Prof Dr KH Ma’ruf Amin membuka kuliah umum dengan pengantar yang membuat lebih 150 hadirin terpingkal dan bertepuk tangan. “Mungkin pertama kali ada pemakalah di kesempatan (public lecture) ini yang memakai sarung,” kata professor bidang hukum ekonomi Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang, Jawa Timur ini. Hadirin tertawa.
“Saya kebetulan sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan juga Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Jadi, sarung ini (salah satu) pakaian ulama Indonesia,” kiai asal Banten alumnus Pesantren Tebu Ireng Jombang ini menambahkan.
“Kebetulan waktu saya dipilih Pak Jokowi sebagai calon wakil presiden, saya tanya beliau, Pak Jokawi, apa saya harus ganti kostum?” Hadirin kembali terbahak. “Beliau mengatakan, Pak Kiai tetap saja tampil sebagai ulama. Karena itu, saya di mana pun, sepanjang tidak dilarang, saya akan memakai sarung, walaupun saya juga punya celana.” Hadirin kembali terpingkal-pingkal.
Kiai Ma’ruf kemudian kembali membacakan pidato. Sesekali, Kiai Ma’ruf bicara lepas di sela baca pidato, dengan menyelipkan penjelasan tambahan, selipan dalil dan kaidah atau ungkapan Arab, atau melontarkan joke-joke ringan khas kiai NU, sambil terus mengumbar senyum.
Seri Kuliah Umum Pemimpin Indonesia (Public Lecture Indonesian Leaders Series) digelar RSiS-NTU (S. Rajaratnam School of Internasional Studies – Nanyang Technological University), di Ruang Taurus & Leo, Lantai 1, Hotel Marina Mandarin, Singupura, selama 1,5 jam, mulai pukul 15.30 waktu setempat sampai 17.00.
Acara dibuka dan dipandu oleh Prof. Dr. Tan Sie Ceng, Head of Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS), RSiS. Public Lecture itu dihadiri tak kurang dari 150 peserta terdaftar, dan beberapa peserta yang masuk tanpa mencatatkan nama di absensi.
Beberapa tokoh Indonsia yang tampak hadir, antara lain, mantan Gubernur Sumsel, Alex Noerdin dan mantan Gubernur BI, Soedrajad Djiwandono. Peserta bukan hanya dari kalangan akademisi dan peneliti, tapi juga tampak ada peserta dari pimpinan beberapa bank, pelaku bisnis, Kamar Dagang Singapura, pimpinan beberapa perusahaan multinasional, dan sebagainya.
Tampak beberapa peserta dari universitas non-Singapura: Universitas Teknologi Malaysia, UI dan UGM, termasuk dosen sosiologi UGM, M. Najib Azka. Ada para diplomat dari KBRI dan diplomat dari Kedutaan Belanda di Singapura. Sejumlah jurnalis Singapura dan koresponden media non-Singapura, termasuk The Economist.
Karena waktu terbatas, banyak peserta yang mengacungkan tangan untuk merespons, tapi hanya lima orang yang cukup waktu untuk bertanya. Mulai soal strategi menghadapi radikalisme, perbandingan dengan teori ashabiyah Ibnu Khaldun (kebetulan Kiai Ma’ruf pernah kuliah di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta), kesetaraan gender dalam perspektif Islam Wasathiyah, sampai soal strategi Kiai Ma’ruf dalam Pilres untuk menghadapi pemilih milenial, mengingat usia Kiai Ma’ruf sudah tua.
“Ada yang bertanya, Kiai kan sudah tua. Saya jawab, siapa bilang saya muda?” ujarnya sambil tersenyum. Hadirin tertawa. “Semua tahu saya tua, Pak Jokowi juga tahu, tapi beliau nyaman,” Kiai Ma’ruf menambahkan. ”Saya teringat kisah waktu saya masih sekolah di madrasah tingkat dasar. Ada orang tua ditanya, mengapa sudah tua masih menanam pohon? Dijawab, dia menanam bukan untuk dirinya, tapi buat generasi sesudahnya. Saya mau maju menjadi cawapres ini juga bukan untuk saya, tapi saya berbuat untuk generasi setelah saya, termasuk generasi milenial.” Hadir bertepuk tangan.
Kiai Ma’ruf berpesan kepada kalangan muda, “Kalian harus siap menjadi apa saja dan di mana saja yang bermanfaat. Kalau dibuang ke laut, jadilah pulau. Kalau dibuang ke darat, jadilah gunung. Selalu memiliki peran menonjol.”
Dalam makalah yang diberi judul, “Rekonsolidasi Wasathiyah Islam: Promosi Islam “Jalan Ketiga” dan Arus Baru Ekonomi Berkeadilan,” sebagai modifikasi dari judul perminaatn RSiS-NTU yang bertema, “The Emergency od Wasathiyah Islam: Promoting “Middle-Way” Islam and Sosio-Economic Equality in Indonesia”, intinya disampaikan, bahwa Islam Moderat adalah paham yang sudah lama dianut mayoritas muslim Indonesia.
Itu perlu diperteguh kembali karena tengah menghadapi ancaman ekstremitas kiri-kanan yang dapat berimbas pada angancam konsensus nasional dalam bernegara, yakni Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Peneguhan kembali konsensus nasional itu melalui rekonsolidasi Islam Wasathiyah, juga harus ditopeng Ekonomi Berkeadilan sebagai arus baru ekonomi Indonesia