Konflik merupakan salah satu dampak dari penggunaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, yang terus meningkat kuantitasnya. Terjadinya konflik tanah ini terkait langsung dengan iklim investasi di Indonesia. Oleh sebab itu, harus ada upaya serius untuk menangani konflik, baik melalui upaya preventif maupun upaya penyelesaian konflik.

“Setiap orang berkepentingan untuk menguasai dan memiliki tanah untuk kepentingan kehidupan, kepentingan investasi usaha bahkan untuk kepentingan spekulasi. Hal inilah yang pada hakekatnya jika tidak terkelola dengan baik akan menimbulkan sengketa atau konflik tanah,” ujar Sofyan A. Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) saat menghadiri Peluncuran Panduan Praktis Penanganan Konflik Berbasis Lahan di Grand Hyatt, Jakarta (29/11).

Sofyan A. Djalil menambahkan, konflik tanah yang terjadi saat ini bukan hanya antar orang perorangan saja tapi juga terjadi antar orang perorangan/masyarakat/perusahaan dengan instansi pemerintah, bahkan antara instansi pemerintah dengan instansi pemerintah.

Jumlah sengketa konflik dan perkara pengadilan mengenai pertanahan, berdasarkan data di Kementerian ATR/BPN kurang lebih terdapat 8500 kasus, tersebar di seluruh wilayah provinsi di Indonesia. Dari 300 kasus yang diambil sebagai sampel diketahui dari sisi subjeknya ternyata jumlah kasus pertanahan tertinggi adalah konflik yang melibatkan badan usaha (perusahaan) sebagai salah satu pihak 18 %, instansi pemerintah sebagai salah satu pihak 15,8 % dan orang perorangan 10 %.

“Kementerian ATR/BPN sangat mendukung kegiatan resolusi konflik melalui mediasi karena akan menyelesaikan sengketa, konflik dan perkara dengan sangat tuntas dan berakhir dengan kesepakatan win win solution . Kegiatan ini akan sangat membantu Pemerintah untuk menyelesaikan sengketa dan konflik tanah,” ujar R.B. Agus Widjayanto, Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah.

Baca juga  CPNS Kementerian ATR/BPN Diharapkan Menjadi Generasi Perubahan

Ada beberapa penyebab munculnya konflik tanah di Indonesia, yaitu kemiskinan dan distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata, jumlah bidang tanah terdaftar baru 50% dari 126 juta bidang tanah yang harus didaftarkan di luar Kawasan hutan, beragamnya alas hak bukti kepemilikan tanah yang belum terdaftar menjadi sertipikat hak tanah, legalitas kepemilikan yang semata-mata disasarkan pada bukti formal (sertipikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah, administrasi pengelolaan aset tanah pemerintah/pemda/BUMN/BUMD yang tidak tertib, dan putusan pengadilan yang berbeda-beda atas bidang tanah yang sama.

Menyadari hal tersebut maka maka untuk menurunkan sengketa dan konflik pertanahan serta meningatkan pelayanan pertanahan dengan tetap menghasilkan produk pertanahan yang berkualitas, maka Kementerian ATR/BPN melaksanakan program strategis antara lain: Reforma Agraria, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di seluruh Indonesia, Pembentukan Tim Pemberantasan Mafia Tanah, Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, Penyusunan RUU Pertanahan untuk menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul, dan Penyempurnaan penataan ruang agar tidak terjadi tumpang tindih penggunaan dan pemanfaatan ruang atas tanah.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di lima perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan, biaya yang ditimbulkan akibat konflik mencapai USD 70.000 sampai USD 9.000.000 dari setiap konflik yang terjadi baik itu biaya langsung, biaya tidak langsung dan biaya yang tersembunyi.

Baca juga  Tinggal Setahun, Presiden Tekankan Percepatan Pembangunan Infrastruktur PON di Papua

“Penanganan konflik membutuhkan upaya dari semua pihak baik dari Pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha. Buku ini adalah panduan untuk pelaku usaha yang disusun dengan melibatkan banyak pihak baik itu akademisi, praktisi, pemerintah, dan pelaku bisnis di Indonesia, sebagai sumbangsih IBCSD (Indonesia Business Council for Sustainable Development) dan Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Indonesia untuk mendukung iklim investasi yang kondusif dan berkelanjutan,” ujar Shinta W. Kamdani, Presiden IBCSD.