Karuan sejumlah orang dari Cina yang menjadi contoh pekerja keras, dari miskin menjadi hartawan, adalah mereka yang menghormati hidup dengan menghormati tanah..
Remy Sylado

Sastrawan, Penulis

 

NISCAYA Puan-Puan dan Tuan-Tuan kenal nama aktris pandai Niniek L. Karim. Dia berteman karib dengan pengusaha besar Robert Wijaya. Pengusaha ini lama tinggal di Jerman. Malahan, ketika B.J. Habibie menjadi mahasiswa di Jerman, sempat mondok di rumahnya.

Dua tahun silam Robert Wijaya menulis novel sejarah. Judulnya Letnan Oey Thai Lo. Itu adalah nama kakekmoyangnya sendiri, seorang konglomerat di Batavia pada abad ke-19. Putra Oei Thai Lo yaitu Oey Tambasia pernah pula ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Tak banyak yang tahu, kecuali tentu saja Robert Wijaya keturunannya, bahwa Oey Tambasia anak selir Nyuk Lan, yang karena kaya dan manja lantas jadi sangat kurangajar, bedegong, kapista. Kalau ia memberi uang kepada orang miskin yang antri di kelenteng, ia melelet-lelet uang itu di ketiaknya, kemudian menyapu-nyapunya di selangkangnya, lantas melemparnya kepada orang-orang miskin tersebut.

Arkian, tokoh Oey Thai Lo datang di Jawa sebagai orang miskin. Ia meninggalkan negeri Cina karena kabar yang menyatakan bahwa tanah Jawa adalah negeri sejahtera. Siapa yang sungguh-sungguh bekerja di tanah Jawa, maka tanahnya akan memberinya hidup dan penghidupan.

Jadi, hanya dengan pakaian di badan, berlayarlah Oey Thai Lo  ke Jawa. Setibanya di Batavia, ia disuruh menemui pengusaha batik di Pekalongan, bernama Liem. Di situ ia bekerja menjualkan batik dengan berjalan kaki seminggu sekali dari Pekalongan sampai ke Tegal. Bupati di wilayah Tegal menyukainya karena kesungguhannya dalam bekerja. Apalagi sebab tak segan-segan ia membantu petani sekitar situ. Lama-kelamaan ia mendapat kepercayaan dari Bupati untuk menggarap tanah adat menanami tembakau yang kebetulan dibutuhkan oleh Belanda. Ujungnya malah ia pun menjadi petani pula. Pedomannya, adalah tamsil: siapa yang menghormati hidup tentu menghormati tanah.

Dalam bahasa Cina, tanah yang memberi hidup, kehidupan, dan penghidupan adalah tudi. Dalamnya disimpulkan bahwa tanah sebagai tudi, bisa berarti ‘sawah’ atau ‘ladang’ yang menumbuhkan padi, sebagai makanan pokok. Lebih jauh, tudi dapat berarti juga agraria. Di konteks ini tudi muradif dengan kata bahasa Inggris land. Jika dikaji dari pertalian sejarahnya leluri ini secara Latin adalah Lex agraria. Kaitannya di wilayah Inggris adalah ‘conquered lands’.

Pada 1960, melalui film Exodus yang disutradarai Otto Preminger dengan aktor Paul Newman dan aktris Eva Marie Sainte, ada lagu berjudul “Exodus”: komposisi Ernest Gold dan lirik Pat Boone. Kata-katanya mengandung acuan verbal pada ikhtiar pertahanan terhadap tanah adat sebagai tanah waris leluhur. Padahal tanah adat yang diakui sebagai tanah waris tersebut adalah perampasan pihak Yahudi dari bangsa Palestina. Aibnya lagu “Exodus” tersebut, malah dinyanyikan dengan suara bagus oleh Acil Bimbo di TVRI. Kata-katanya yang tak ayal merupakan arahan Lex agraria pada perampasan tanah adat dari politik hewan rakus Zionisme itu, antaralain berbunyi:

Baca juga  SKB, Juru Ukur Profesional Untuk Selesaikan PTSL

This land is mine
God gave this land to me

Di luar itu, niscaya pula Puan-Puan dan Tuan-Tuan tahu, bahwa tanah adat dan hukum agraria di Indonesia ini sejarahnya pelik. Memang ada kerajaan-kerajaan besar, mulai dari Mataram Buddha, ke Majapahit Hindu-Buddha, dan terakhir Mataram Islam, namun setelah itu Indonesia dijajah Belanda, dan semuanya diatur menurut ‘maunya’ Londo. Bagian peliknya antaralain pada pasca Perang Diponegoro yang membuat kas negara pemerintah kolonial melompong, sehingga si Londo pun menjual tanah, dan dibeli oleh pekerja-pekerja keras dari Cina, bangsa yang sempat dibinasakan oleh Gubernur Jenderal Valckenier pada 1740.

Karuan sejumlah orang dari Cina yang menjadi contoh pekerja keras, dari miskin menjadi hartawan, adalah mereka yang menghormati hidup dengan menghormati tanah. Selain cerita cempiang Oey Thai Lo (purinya di Jl Toko Tiga, Jakarta), sebutlah juga Tjong A Fie (purinya di Jl Ahmad Yani, Kesawan, Medan), kemudian Oey Tiong Ham (purinya di Bukit Simongan, Semarang). Mereka semua berbeda dengan Tan Djien Sing ketua Raad van Chinezen di Yogyakarta yang pada zaman penjajahan Inggris, oleh Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Setyodiningrat , antaralain bertugas memungut pajeg, misalnya pajeg pacumpleng yang membikin rakyat bagai api dalam sekam. Bayangkan saja, seorang ibu yang meneteki bayi di luar rumah dikenai pajeg. Karuan itu membuka celah prejudis dan sekarang ini, anno 2018, berkembang menjadi segregasi ke diskriminasi terhadap orang Cina.

Berita aktual pada 2018 lalu adalah PN Yogyakarta menggagalkan gugatan Handoko atas kepemilikan hak tanah bagi orang Cina berdasarkan instruksi Wagub DIY nomer 898/I/A/1975. Pegangannya adalah Staatblad Nomer 179 pada 1875 di zaman pemerintahan Gubernur Jendral Loundon ke pemerintahan Van Lansberge, tentang larangan bagi pribumi menjual tanah kepada orang Cina, yaitu Grond-vervreemdings-verbod.

Banyak tanggapan yang menyatakan bahwa kasus Handoko itu tidak laras dengan hukum RI. Namun yang memahami sejarah, menyatakan bahwa Yogyakarta adalah daerah istimewa. Dengan UUD 45 pasal 18b yang mengakui berlakunya hukum adat dan UU No 3 Th 1950 untuk pembentukkan DIY. Mundur ke belakang pada zaman Gubernur Jendral Graaf van Limburg Stirum ada Rijksblad Kasultanan 1918 No 16 jo Rijksblad No 23 perihal reorganisasi hak tanah yang diberikan kepada rakyat di Yogyakarta. Di sini kepemilikan tanah dibagi dua, masing-masing di bawah Hamengkubuwono dan di bawah Pakualam.

Yang berlaku di Yogyakarta memang berbeda dengan yang berlaku di daerah-daerah lain setelah Belanda menerapkan Undang-Undang Agraria pada 1870 di zaman pemerintahan Gubernur Jendral Mijer. Manakala masalah agraria menyangkut tanah adat sudah tertata begitu rupa di Ngayogyakarta Hadiningrat, di lain daerah, misalnya di Minahasa ada tanah tak bertuan yang disebut kalekeran. Siapa yang berani masuk ke situ, dan tak peduli itu Spanyol, boleh jadi akan berlaku adat mariara memancung kepala.

Namun, contoh ironis terlihat di Bandung. Bayangkan, kota yang dielu-elu sebagai “Parijs van Java” dan pada 3 Juli 1920 telah berdiri ITB—yang waktu itu bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng dan di situ tercatat dalam stamboeknya nomer 55 adalah nama Soekarno yang kelak menjadi Proklamator itu—maka syahdan pada 2018 ini, masih ada tanah adat bernama Curug Batu Templek: hanya sekitar 5 kilometer di atas penjara Sukamiskin yang kepalanya kemarin ditangkap KPK, di situ warganya termasuk terbelakang nian. Pun di situ cuma ada satu sumber air, dan warganya memakainya untuk minum tapi astaga berak pula di tempat sama.

Baca juga  Harapan Baru di Gedung Baru Kantor Pertanahan Kab. Sidoarjo

Secara kebetulan Faiz Manshur, cendekiawan Muslim, menemukan lokasi itu ketika ia mencari tanah untuk bergiat cocok-tanam kelor dan sorgum sekaligus tempat tinggal. Sertamerta tergerak hatinya untuk memajukan warga terbelakang itu. Yang dipikirkannya adalah suatu kiprah kewarganegaraan yang bertolak dari semangat pergerakan Civic-Islam. Pikiran itu disambut oleh banyak pihak yang kemudian membentuknya menjadi sebuah yayasan bernama Odesa.

Secara kelembagaan tokoh pengusaha pers Budhiana Kartawijaya tercatat sebagai pendiri Odesa.  Kemudian anggota-anggota penggeraknya adalah Miss Indonesia Alya Nurshabrina, pelukis Herry Dim, jurnalis Enton Supriyatna Sind., pengurus PWNU Jabar Khoiril Anwar Rohili, peneliti Comlabs ITB Basuki Suhardiman, ex Kepala Bank Boy Worang, manajer TV Nenong Fauziah, Penerjemah Yuliani Liputo, serta Nina Natawijaya, dll.

Hal menarik yang patut dicamkan adalah apologia Faiz Manshur tentang Odesa-Indonesia—ternyata lema Odesa dimaksudkan sebagai On-line Desa—adalah ujarnya “Kami adalah orang pergerakan, bukan aktivis yang bergiat serampangan gaya aktivisme: hobi menuntut hak atas nama warga tetapi abai terhadap pendampingan secara langsung. Dari pengalaman bekerja sebagai orang pergerakan itulah kami mendapatkan banyak cara baru untuk membangun kualitas SDM agar memiliki kemampuan produktif mengolah SDA. Prinsip kami: bereskan manusia jika ingin membereskan urusan alam.”

Jika Puan-Puan dan Tuan-Tuan setuju mengartikan urusan alam, bahwa entri alam, padan dengan kata bahasa Inggris nature, maka simak puisi karya penyair Inggris ternama William Cowper, tokoh Romanticisme abad ke-18, melalui The Task. Peri nature ia menulis:

‘Twas Nature,
sir whose strong behest
Impelled me to the deed

Yang benar-benar membuat manusia beradab dan berbudaya adalah kemampuan membaca sastra. Tujuan elok Odesa dalam memajukan warga lewat faalnya di alam Curug Batu Templek karena programnya yang seru menyangkut peri Literasi di samping Budidaya Pangan, Ternak dan Teknologi. Kalau begitu syabas. Moga-moga dalam tempo sesingkat-singkatnya Curug Batu Templek yang eksotis ini akan menjadi tujuan wisata dari bagian tanah Sunda yang dalam ungkapan penyair Ramadhan KH adalah “Priangan si Jelita”.