu kandung sendiri. Sungguh sangat naif dan durhaka bila kita melupakan jerih payah ibu kita yang selama 9 bulan merawat kita dalam kandungan dan melahirkan kita dengan penuh perjuangan antara hidup dan mati.

Baca juga  Cerita TGB saat Jokowi Jadi Imam Shalat di Tenda Pengungsi Gempa Lombok

Ibu dan ayah kita telah merawat kita selama dari bayi dengan penuh kasih sayang. Bayi yang kadang menangis minta nenen, terkadang buang air sembarangan, dan terkadang ketawa dan senyum sendiri. Namun, apapun yang dilakukan oleh bayi itu, maka sang ibu sangat menyayangi dengan sepenuh hati.

Bagaimana sebaliknya? Tentu secara alamiah, perlahan namun pasti seiring usia semakin bertambah dan mulai panca indera berfugsi satu demi satu, mulai bisa berkata a-i- u- e- o, mulai tangan gratilan pegang sana-sini, kaki-kaki mulai melangkah dan kesandung juga sana-sini, semuanya adalah proses hidup yang penuh kisah yang tak boleh dilupakan.

Dalam konteks yang lebih luas, maka sebagai ibu pertiwi (Indonesia), yang mempunyai putra-putri yang berjuta-juta banyaknya, hampir 250 juta jiwa, dengan beraneka ragam tabiat dan karakternya, beragam kemauannya, dan seterusnya, maka sangat agunglah karya sang ibu pertiwi.

Ia disakiti namun tetap senyum, ia dicangkuli juga tetap senyum. Ia digali, tetap senyum, ditraktor senyum, bahkan di bom juga masih senyum.

Gunung diratakan, tetap diam. Itu hanya berpindah di atas bumi, tetapi tidak kemana-mana. Batu, tanah, pasir, kerikil, dari gunung diubah bentuk jadi gedung pencakar langit. Berbagai tanaman ditebang, hingga air tak terkendali maka jadilah banjir. Angin bertiup kencang kesana- kemari hingga jadilah angin ribut, hingga keteraturan alam yang asri berubah menjadi buatan.

Namun kondisi semacam itupun tentu tak tahan lama. Sebab ketika tiba saatnya banjir bandang, angin ribut, petir, hujan lebat, longsor, gunung meletus, gelombang tsunami bisa memporak-porandakan isi bumi ini, bahkan manusia di dalamnya banyak yang tertelan gelombang, tertimbun tanah, terbakar api kebakaran hutan, mati karena asap, kekeringan di mana-mana, kedinginan, kepanasan. Pendeknya, duka campur aduk yang ditemui.

Itulah akibat dari ulah manusia yang tidak sayang kepada ibu pertiwi. Padahal para leluhur sudah mewariskan ajaran kearifan yang luar biasa luhur, Tri Hita Karana, untuk mengharmoniskan hubungan manusia alam dan Tuhan-nya. Namun manusia sering lalai, hingga akhirnya sering menimbulkan kehancuran alam, kehancuran budaya, maupun kehancuran peradabannya.

Maka, mari kita kembali menyayangi ibu pertiwi. Para leluhur kita telah mewariskan apa yang dikenal hingga saat ini, yakni Subak. Secara kasat mata, Subak bisa kita lihat sebagai sistem atau tata pengairan untuk pertanian di Bali, karena disesuaikan dengan kondisi geografi pulau Bali yang didominasi gunung berapi.

Bumi pertiwi yang terdiri dari gunung-gunung ini juga menyediakan tanah yang subur yang dengan iklim tropis, membuat wilayah ini ideal untuk budidaya tanaman padi dan perkebunan lainnya. Namun tinggi rendah tanah pertanian tidak sama, sehingga mengharuskan pengelolaan air dengan baik.

Baca juga  Kepiting Untuk Kelestarian Bakau Enggano

Untuk itu, sistem pengairan yang tepat telah diwariskan kepada kita yang dikenal  dengan nama subak. Itu sudah berabad-abad lamanya dilakukan oleh nenek moyang manusia di Bali, sehingga menjadi suatu budaya yang luhur dan harus dilestarikan. UNESCO, organisasi dunia di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan bahkan telah mengakui Subak di Bali sebagai bagian dari warisan budaya dunia. Ketika orang luar saja menghargai, maka kita harus lebih menghargai, menjaganya, dan melestarikannya.

Subak mencerminkan konsep filosofi Tri Hita Karana, Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan, bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam lingkungan, dan manusia dengan sesama manusia.

Hasil tanaman yang bagus dan melimpah, terutama tanaman padi yang merupakan bahan makanan pokok masyarakat Bali, adalah karunia Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu para leluhur kita sejak dulu sungguh selalu bekerjasama dalam mengelola dan mengontrol air dengan baik agar dapat menghidupi tanaman padi.

Mereka melakukan kerja keras menaklukkan tantangan di pulau dengan kontur gunung berapi itu, dengan keyakinan adanya keterlibatan lingkungan alam, antar manusia dan Tuhan untuk mempertahankan kehidupan. Inilah filosofi yang telah mereka lakukan sejak dulu.

Jadi, Subak bukanlah sekedar sebuah sistem irigasi pertanian, tetapi lebih dari itu subak merupakan filosofi kehidupan bagi kita masyarakat Bali yang selalu ingin mewujudkan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia  dengan  alam.

Maka, selain sebagai sistem irigasi seperti itu, saya mengajak mari kita jadikan SUBAK sebagai  Sinergi Untuk  Bali-Asri Kembali. Kita semua harus bersinergi, bekerja sama, bergotong royong sehingga Bali tetap menjadi indah, asri, damai, sejahtera, yang rakyatnya adil dan makmur. Bali, Bantu Ayah, Lindungi Ibu.!