AGRARIA.TODAY – Sinkronisasi tata ruang, perizinan, kawasan hutan, dan Hak atas Tanah menjadi salah satu fokus bahasan pada pelaksanaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022 mendatang. Isu ini dipilih karena saat ini pemerintah tengah berupaya untuk mengatasi masalah yang muncul terkait perizinan berusaha, termasuk izin usaha pertambangan. Bila mengacu pada masalah yang terjadi di Provinsi Maluku Utara, selain faktor pertanahan dan tata ruang, faktor lain yang bersinggungan dengan masalah pertambangan adalah kehutanan.

Terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memang memberikan payung hukum untuk izin pertambangan. Namun, yang menjadi tujuan utama pemerintah termasuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bukan hanya kepastian hukum tapi juga kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Demi mewujudkan tujuan tersebut, kementerian/lembaga (K/L) perlu bahu-membahu dalam memetakan masalah. Sehingga kemudian dapat tercipta solusi yang telah merangkul seluruh aspek dari sektor terkait. Melalui Diskusi Publik #RoadtoWakatobi ke-23 GTRA Summit 2022, para pemangku kepentingan duduk bersama membahas opini, rencana, fakta, dan harapan seputar pertambangan serta mitigasi masalahnya, terkhusus di Maluku Utara.

“Ketika informasi awalnya saja tidak saling tahu, bisa menjadi problem. Dengan sharing data dari awal, kita bisa tahu lokasi potensi problem, risikonya apa. Dan nanti disiapkan mitigasinya. Sehingga nanti tidak muncul masalah hukum,” ujar Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Surya Tjandra saat memimpin Diskusi Publik bertema Membangun Kepercayaan di Bidang Pertanahan antar Masyarakat, Pemerintah, dan Kegiatan Usaha Pertambangan yang diadakan secara daring dan luring di Sahid Bela Hotel, Provinsi Maluku Utara (23/05/2022).

Pada kesempatan ini, Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang Kementerian ATR/BPN, Budi Situmorang menyatakan bahwa soal masalah tambang saat ini masih berkutat di tahap perencanaan. “Bagaimana kita mewujudkan supaya pertambangan dan pertanahan ini menjadi tujuan bersama. Mari kita belajar dari pertambangan yang sudah berhasil, baru kemudian kita urai semua bersama. Masalah pertambangan ini sebenarnya harus sesuai dengan tata ruang. Harusnya setelah persetujuan KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, red), itu baru keluar Izin Usaha Pertambangan (IUP),” terangnya.

Baca juga  Makin Cepat Sertipikasi, Makin Cepat Pula Masyarakat Peroleh Manfaat Sosial dan Ekonomi

Terkait isu pertambangan di Maluku Utara, masalah yang mengemuka disebabkan penerbitan izin pertambangan di kawasan hutan, namun masyarakat yang mendiami wilayah tersebut tidak dapat diterbitkan sertipikatnya. Dalam hal ini, Yohanes Siregar yang mewakili Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Maluku Utara menyatakan bahwa Reforma Agraria bisa menjadi akselerator dan fasilitator investasi.

“Ketika BPN tidak memiliki data lokasi IUP, ini menjadi masalah ke masyarakat di lapangan. Nah ketika ini terjadi, lewat Reforma Agraria ini, bagaimana kita mengharmonisasi aturan di K/L dengan ATR/BPN. Jika memang data informasi itu tadi bisa dipegang oleh BPN maka kita bisa menanyakan apakah lahan ini sudah clear and clean dan tentang kepemilikan masyarakat. Dan pintu masuknya adalah Reforma Agraria ini,” jelas Yohanes Siregar.

“Lewat pertemuan yang sangat mulia ini, kami coba mengusulkan bagaimana kita membuat peraturan perundang-undangan yang memberikan kepastian hukum. Tapi juga jangan hanya kepastian, tapi juga memberikan keadilan dan kemanfaatan,” tambah Yohanes Siregar.

Perlu diketahui, sampai saat ini sudah lebih dari 1.000 izin yang dicabut oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Untuk di Maluku Utara akan ada 15 izin yang dicabut, rekomendasi Kementerian ESDM ke Kementerian Investasi. Hal tersebut diungkapkan Plt. Kepala Dinas ESDM Maluku Utara, Suriyanto Andili. Ia menyampaikan, “Sekarang untuk sistem Online Single Submission (OSS) kementerian dan di daerah bahwa izin dasar dari pada proses perizinan itu yang pertama adalah kesesuaian tata ruang. Jadi saya pikir nanti ke depan nanti kemungkinan tumpang tindih itu lebih kecil,” ujar Plt. Kepala Dinas ESDM Maluku Utara.

Baca juga  Kebakaran di Kantah Kab. Klaten, Berkas Pertanahan Dipastikan Aman

Sementara itu, Deputi Bidang Kemaritiman dan Investasi, Sekretariat Kabinet RI, Agustina Murbaningsih berpendapat bahwa hal pertama yang harus dibenahi adalah tata urutan pemberian izin pertambangan. “Harusnya sebelum Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) ditetapkan, di lapangannya sudah clean and clear dulu. Jadi para investasi (pelaku usaha, red) sudah tidak ada konflik di ujung,” pungkasnya.

Sejatinya pemerintah bertugas menyinkronkan kebijakan. Salah satunya melalui OSS, harapannya dapat mengurangi konflik yang saat ini dihadapi termasuk soal pertambangan dan kehutanan. Di sini jugalah hadir peran pemerintah daerah yang memahami seluk-beluk wilayahnya, sehingga usulan potensi wilayah tambang mereka diharap sudah clean and clear. Melalui diskusi publik ini rumusan masalah telah dihimpun, selanjutnya bagaimana seluruh pihak terkait bekerja sama untuk menyusun solusi atas masalah-masalah yang dihadapi sebelumnya. (FT/LS)

#KementerianATRBPN
#MelayaniProfesionalTerpercaya
#MajuDanModern
#MenujuPelayananKelasDunia