Sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Ir H Joko Widodo – KH Ma’ruf Amin sebaga Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk masa bakti 2019 – 2020, salah satu yang menjadi diskusi hangat publik adalah bagaimana struktur kabinet kedepan, serta siapa sajakah tokoh yang patut menjadi pembantu Presiden-Wapres?

Poros Hijau Indonesia, satu organisasi yang platform organisasinya bekerja untuk lingkungan hidup dengan perspektif politik hijau, serta pada Pilpres 2019 mendukung pasangan Ir H Joko Widodo – KH Ma’ruf Amin menilai penting untuk memberikan masukan format kelembagaan di sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Apalagi pasangan Joko Widodo – KH Ma’ruf Amin mencantumkan dalam Misi No. 4 mereka “Terwujudnya Lingkungan Hidup Berkelanjutan”.

Untuk itu, pada hari Senin, 22 Juli 2019, bertempat di Ke:Kini Cafe, Menteng, Jakarta, Pengurus Nasional Poros Hijau Indonesia mengadakan Diskusi dengan tajuk “Usulan Struktur Kabinet Indonesia Kerja II”. Diskusi ini diawali dengan makan siang bersama, dan dihadiri oleh perwakilan Kantor Staf Presiden (KSP), Akademisi, NGO, Pengurus DPP Partai Politik dan jurnalis senior.

“Problem SDA dan LH semakin kompleks, sudah seharusnya isu ini menjadi hal penting yang patut dipertimbangkan dalam struktur kabinet. Poros Hijau Indonesia mengusulkan dibentuk Kemenko SDA-LH dalam Kabinet Indonesia Kerja II JokoWidodo –KH Ma’ruf Amin”, kata Deddy Ratih, Sekretaris Nasional Poros Hijau Indonesia.

Baca juga  Presiden Tinjau Pembangunan Tol Manado-Bitung Sebelum Kunjungan Kerja ke Papua

Dalam presentasinya, Usulan Kemenko SDA-LH beserta nomenklatur Kementerian dibawah koordinasinya, selain berlandaskan pada Misi Presiden-Wapres terpilih, juga mengacu pada diskursus Pembangunan Ekonomi harus memperhatikan daya dukung lingkungan hidup agar pembangunan berkelanjutan, dan relasional antara lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi. Kemenko SDA-LH ini mempunyai 5 fungsi, yaitu Pengaturan, Pengelolaan, Kebijakan, Pengurusan dan Pengawasan.

Presentasi Poros Hijau Indonesia ini mendapatkan tanggapan dari Prof Hariadhi Kartodihardjo, akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dalam budaya teknokratik di Indonesia, bukan soal isu dan nomenklaturnya, tetapi juga soal politik administrasi perlu dipertimbangkan.

“Kita bisa saja punya gagasan bagus dan ideal soal Kemenko SDA-LH, tapi perlu juga melihatnya dari pandangan birokrasi. Setidaknya ada 4 catatan saya terkait belum efesiensinya birokrasi kita, sehingga cukup menghambat berjalannya program dalam LH dan SDA. Pertama, Ukuran Kinerja, jangan lagi berorientasi anggaran. Kedua, Sistem Penggajian yang perlu dipertimbangkan pemberlakuan Single Sallary System, ketiga, mendorong fleksibilitas dalam menjalankan tugas bukan hanya berbasis tupoksi, keempat, mengubah budaya birokrasi”. Jelasnya

Baca juga  Aktivis Dandhy Dwi Laksono ditangkap Polda Metro

“Kita berada diera keterbukaan, maka harus ada kemauan dan dorongan agar diantara Kemeterian juga terbuka, setidaknya yang ada dalam Kemenko SDA-LH nanti. Karena kalau diantara Kementerian saling menutup informasi, sulit untuk mengambil keputusan yang tepat”, kata Pak HK, panggilan akrab Pak Hariadhi, “Birokrasi perlu mengubah basis kerjanya berdasarkan empirical evidence based. Mengurai dan memecahkan masalah, bukan menghindar karena bukan tupoksinya, ini namanya kerja terobosan”, imbuh beliau.

Halaman selanjutnya, Sementara itu…