Lahan negara yang dikuasai perusahaan D.L. Sitorus belum juga dieksekusi Kementerian LHK. Terendus bau tak sedap bernilai triliunan rupiah.

DOKTOR SUTAN RAJA Derianus Lunggung Sitorus alias D.L. Sitorus semasa hidupnya dikenal sebagai Raja Kebun. Ia adalah pemilik perkebunan kelapa sawit seluas 47.000 hektare di Padanglawas, Sumatera Utara.

Namun, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kemudian menetapkan D.L. Sitorus sebagai tersangka kasus pidana lingkungan hidup dan kehutanan, dengan ancaman penjara 15 tahun dan denda Rp 100 miliar. Perusahaan milik D.L. Sitorus, PT Torganda, diduga mengonversi 72 ribu hektare (dari 172 ribu hektare) hutan di Register 40 menjadi perkebunan sawit, di Kecamatan Simangambat, Kabupaten Tapanuli Selatan. Akhirnya, pada pertengahan 2006, D.L. Sitorus dalam persidangan divonis 8 tahun penjara.

Keputusan kasasi Mahkamah Agung pada 12 februari 2007 atas kasus tersebut tetap saja menyatakan D.L. Sitorus bersalah. Begitu pula putusan Peninjauan Kembali pada 16 Juni 2008: menetapkan D.L. Sitorus bersalah dan harus menjalani delapan tahun penjara plus denda Rp 5 miliar.

Selain itu, kebun sawit seluas 23.000 hektare yang dikuasai KPKS Bukit Harapan dan PT Torganda serta kebun sawit seluas 24.000 hektare yang dikuasai Koperasi Parsub dan PT Torus Ganda di kawasan hutan Padang Lawas atau Hutan Register 40 dirampas untuk negara. Menurut pengadilan, penguasaan aset negara tersebut dilakukan D.L. Sitorus secara ilegal selama lebih dari 10 tahun.

Namun, karena mendapat perlawanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sampai sekarang belum dapat mengeksekusi lahan tersebut. Pihak Kementerian LHK pun meminta pengawalan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan eksekusi lahan tersebut.

Kemudian, pada 19 Februari 2018 lalu, berbagai media memberitakan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menyatakan, KPK menengarai ada yang tidak beres dalam kasus eksekusi lahan itu. Ia pun berjanji pihaknya akan menelusuri kendala-kendalanya.

“Putusan pengadilan dalam hal ini sudah inkrah, tapi sampai sekarang lahan itu masih dikuasai keluarga D.L. Sitorus, belum dieksekusi. Ini aneh. Untuk itu akan ditelusuri,” kata Laode di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.

Pada kesempatan yang sama komisioner lain KPK, Saut Situmorang, mengatakan penyelesaian masalah itu harus dimulai dari awal lagi. “Kami akan telusuri apa kendalanya mengeksekusi, siapa, bagaimana, dan kenapa tidak dieksekusi, sementara pengadilan sudah memerintahkan,” tutur Saut.

Baca juga  Kapuspen Kemendagri, Segera Isi Penjabat Bupati Pakpak Bharat

Diungkapkan Saut, KPK akan menyelesaikan kasus tersebut dengan cara litigasi atau non-litigasi secepatnya. “Hal terpenting adalah adanya kepastian,” katanya.

Menurut Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, upaya itu merupakan tindak lanjut praperadilan yang telah memutuskan KLHK atau pemerintah bisa berlanjut kepada langkah-langkah penyelamatan aset negara berupa kawasan hutan produksi seluas 47 ribu hektare tersebut. Sebelumnya, terkait penyitaan aset itu, putra D.L. Sitorus, Sihar Sitorus, memang mengajukan gugatan praperadilan. Tapi, Pengadilan Negeri Medan menolak permohonan Sihar Sitorus. Dengan demikian, proses hukum lanjutan dan penyitaan aset yang dimiliki D.L. Sitorus dapat dilanjutkan.

Jauh sebelum itu, kalangan aktivis sudah bersuara keras memprotes eksekusi yang belum juga terlaksana selama bertahun-tahun itu. Mereka curiga, ada banyak hal yang disembunyikan oleh Kementerian LHK. Salah satu yang mencurigai ada yang tidak beres itu adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Walhi pun meminta Kementerian LHK menindak semua perusahaan yang ada di lahan Register 40, yang menggunakan lahan tersebut tetapi tidak sesuai dengan peruntukkannya. Langkah ini, menurut Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara Dana Tarigan, perlu dilakukan untuk memperlihatkan pemerintah bertindak adil dan tidak hanya menindak satu perusahaan saja, PT Torganda, tetapi perusahaan lainnya juga, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Semua perusahaan yang salah harus ditindak dan diperlakukan sama di lahan Register 40. Kalau ada yang dikelola masyarakat, itu termasuk Reforma Agraria, untuk dibagikan ke masyarakat,” kata Dana Tarigan, 11 September 2017 lampau, seperti dikutip banyak media.

Kalau ada perusahaan yang mengelola secara ilegal, lanjutnya, tanah itu harus diambilalih Kementerian LHK untuk dikembalikan ke negara dalam kondisi yang sudah dihutankan kembali. “Jangan sampai pemerintah yang keluar uang untuk menghutankan kembali. Itu juga tidak adil,” tutur Dana.

Menurut data Walhi, ada 29 perusahaan yang menguasai lahan Register 40, yaitu PT FMP seluas 14.853 hektare; PT Wonorejo seluas 7.892 hektare; PTPN IV 10.000 hektare; PT SSPI seluas 5.500 hektare; Koperasi Bukit Harapan (dieksekusi) 23.450 hektare; KTPS 14.000 hektare; PT AML 21.000 hektare; Koperasi Langkimat 14.000 hektare; PT SSL 33.390 hektare; PT EPS 9.833 hektare; PT KM 2.000 hektare; PTPN II 10.000 hektare; PT Rapala 10.300 hektare, dan; PT Inhutani IV 19.500 hektare.

Baca juga  Konsep pemanfaatan tanah di ibu kota negara baru

Ada pula Koperasi Parsub menguasai 17.000 hektare; Kelompok Masyarakat 10.000 hektare; KUD Sinar Baru 3.000 hektare; KUD Serba Guna 3.000 hektare (sudah memiliki sertifikat); Koperasi KPN 1.500 hektare; PT Rispa 5.000 hektare; Transmigrasi 7.135 hektare; PT SKL 82.502 hektare; PT CP 2.000 hektare; PT MAI 10.781 hektare; PT KAS 4.870 hektare; PT HBP 4.000 hektare; PT AMKS 4.500 hektare; PT AMKS 4.500 hektare, dan; PT Jerman 300 hektare.

Tapi, yang kemudian mencuat ke publik hanya kasus lahan 47 ribu hektare yang dikuasai perusahaan D.L. Sitorus. Menurut Dana lagi, Kementerian LHK juga tidak transparan dalam pengelolaan uang dari tebusan yang diberikan oleh perusahaan yang mengelola lahan di Register 40. Menurut perhitungan Walhi, jumlah dana itu diperkirakan bisa mencapai Rp 7,8 triliun dan dana tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada publik.

“Perintah putusan MA itu, semuanya dieksekusi, kemudian perusahaan diberikan waktu satu siklus tanam sawit, kemudian dihutankan kembali. Nah, uang yang satu siklus tanam tersebut kan seharusnya dikembalikan ke negara. Kalau menurut hitungan kami sudah mencapai Rp 7,8 triliun. Siapa yang pegang?” ungkap Dana.

Kalau uang itu belum dibayarkan oleh PT Torganda (perusahaan milik D.L. Sitorus), pemerintah harus meminta uang tersebut. Kalau tidak, menurut Dana, ada kerugian yang dialami oleh negara dan memunculkan kecurigaan kalau uang tersebut di bagi-bagi kepada oknum.

Halo, KPK, kapan akan bergerak? Nilainya triliunan rupiah, lo!

Didang Pradjasasmita, Purwadi