Sementara itu, Rawanda Nicodemus Tuturoong, Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP) mendukung pernyataan Prof HK tentang perlunya mempertimbangkan unsur politik administrasi dalam usulan nomenklatur kabinet.

“Birokrasi Indonesia budaya kerjanya masih comply pada aturan, sepanjang tidak ada aturan, umumnya tidak bergerak. Padahal ini era disruption, perlu budaya kerja adaptasi dan up-scalling”, ujar Binyo, sapaan akrab Rawanda.

“Idealnya manajemen itu adalah pengetahuan, sehingga dia dinamis. Manajemen itu multi dimensi, perlu koordinasi, bukan menunggu regulasi. Ini yang dimaksud Pak Jokowi kerja terobosan, tidak linear. Sebuah kelembagaan, termasuk Kementerian, agar efektif harus dilihat dari 4 hal, yaitu Fungsi dan Struktur, Otoritas dan Legitimasi, Sumber Daya Manusian (SDM), kemudian Anggaran. Jadi, usulan Kemenko SDA-LH ini bisa dijabarkan dalam 4 unsur ini”, tambahnya.

Hal menarik juga disampaikan oleh Timer Manurung dari NGO Auriga. Dia membandingkan efektivitas sumber daya manusia di Kemen LHK dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

“Perlu penataan manajemen sumber daya manusia. Misal, Kemen LHK punyai pegawai sekitar 17,000 orang, untuk pengelolaan hutan lebih baik pegawai yang bertugas itu langsung ditempatkan di daerah, sedangkan untuk tata kelola konservasi bisa di Manggala”, kata Timer.

Baca juga  Jembatan Leta Oar Ralan di Tanimbar Diresmikan, Harapan Menuju Kesejahteraan Terbuka

“Selain itu juga, saya mengusulkan nama Kemenko ini bukan SDA-LH, tetapi Kemenko Tata Ruang dan LH. Problem LH kita ada pada pengaturan ruang. SDA dan LH jangan dilihat hanya dari soal kebutuhan, karena ketersediaan terbatas”. Ujar Timer,

Pendapat Timer diperkuat oleh Arimbi dari Perkumpulan Berdikari dan Briggita seorang Jurnalis senior, mereka sepakat Tata Ruang menjadi pondasi kuat dan penting yang harus diperhatikan oleh Joko Widodo – KH Ma’ruf Amin, “Saya melihat, Tata Ruang itu bukan main-stream, tapi dia adalah penapis kunci, filter dari kebijakan terkait Lingkungan Hidup”, kata Briggita.

Prof HK menambahkan, soal Tata Ruang, jika salah satu terjemahannya adalah Kebijakan 1 Peta, maka harus juga dilengkapi dengan Social Mapping, informasi tapak, Pengaturan Ruang tanpa ada info sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik lokal, maka berpotensi tidak menggambarkan situasi ruang yang riil.

Diskusi ditutup oleh Koordiantor Nasional Poros Hijau Indonesia, Rivani Noor Machdjoeri, yang menyampaikan bahwa Poros Hijau Indonesia akan terus mendorong agar Lingkungan Hidup menjadi domain penting dalam kebijakan di Indonesia, termasuk dalam penyusunan Kabinet Indonesia Kerja II, “Kita sepakat akan melanjutkan putaran kedua Diskusi ini, dan hasilnya akan kita sampaikan kepada Presiden dan Wapres untuk menjadi bahan pertimbangan beliau berdua”, pungkas Rivani.