AGRARIA.TODAY – Abdul Rauf hari-hari ini sedang sedih. Betapa tidak, pria berusia 50 tahun ini terusir dari rumah yang sudah ditempati berpuluh tahun, sebuah rumah semi permanen di Jalan Kakatua II, No 10 B, RT 001/RW 002, Kelurahan Pa’Batang, Kecamatan Mamajang, Kota Makassar. Rumah tersebut dieksekusi pada 30 Januari 2025.

Rauf menempati rumah seluas 76 m2 itu dengan istri dan anaknya, yaitu Perawati (istri Abdul Rauf, 50 tahun), Nur Idya Yatazyah (26 tahun, sulung),  Fadilah Rifa Fauziyah (21 tahun, mahasiswi), Iftitah Anatzyah (18 tahun, anak ketiga, mahasiswi), Fika Febry Anatzyah (14 tahun, anak keempat). Selain itu ada Safiah (58 tahun, waris almarhum Sukirman) beserta suaminya, Muhammad Yunus (72 tahun), menderita stroke.

Rumah yang ditinggali Abdul Rauf rumah milik ayahnya, Sukirman, yang meninggal 16 Maret 2004. Sukirman pensiunan Golongan II c yang sudah mengabdi selama 30 tahun di Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan.

Sukarmin menempati rumah tersebut selama 75 tahun, atau mulai menempati sekitar tahun 1950. Awalnya lahan tersebut lahan kosong, yang lantas oleh Sukarmin dikelola dan ditempati. Adapun lahan tersebut milik instansi tempat dia bekerja. Lahan kosong yang ditempati Sukarmin seluas 76 m² tersebut hanyalah sebagian kecil di bagian belakang dari hamparan lahan kosong yang ada pada saat itu dengan total luasan diperkirakan 966 m².

Selain Sukarmin, juga ada dua keluarga lain yang menempati lahan tersebut. Namun kedua keluarga ini tidak digusur. Dua keluarga tersebut pensiun Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Seorang sudah meninggal dunia seperti Sukirman, dan seorang masih hidup.

“Sebagai pegawai yang bertugas sekaligus penjaga yang merawat lahan kosong ini, Sukarmin setahap demi setahap membangun rumah tinggal semi permanen secara mandiri,” kata Andi Imran Lamadukeleng, Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Jaringan Pendamping Kebjakan Pembangunan (JPKP) Provinsi Sulawei Selatan, yang memberi pendampingan kepada Abdul Rauf.

Selanjutnya pemerintah pada saat itu membuat suatu kebijakan dan aturan bahwa para pensiunan ataupun ahli waris sah yang sudah menempati lahan negara dan tidak memiliki tempat tinggal lain bisa mengajukan DEM, yaitu suatu program pengalihan hak atas rumah negara dengan cara cicil.

“Meskipun rumah tersebut dibangun secara mandiri, namun dengan rasa sangat senang dan itikad baik semasa hidup dan seterusnya dilanjutkan oleh anak-anaknya, Pak Sukarmin beberapa kali mengajukan DEM, tetapi tidak pernah disetujui, padahal yang lainnya bisa diproses,” kata Andi Imran.

Baca juga  Kementerian Sosial Dukung Pemulihan Psikososial Para Pengungsi Bencana Gempa Sulbar

Setidaknya Sukarmin sudha tiga kali mengusulkan DEM, dengan cara cicil; Melanjutkan sewa; dan membeli dengan cara cicil.

Seiring berjalannya waktu, dari lahan seluas 966 m² (kecuali yang ditempati Sukarmin dan keluarhanya), akhirnya ditempati dan dikelola oleh rekan sejawat dengan tetap tersedia jalan akses kepada penghuni di bagian belakang. Penghuni di bagian depan ini diperkirakan menempati lahan sekitar 966 m² – 76 m² = 890 M², dan sudah dibangun rumah besar yang permanen.

Hal inilah yang menjadi kejanggalan utama karena Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provisi Sulawesi Selatan selama ini selalu menyampaikan perintah pengosongan terhadap lahan seluas sekitar 966 m² sesuai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), padahal yang ditempati Sukarmin hanyalah 76 m².

Jikalau Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan konsisten menjalankan eksekusi pengosongan lahan sesuai temuan BPK, maka seharusnya hamparan yang di depan yang jauh lebih luas ikut tereksekusi. Dari sini muncul kecurigaan bahwa alibi mau mengosongkan sisa lahan kecil ini terindikasi kuat dengan sengaja dilakukan karena Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi bersama penghuni depan berkeinginan memiliki sebagian atau keseluruhan lahan tersebut.

Indikasi dugaan ini diperkuat dengan pernah adanya permintaan dari penghuni depan agar Sukarmin dan ahli warisnya dimintai tanda tangan permohonan persetujuan batas dengan tujuan peningkatan alas hak sertifikat yang kemudian permohonan itu ditolak oleh Sukarmin dan warisnya. Alasannya, gambar situasi lahan yang ditunjukkan pada saat itu tidak sesuai, bahkan memotong lahan yang sudah 75 tahun ditempati Sukarmin dan warisnya.

Kondisi keluarga Abdul Rauf dan anak-anaknya, yang notabene cucu-cucu Sukarmin, pada saat dieksekusi sangatlah memprihatinkan. Salah seorang bahkan dalam keadaan lumpuh dan stroke. Saat ini Abdul Rauf dan anak-anaknya tinggal terrpencar-pencar di rumah familinya. Sementara barang-barangnya masih tetap berada di rumahnya.

Dasar rujukan dari surat penertiban pengosongan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan, diklaim berdasarkan temuan BPK dan Inspektorat, namun tidak pernah memperlihatkan obyek rincian lokasi dan luas lahan mana yang mau dieksekusi.

Diinformasikan bahwa temuan BPK adalah seluas 966 m², padahal lahan yang ditempati Abdul Rauf hanyalah 76 m².

Dugaan kebohongan yang dilakukan oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan yang disampaikan kepada TVRI Sulawesi Selatan terdiri dari:

  1. Pernyataan Kadis terkait temuan BPK, Inspektorat dan KPK yang dijadikan alasan eksekusi pengosongan: Kadis tidak pernah memperlihatkan temuan yang dimaksud dengan menegaskan luasan lahan 76 m² yang sudah ditempati Abdul Rauf tidak ada surat perintah eksekusi terkait luasan tanah tersebut atas nama Abdul Rauf.
  2. Pernyataan Kadis bahwa eksekusi tersebut sudah dimediasi dan didiskusikan dengan mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan sudah terjadi kesepakatan. Pernyataan ini tidak benar. Perlu ditegaskan bahwa tidak pernah ada pertimbangan nilai kemanusiaan bahkan penghuni rumah ada yang sakit stroke permanen serta lanjut usia, hidup miskin dan tidur bertumpuk-tumpuk sebanyak delapan orang dalam satu rumah semi permanen alias gubuk-gubuk seluas 76 M².
Baca juga  Gerakan Cuci Tangan yang Masif dan Massal Putuskan Penularan COVID-19

Tidak pernah terjadi kesepakatan untuk dieksekusi bahkan penghuni bermohon agar diberi kesempatan untuk mengajukan DEM baik dengan cara sewa maupun cicil tapi semua diabaikan.

  1. Pernyataan Kadis bahwa lahan yang ditempati Abdul Rauf tidak jelas peruntukannya. Sungguh pernyataan ini merupakan pembohongan publik, bahkan semua orang mengetahui bahwa tempat ini awalnya lahan kosong lalu kemudian oleh Sukarmin dibangun pondok dan menjadikannya sebagai rumah tinggal sampai akhirnya dieksekusi paksa pada 30 Januari 2025.

Dikatakan oleh Andi Imran, jalannya eksekusi tersebut banyak terjadi kejanggalan. Di antaranya tidak ada berita acara. Sedangkan pelaksana eksekusi Satpol PP Pemprov. Sulawesi Selatan berdasarkan surat tugas dari Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Kejanggalan lain, dua KK yang menempati lahan tersebut tidak digusur.

Sesuai perintah Ketua Umum JPKP, Maret Samuel Sueken, JPKP Sulawesi Selatan membuat laporan tentang kronologi eksekusi tersebut. “Sebagaimana perintah Ketua Umum, kami sudah membuat laporan kronologi jalannya eksekusi tersebut,” kata Andi Imran.

Selain itu, pada 5 Februari 2025, JPKP Sulawesi Selatan melayangkan surat permohonan dengar pendapat dengan Ketua DPRD Sulawesi Selatan dan Pj. Gubernur Sulawesi Selatan. “Dalam surat dengar pendapat itu kami mendesak DPRD dan Pj Gubernur untuk mengkaji kembali eksekusi tersebut,” kata Andi Imran.