Pemerintah terus berupaya meningkatkan daya saing dan keamanan pangan produk hortikultura melalui sistem sertifikasi jaminan mutu. Tahap awal, Kementerian Pertanian akan mendata setiap kebun hortikultura yang sudah menerapkan konsep pertanian organik. Jika memenuhi persyaratan, maka akan diterbitkan sertifikat budidaya organik yang diyakini mampu meningkatkan nilai jual produk.
Direktur Perlindungan Hortikultura, Sri Wijayanti Yusuf saat ditemui di Kantor Ditjen Hortikultura, Jumat (20/9) menjelaskan, sertifikasi organik merupakan sarana untuk memberikan jaminan bahwa produk tersebut memenuhi persyaratan standar dan dokumen normatif lainnya.
“Penilaiannya dilakukan melalui inspeksi Lembaga Sertifikasi Organik (LSO). Selanjutnya untuk sertifikasi kebun perlu dilakukan Penyusunan Dokumen Sistem Mutu (Doksistu),” terangnya.
Seiring perubahan pola konsumsi saat ini, produk pertanian organik semakin dicari. Masyarakat meyakini produk ini terjamin karena jauh dari bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh.
“Produk organik dihasilkan dari sistem pertanian yang ramah lingkungan dengan cara memanfaatkan bahan alami dan tidak menggunakan bahan kimia sintetis dan rekayasa genetik. Itulah mengapa masyarakat mulai beralih ke produk organik,” kata wanita yang kerap dipanggil Yanti tersebut.
Kasi Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, Cakhrawati, mengatakan pada 2019 akan lahir lima kabupaten pengembangan kebun organik.
“Lima Desa Pertanian Organik (DPO) ini difasilitasi APBN 2019. DPO tersebut tersebar di lima Kabupaten meliputi Tasikmalaya, Sumedang, Majalengka, Bandung dan Cirebon. Proses sertifikasi ini dilaksanakan oleh kelompok yang sudah terlatih dalam praktik budidaya,” ujarnya.
Pengurus Kelompok Tani Sinar Mustika Desa Cimanggu, Kecamatan Puspahiang Tasikmalaya, Holid, menyebut kelompoknya telah menerapkan sistem pertanian organik sejak 2005. Tepatnya pada lahan manggis seluas 19 hektare yang dikelola 25 orang petani ini.
“Sejak merintis kebun pada 1999 lalu, kami mulai belajar sistem budidaya organik. Untuk pemeliharaan kebun, kami melakukan penyiangan dua kali dalam setahun. Pemupukan menggunakan pupuk kandang dari kotoran sapi yang dicampur dengan jerami. Ini dilakukan dua kali dalam setahun,” jelas Holid.
Untuk pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT), kata Holid, para petani menggunakan Trichoderma dan PGPR dari Laboratorium Pengamat Hama dan Penyakit (LPHP) Tasikmalaya. Hasil panen manggis mencapai 2-5 kg per pohon dengan menggunakan bahan pengendali ramah lingkungan.
“Kelompok kami, Sinar Mustika sudah siap untuk sertifikasi. Untuk proses doksistu, persyaratan kebun dan administrasi sudah selesai dinilai oleh fasilitator. Secara umum sudah memenuhi syarat untuk disertifikasi. Untuk administrasi sudah 90 persen lengkap dan siap untuk pengajuan sertifikasi ke LSO,” ungkap Holid bangga.
Ketua Kelompok Tani Salak Mukti, Desa Bongkok, Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang, H. Amin, mengaku senang berhasil mengembangkan budidaya salak. Bersama anggotanya yang berjumlah 25 orang, aktif menerapkan prinsip pertanian organik.
“Pertanian organik di kelompok kami sudah dimulai sejak 2015 pada kebun salak seluas 3 hektare. Para petani menanam varietas Slebong. Varietas ini merupakan hasil persilangan salak Sleman dengan salak lokal Bongkok. Tanaman salak saat ini berumur 14 tahun,” ujar Amin.
Menurut Amin, pihaknya menerima bantuan sebagai dukungan DPO dari BPTPH Propinsi Jawa Barat seperti perangkap lalat buah, bahan pengendali Paenybacillus dan PGPR. Kelompoknya juga mendapat bantuan ternak sapi beserta kandang dari UPPO.
“Keuntungan dari pertanian organik, biaya operasional lebih murah 20 % dibanding konvensional. Salaknya juga lebih enak rasanya. Dinas Pertanian Jawa Barat juga telah membatu prpses pembuatan dokumen. Pada September lalu kami sudah menyelesaikan proses Doksistu,” kata Amin.