AGRARIA.TODAY – Kepala Badan Pertanahan (BPN) Kota Depok Indra Gunawan mengatakan, ada dua akar masalah munculnya konflik pertanahan di Kota Depok yang cukup dominan.
Ini terungkap sejak Kantor Pertanahan Kota Depok berdiri tahun 1999 hasil pemekaran dari Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.
“Pertama, tidak dilakukannya penguasaan atas tanah yang dimiliki. Bahkan cenderung abai atas asetnya sendiri hingga dibiarkan bertahun-tahun dan dianggap hanya sebatas investasi. Ini yang sering kita temukan. Kedua, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan tidak optimal oleh pemiliknya,” jelas Indra Gunawan didampingi Kepala Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa BPN Kota Depok Hodidjah kepada wartawan, Jumat 3 November 2023.
Belum terintegrasinya data peta pendaftaran tanah, atau peta offline atau peta kerja dengan sistem Kegiatan Kantor Pertanahan (KKP) saat ini menyebabkan banyaknya sertifikat yang telah diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Depok.
Namun belakangan diketahui, terhadap bidang tersebut telah terbit sertifikat yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor.
“Pada kasus seperti ini, Kantor Pertanahan hadir di tengah-tengah masyarakat untuk membantu mencari solusi. Caranya, dengan jalan mediasi. Keberhasilan dari mediasi ditentukan oleh para pihak yang berkonflik,” urai Indra Gunawan.
Terkait hal ini, maka seluruh komponen di BPN Kota Depok berperan sangat besar dalam menyelesaikan konflik pertanahan.
Maka, literasi bidang hukum, pengetahuan SDM dan instrumen Kantor Pertanahan dalam melakukan penanganan kasus pertanahan dan kemampuan berkomunikasi dengan para pihak yang berkonflik dapat menjadi tolak ukur dalam penyelesaian konflik.
“Para pihak yang berkonflik dapat menurunkan tensinya dan tidak lagi arogan untuk mengatakan bahwa dia adalah pihak yang paling benar,” timpal Indra.
Jika komunikasi yang dibangun dapat menjadikan jembatan dan memberikan titik temu antara para pihak yang berkonflik sehingga dapat tercapai penyelesaian yang win win solution, yang dapat diterima oleh semua pihak dengan besar hati.
“Dalam menangani kasus pertanahan kami berpedoman pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan,” jelasnya.
Lebih jauh Hodidjah menambahkan, tahun 2023 BPN Kota Depok sudah menerima kasus pertanahan kurang lebih 1.500 pengaduan.
Pengaduan adalah keberatan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas suatu produk hukum Kementerian ATR/BPN, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya menyangkut penguasaan atau kepemilikan bidang tanah tertentu.
Alur penyelesaiannya, Kantor Pertanahan Kota Depok dalam hal ini Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa akan memilah milah pengaduan tersebut untuk mendapatkan penanganan sesuai tahapannya.
Penanganan Kasus adalah mekanisme atau proses yang dilaksanakan dalam rangka penyelesaian kasus.
“Setiap pengaduan akan kami kaji dengan cara melakukan gelar awal untuk mengetahui apakah terhadap pengaduan tersebut merupakan kewenangan kami atau bukan, jika bukan maka kami akan menyurati pengadu, namun jika ya maka akan diteruskan dengan melakukan penelitian sampai dengan penyelesaiannya,” terangnya.
Ditegaskan Hodidjah, penyelesaian kasus pertanahan juga dapat diselesaikan melalui mediasi yaitu melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan yang dilakukan oleh para pihak difasilitasi oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya atau mediator pertanahan.
“Untuk di Kota Depok saja misalnya, sepanjang tahun 2023 ada sekitar 35 kasus pertanahan yang telah kami tangani melalui mediasi. Tentu, dengan beragam tipologi seperti sengketa batas, tumpang tindih, putusan pengadilan, sertipikat ganda, sertifikat pengganti dan lain lain,” ungkapnya
Dengan beragamnya kasus pertanahan maka mediasi wajib dihadiri oleh para pihak atau prinsipal. Dalam hal para pihak tidak dapat hadir karena alasan kesehatan atau alasan lain yang sah.
Mediasi dapat diwakili oleh kuasa yang diberi kewenangan untuk memutus dengan persetujuan oleh pihak yang bersengketa.
“Memang tidak banyak yang dapat kami selesaikan, namun semua penyelesaian sekarang sudah mengerucut ke arah perdamaian. Contohnya, ada sertifikat suatu PT besar yang tumpang tindih sebagian dengan perorangan,” jelasnya.
Sertifikat PT ini adalah permohonan dari sertifikat lama yang pernah dibatalkan. Maka BPN Kota Depok menelusuri data-data terkait peta-peta lama yang menjadi dasar penerbitan sertipikat PT tersebut.
Setelah itu BPN Kota Depok mengkaji dan analisis ternyata ada perbedaan antara peta lama dengan peta dalam sertifikat saat ini.
“Sehingga, kami dapat menyimpulkan bahwa terhadap permohonan sertipikat yang baru ini terdapat perbedaan dengan yang lama. Terhadap hal ini para pihak sepakat untuk dilakukan penataan batas dan perbaikan data fisik kembali,” jelasnya.
Ada juga contoh kasus pemilik sertifikat pada saat melakukan pengukuran ulang diketahui tumpang tindih dengan sertifikat lain.
Setelah dilakukan mediasi ternyata secara fisik di lapangan mereka merasa tidak ada masalah, sehingga kami akan melakukan pengukuran ulang dan dilakukan penataan batas untuk memperbaiki peta.
Contoh satu lagi terkait sertifikat yang terbit tahun 1970-an. Saat itu para ahli waris datang dan menanyakan letak sertifikatnya. Lalu, setelah dilakukan pengukuran sesuai penunjukan batasnya diketahui ternyata ada sertifikat lain yang telah terbit.
“Pada kasus seperti ini biasanya para pihak sepakat untuk menyelesaikan secara damai,” kata Hodidjah.
Ada juga kasus-kasus terkait putusan pengadilan. Dalam kasus ini, satu pihak dimenangkan pada peradilan PTUN, sehingga BPN Kota Depok membatalkan sertifikat-sertifikat. Namun di peradilan perdata para pemilik sertifikat ini menang.
“Walaupun belum banyak kasus-kasus yang dapat diselesaikan namun BPN Kota Depok terus berkomitmen untuk menangani kasus pertanahan dan bertekad memberantas mafia-mafia tanah yang berperan menimbulkan kasus pertanahan,” pungkas Hodidjah. (ful/ind)