Pada tahun 1997-1998 terjadi badai krisis ekonomi yang sangat luar biasa terutama di Asia. Vibrasi krisis itu sedemikian kuat goncangannya sehingga merubah tantanan politik, diantaranya di Indonesia sendiri, yang membuat pemerintah Orde Baru lengser. Sepuluh tahun kemudian yaitu tahun 2007 – 2008 terjadi krisis ekonomi berikutnya. Untung saja, krisis itu lebih berpengaruh di Amerika dan tidak begitu terasa vibrasinya di Asia. IMF sendiri memprediksi bank besar di Eropa dan Amerika kehilangan aset lebih dari 1 trilyun dollar. Sebuah kerugian yang sangat luar biasa.

Dan sebelum tahun baru 2018, saya sempat makan malam dengan seorang Bankir dari Eropa. Beliau saat itu mengingatkan saya bahwa jeda 10 tahun semenjak krisis ekonomi yang terakhir telah tiba dan para Bankir umumnya sangat risau menantikan krisis ekonomi berikutnya. Kerisauan beliau dipicu oleh hutang dunia yang terus menanjak ketitik nadir yang kritis. Kwartal pertama 2018, hutang dunia sudah membengkak menuju $ 250 trilyun. Angka ini menciptakan ketakutan yang beralasan bahwa krisis ekonomi berikutnya sudah diambang mata. Tahun 2018 kemudian lewat dan disusul tahun 2019. Tadinya saya pikir, mungkin krisis ekonomi berikutnya bisa kita lewati begitu saja. Tapi kemudian datang Covid 19, yang tidak terduga, dan menciptakan krisis ekonomi dunia yang sangat tiba-tiba. Uniknya seperti sebuah tinju, Covid 19 datang begitu saja, bahkan tidak seorang peramal-pun yang meramalkan tragedi dunia ini. Ibarat banjir bandang yang datang tengah malam disaat kita bermimpi dan menghanyutkan semuanya.

Estimasi terakhir yang saya kutip dari artikel World Economic Forum menyebutkan bahwa ongkos finansial dari Covid 19 bisa mencapai $ 16 trilyun dollar. Sebuah ongkos yang sangat besar sekali. Ongkos ini sendiri bisa terus bertambah apabila Covid 19 bertahan menjadi masalah dunia dalam 2-3 tahun mendatang. Lalu apa pengaruhnya terhadap ekonomi dunia ? Disamping sejumlah perusahaan bangkrut dan pengangguran meningkat sangat tajam sekali diseluruh dunia, dan kemiskinan meningkat berlipat ganda, apakah masih ada harapan ekonomi dunia mengalami titik balik di tahun 2021 ?

Saya sendiri bukanlah seorang ekonom. Artikel ini saya tulis atas permintaan beberapa teman-teman yang menyukai kolom Canda Bisnis ala Kafi Kurnia. Jadi saya akan menulis sejumlah kearifan ekonomi yang mungkin bisa jadi bahan perenungan untuk menciptakan strategi baru untuk 2021.

Saat saya kuliah, dosen saya bercerita tentang Adam Smith yang menyebut hukum “demand and supply” sebagai “the invisible hand” yang menjadi mercu suar ekonomi, itulah pencerahan ekonomi pertama saya. Tanpa keseimbangan antara “demand and supply” – ekonomi akan tercemar dan kericuhan ekonomi akan mudah terjadi. Saya ingat pembicaraan saya dengan Om Bob Sadino almarhum tentang bagaimana di Indonesia seringkali terjadi kericuhan ekonomi di sejumlah komoditi seperti beras, garam, gula hingga cabe. Semata karena manajemen keseimbangan antara “demand dan supply” tidak dilakukan secara baik dan benar. Kita selalu rentan dengan kelangkaan barang yang menyebabkan harga naik secara tidak wajar. Mekanisme pasar kita penuh dengan rintangan baik secara fisik dan juga secara regulasi. Langkah terbaik yang harus kita tempuh adalah menciptakan sistim pasar didalam negeri yang bebas dan efektif dengan penuh dinamika dan enerji bersaing. Saya pikir ini adalah kearifan ekonomi yang paling mendasar.

Kearifan ekonomi kedua, saya dapat dari almarhum MS Kurnia, ketika saya masih bekerja di Hero Group. Beliau mengajarkan pada saya, tentang jurus dan ilmu “added value”. Menurut beliau semakin banyak nilai yang kita ciptakan maka semakin tinggi konsumen menghargai produk yang kita jual. Harga akan semakin tinggi dan margin profit akan bertambah bagus pula. Kasus terbaik barangkali adalah industri pariwisata. Turis yang ke berkunjung ke Singapura pada tahun 2018 diperkirakan ada 18,5 juta orang. Angka untuk Thailand lebih tinggi lagi, yaitu hampir 40 juta tahun 2019. Malaysia lebih dari 26 juta turis di tahun 2019. Vietnam mengejar ditahun 2019 dengan turis diatas 14 juta. Dan Indonesia diatas 16 juta pada tahun 2019. Dengan atraksi pariwisata yang sebenarnya bisa melebihi negara-negara lain di Asean, industri pariwisata Indonesia mestinya bisa bersaing dengan Malaysia diatas 26 juta orang.

Baca juga  Ekonomi Khatulistiwa – Canda Bisnis ala Kafi Kurnia

Seorang sahabat saya yang hobbynya plesir kemana-mana, punya komentar yang menggelitik. Kata beliau, kenikmatan plesir bukan hanya karena tempatnya indah, tapi yang bikin kita puas, adalah pengalaman yang indah. Mengemas sebuah pengalaman yang indah dengan kombinasi tidur yang nikmat, makan yang nikmat dan lain-lain-nya lagi yang nikmat, bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun bilamana kita mampu melakukan-nya dengan modal budaya, kuliner, dan keindahan alam kita, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi tujuan wisata utama di Asia dengan turis diatas 40 juta orang setahun. Asalkan kita bisa mendesain produk pariwisata dengan “added value” yang poll.

Kearifan ekonomi yang berikutnya, datang tak terduga. Kearifan yang ketiga ini, saya dapat justru dari kakek saya. Beliau sangat sukses sebagai pengusaha dimasa mudanya. Namun ketika usia tua, beliau membagi semua hartanya kepada anak-anaknya, dan dia memilih hidup sangat sederhana. Suatu hari ia meminta saya untuk membuat foto dirinya. Saya sendiri saat itu hanya memiliki kamera sederhana Olympus Trip 35. Terpaksa saat itu kita menghabiskan beberapa roll film karena kakek saya ingin foto yang sangat sempurna. Dan saat itu belum ada komputer dan photo-shop. Setelah menemukan 1 photo yang menurut beliau terbaik, ia minta agar foto itu dibingkai. Saya terus terang bingung juga, dan iseng saya bertanya, untuk apa foto itu. Sambil tertawa beliau bercerita, bahwa usia beliau sudah lanjut. Salah satu yang bisa dia siapkan dan rencanakan adalah foto yang ditaruh didepan peti matinya, nanti ketika ia wafat. Kisah itu sangat menyentuh saya, dan menjadi bekal hidup yang paling penting. Yaitu, dalam hidup ini tidak semuanya bisa kita rencanakan dan kita siapkan. Tapi bilamana ada kesempatan, kita harus selalu berencana dan siap sedia. Hidup ini harus hemat dan selalu rajin menabung. Selalu siap dan berencana untuk menghadapi hal-hal terburuk. Indonesia juga harus hemat dan rajin menabung, karena tantangan dimasa-masa sulit masih terbentang lebar lebari didepan kita.
Mpu Peniti, mentor saya mewariskan kearifan yang berikutnya. Beliau memiliki apresiasi yang sangat tinggi terhadap hal-hal sederhana, yang membuat ia sangat berbahagia. Seringkali saya melihatnya menyeruput kopi dengan sangat bahagia, dan kepuasan seolah beliau mendapat lotere. Dan kopi panas itu terasa sedemikian nikmat serta pas. Saya belajar menikmati hidup dari beliau. Banyak tertawa, banyak senang dan banyak berbahagia. Pada akhirnya hidup ini nikmat luar biasa. Saya pernah bertanya kepada Mpu Peniti, kalau dia makan ayam, bagian apa favorite beliau ? Paha ? Dada ? Atau sayap ? Beliau tertawa dan mengatakan pada saya, bagian favorit beliau adalah brutu, atau ekor ayam. Saya awalnya tertawa juga. Tapi beliau menjelaskan pada saya, bahwa brutu ayam, adalah bagian yang paling lembut dan paling enak. Betul juga !

Baca juga  Ekonomi Rempah-Rempah – Canda bisnis ala Kafi Kurnia

Tiap tahun ada laporan kebahagian yang membuat rangking dari 153 negara dunia. Tahun 2020 Indonesia menempati rangking 84 dengan score 5.286. Rangking ini didasari oleh sejumlah variable, seperti jaminan sosial, kesehatan, kemerdekaan memilih berbagai pilihan hidup, hingga persepsi soal korupsi. Secara ekonomis, apabila rakyat Indonesia kurang berbahagia, maka rakyat akan mudah dihasut dan menjadi radikal. Mereka mudah emosional dan selalu terbakar untuk melakukan unjuk rasa misalnya. Jadi kemakmuran sebuah negara, bukan saja dari terpenuhinya semua kebutuhan fisik, tetapi juga secara emosional mereka merasa lebih berbahagia. Ini menjadi penggerak ekonomi sebuah negara yang sangat kritis dan penting.

Yang terakhir, anda mungkin bosan mendengarnya, yaitu masalah korupsi. Berdasarkan laporan korupsi dunia, Indonesia menduduki rangking 85 dari 198 negara. Scorenya hanya 40 dari 100. Ini masalah usang tapi sangat sensitif terhadap ekonomi Indonesia. Ada 14 partai politik yang ikut pemilu ditahun 2019. Jumlahnya sangat banyak, dan terus menerus partai politik saling tumbuh berganti. Minat yang sangat tinggi untuk mendirikan partai baru, menunjukan betapa orang berlumba-lumba ingin berinvestasi mendirikan partai karena ibarat bisnis partai politik menjanjikan laba yang cukup menggiurkan. Almarhun Roy BB Janis, pernah mewariskan kearifan kepada saya, menurut beliau apabila partai politik ingin sehat dan jauh dari godaan korupsi, maka diperlukan sebuah terobosan untuk menciptakan sebuah pendana-an partai politik. Jangan sampai Partai Politik menjadi karcis masuk untuk melakukan korupsi.

Seperti yang saya tulis diawal artikel ini, saya bukanlah seorang ekonom. Walaupun banyak hal-hal yang usang, tapi pengamatan saya menggumpal, bahwa ekonomi Indonesia saat ini memiliki 5 masalah yang memerlukan kearifan dan kewarasan yang baru. Lima masalah itu yaitu, mekanisme pasar yang harusnya semakin bebas. Indonesia yang memiliki sumber daya yang melimpah, tetap memerlukan strategi penambahan nilai atau added value, yang bisa menstimulasi investasi tekhnologi dan manufaktur. Hal ini tidak akan terlaksana tanpa sebuah master-plan ekonomi yang strategis dan terarah baik. Sisanya dua hal yang selalu tantangan kita, yaitu bagaimana membuat rakyat Indonesia bukan saja kenyang, tapi kenyang dan berbahagia. Yang terakhir selalu saja tantangan membuat Indonesia bebas dan merdeka dari korupsi. Disamping 5 kearifan ini, Indonesia punya sejumlah masalah yang sangat kompleks. Tapi saya mengajak anda semua untuk berpikir lebih sederhana dengan jurus yang lebih ampuh.

 

#SiapUntukSelamat
#KitaJagaAlamJagaKita
#BudayaSadarBencana
#BersatuLawanCovid19
#CuciTangan
#JagaJarak
#MaskerUntukSemua
#TidakMudik
#DiRumahAja