Mugabe, yang sudah mendapat perawatan di sebuah rumah sakit di Singapura selama beberapa bulan sebelum ia meninggal pada Jumat dalam usia 95 tahun, mendominasi politik Zimbabwe selama hampir empat dekade sejak kemerdekaan pada 1980 hingga ia digulingkan oleh tentaranya sendiri pada November 2017.
Banyak orang menganggapnya sebagai tokoh pembebasan dari pemerintahan minoritas kulit putih. Tapi dia juga dipandang oleh orang-orang lain merusak salah satu kekuatan ekonomi yang paling menjanjikan di Afrika dan dikenal tak segan membungkam para lawan politiknya.
Di Katedral Hati Kudus di pusat Kota Harare, tempat Mugabe biasa menghadiri misa dengan istri pertamanya Sally dan istri keduanya Grace, para jemaat yang memenuhi rumah ibadah itu mengenang dia sebagai pria taat yang memainkan peran dalam pemeliharaan gereja itu.
Terdapat sebuah plakat di gereja itu untuk memperingati kematian Sally pada 1992.
“Kami berdoa bagi saudara-saudara kami yang sudah meninggal. Tanpa lupa berdoa bagi mantan Presiden Robert Mugabe, kami menyerahkan kepada Tuhan, kami memohon kepada Tuhan jikalau ada kesalahannya dalam hidup semoga diampuni,” kata pastur kepada para jemaat, yang berbicara dalam bahasa lokal Shona.
Chris Sambo, mantan pengurus sepak bola yang biasa mengatur pertandingan-pertandingan bagi Mugabe di kampung halamannya Desa Kutama, mengatakan komunitas Katolik di negara bagian selatan Afrika itu telah kehilangan salah seorang anggotanya yang paling penting.
“Bagiku dia seorang sosok ayah. Kami berduka … Ia seorang Katolik yang taat,” ujar Sambo kepada Reuters.
Banyak orang di pusat kota itu mengatakan pada akhir pekan bahwa mereka berduka atas kematian Mugabe karena peran sentralnya dalam perjuangan melawan pemerintahan kolonial dan karena ia telah membuka akses besar kepada pendidikan.
Hingga Ahad belum jelas kapan Mugabe dan dimana akan dimakamkan.
Sumber: Reuters
Artikel ini dikutip dari Antaranews.com