Konon di Jakarta ada lebih dari 40,000 warteg dan ketika pandemi covid 19, hampir setengahnya terancam bangkrut. Menurut berita omzet sebuah warung tegal alias warteg bisa berkisar antara 3-5 juta dijaman normal. Andaikata kita menghitung secara rata-rata sekitar 4 juta maka pasar warteg di Jakarta punya potensi pasar 160 milyar rupiah perhari. Sebulan mendekati 5 trilyun rupiah dan setahun bisa 60 trilyun rupiah. Ini bukan potensi yang recehan, tapi potensi yang bisa dikembangkan menjadi penggerak bisnis raksasa. Andaikata ada 10 kota besar lainnya di Indonesia dengan potensi setengah dari Jakarta, maka ini bisnis mendekati 400 trilyun setahun diseluruh Indonesia. Sangat bukan main dahsyatnya.
Bisnis makan di Jakarta bukan bisnis remeh dan receh. Disamping warteg, masih ada warung nasi Padang, dan penjual makanan gerobag-an seperti nasi goreng, tukang gado-gado,mie ayam, bakso, tukang ketoprak, batagor, soto mie, toge goreng, dsbnya. Semuanya memberikan pelayanan makan siang dan makan malam kepada sejumlah pekerja. Mulai dari pekerja kantoran hingga tukang parkir dan tukang ojek. Semuanya butuh makan siang dan malam. Warteg atau Warung Tegal beberapa dekade yang lalu, pernah menjadi fenomena ekonomi tersendiri. Dimana kaum perantau dari Tegal datang ke Jakarta membuka warung makan dan menjadi makmur di kampung halaman. Mampu membangun rumah yang bagus, membangun masjid dan menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi. Fenomena ini kemudian di-ikuti dengan daerah-daerah lain, seperti misalnya pedagang Mie dari Wonogiri. Pedagang bakso dari Solo dan atau pedagang bebek goreng dari Madura.
Dan mereka sangat tergantung kepada infrastruktur penjaja makanan ini. Tanpa keberadaan mereka semua, para pekerja di Jakarta akan kelaparan atau sangat sulit berproduksi dengan efektif. Di Jakarta sebagian dari mereka seperti Warteg, umumnya punya tempat atau menyewa tempat. Pedagang gerobak biasanya bisa hilir mudik tanpa membayar sewa. Sehingga mereka memiliki kewajiban yang lebih rendah. Sebagian lagi dari mereka biasanya memanfaatkan trotoar atau membayar pungli tertentu agar bisa berjualan di trotoar tertentu pula.
Anda tentu penasaran – ingin tahu apa yang bisa kita lakukan untuk mereka agar potensi 60 trilyun setahun ini bisa menjadi lokomotif ekonomi yang luar biasa ? Para pedagang ini sangat membutuhkan tempat berdagang yang strategis dengan lokasi yang bisa mendatangkan konsumen sebanyak-banyaknya dan dengan biaya yang semurah-murahnya. Istilah kerennya adalah “Market Access”. Di Jakarta hal ini sangat problematik. Karena fasilitas ini sangat minim atau hampir tidak ada. Kalau kita meninjau berbagai gedung perkantoran di Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman yang menjulang tinggi, mewah dan moderen, namun para pegawai perkantorannya ini masih makan di gang-gang sempit diantara gedung yang kumuh tapi dipenuhi pedagang makanan. Persoalannya sederhana, para pengembang atau developer yang membangun gedung-gedung perkantoran mewah itu, enggan membangun tempat-tempat makan di gedung parkir mereka, dengan alasan mahal dan tidak menguntungkan. Pemikiran mereka hanya pada keuntungan materi semata. Karena konsep konservatifnya tiap gedung ada area yang didesikasikan buat resto dan café. Andaikata mereka sediakan area buat food court, mereka takut area resto dan café ngak bakalan laku. Padahal kalau mereka pikirkan keuntungan sosial, pasti akan jauh lebih bernilai dan tak terukur dibanding keuntungan uang semata.
Pemerintah atau siapapun yang memimpin republik ini mestinya bisa melihat studi kasus di negara-negara lain. Ambil saja contoh Singapura. Beberapa dekade yang lalu, ketika Singapura sedang membangun apartemen perumahan bagi rakyat yang jumlahnya sangat banyak, beberapa apartemen di lantai dasarnya dialokasikan untuk food court. Hal ini kemudian menjadi trend dan memungkinkan banyak para entrepener masuk ke bisnis makanan ini. Jenis makanan ikut bervariasi dan berkembang terus. Percaya atau tidak hidangan khas ayam penyet ala Indonesia bisa mendunia justru karena awalnya menggunakan network food court di Singapura, dan menjadi top dan terkenal.
Trend kedua yang sangat menarik, adalah beberapa pengusaha entrepener ini yang menjadi sangat baik dan terkenal, lama-lama menciptakan antrian panjang di kiosnya, karena penggemarnya sangat banyak. Nah, beberapa diantara mereka malah berhasil menjadi outlet dengan satu bintang Michelin. Ini menjadi peluang promosi yang luar biasa. Indonesia bisa ikut meniru – karena kuliner Indonesia punya pula potensi menjadikan makanan “street food”nya memperoleh satu bintang Michelin dan membawa kuliner Indonesia ke jagad mendunia.
Realitanya banyak makanan jalanan Indonesia atau “street food” yang terancam punah, karena pelaku utamanya meninggal dan generasi berikutnya emoh berjualan makanan karena dianggap tidak prestise, serta melelahkan. Fenomena ini bukan hanya di Jakarta tapi juga di banyak kota. Teman karib saya curhat bahwa anak-anak mereka emoh makan nasi uduk asli Betawi dan maunya makan nasi lemak ala Malaysia. Banyak waralaba jaman sekarang yang membawa masakan dan makanan dari negara tetangga. Masakan mereka mirip dengan masakan kita, mulai dari lasi lemak, laksa, hingga cendol. Kalau ini dibiarkan saya yakin identitas kuliner Indonesia akan pudar satu demi satu. Bayangkan dalam 2 generasi mendatang anak cucu kita akan cacat kuliner Indonesia. Saat ini pun sudah banyak millenial yang lebih doyan KFC dibanding ayam goreng Suharti. Atau lebih senang makan pizza, pasta dan burger. Nasi rames warung Tegal tidak lagi masuk dalam kamus selera mereka.
Tanpa bimbingan Warung Tegal ini perlahan-perlahan juga akan mati, karena menu mereka cenderung itu-itu saja. Tekhnik memasaknya juga tidak berkembang lebih baik. Padahal saat ini potensi mereka puluhan trilyun setiap tahun. Memang sudah ada beberapa investor yang melirik bisnis ini dan mulai mengolahnya. Bisnis makan Indonesia jelas merupakan potensi ekonomi yang tidak kecil. Rumah makan padang Sederhana punya cabang diatas 100 outlet diseluruh Indonesia. Entah kapan warung Tegal bisa masuk food court di Mall dan menjadi bendera utama kuliner Indonesia ? Semoga saja segera terwujud impian dan cita-cita saya ini.
#SiapUntukSelamat
#KitaJagaAlamJagaKita
#BudayaSadarBencana
#BersatuLawanCovid19
#CuciTangan
#JagaJarak
#MaskerUntukSemua
#DiRumahAja