AGRARIA.TODAY – Pemerintah sangat menaruh perhatian dalam menciptakan keadilan, salah satunya dengan mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah bagi rakyat Indonesia. Melalui Reforma Agraria yang digagas oleh pemerintah sejak 2014, telah diupayakan untuk mewujudkan hal tersebut. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai salah satu institusi yang melaksanakan Reforma Agraria, membuat terobosan dengan legalisasi aset dan redistribusi tanah.
“Reforma Agraria merupakan proses dari hulu hingga hilir yang mengintegrasikan konsep perencanaan hingga penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan untuk kemakmuran rakyat,” kata Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Surya Tjandra, dalam kegiatan Pembekalan Nasional Hukum Agraria dan Rapat Kerja Nasional LBH Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) di JW Marriot Hotel, Jakarta, Rabu (15/12/2021).
Lebih lanjut, Surya Tjandra mengungkapkan “gong” terbesar Reforma Agraria, seharusnya dilakukan dengan menyelesaikan konflik agraria. “Kenapa gong belum bunyi? Karena butuh fokus dalam bekerja, fokus teguh terhadap tujuan. Rakyat pun butuh hasil yang konkret dan nyata untuk dilihat hasilnya secara langsung. Jadi, penyelesaian konflik agraria, saya rasa penting sekali menunjukkan bahwa memang pemerintah hadir. Kebayang betapa banyak sektor yang harus dilibatkan dalam menyelesaikan satu konflik agraria dan berapa banyak energi yang hanya bisa diisi oleh hati,” ungkapnya.
Ketersediaan tanah untuk lahan pertanian menjadi tantangan yang harus dijawab. Maka dari itu, salah satu solusinya ialah redistribusi tanah dari kawasan hutan. Terdapat cadangan lahan untuk redistribusi tanah dari kawasan hutan seluas 1.2 juta Ha. Proses pelepasan menggunakan proposal kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang harus disusun secara bersama oleh pemangku kepentingan terkait dan kelompok masyarakat.
“Ada peluang yang namanya pencadangan dari kawasan hutan. Kalau memang organisasi petani, pejabat, dan pengusaha, peduli kepada pertanian kita yang sedang menghadapi tantangan besar dalam ketahanan pangan, yang kelihatan dari data jumlah lahan baku sawah terus menurun secara sistemik. Hal ini menjadi PR kita bersama ke depannya,” kata Wamen ATR/Waka BPN.
Pada kesempatan yang sama, Ketua DPP Umum HKTI, Moeldoko, yang juga selaku Kepala Staf Kepresidenan mengatakan bahwa konflik agraria begitu luas sehingga perlu niat dan komunikasi yang baik dalam menyelesaikannya. Peran Civil Society Organization (CSO) pun diperlukan untuk masuk ke dalam susunan tugas penyelesaian konflik agraria agar mengetahui kesulitan yang dihadapi.
“Bekerja jangan seperti mengecat langit, semuanya mau diselesaikan. Itu tidak bisa, kita yang punya otoritas pun tidak mudah menyelesaikan berbagai konflik. Dengan adanya HKTI, diharapkan bisa meringankan serta memenuhi harapan masyarakat. Untuk itu, saya selalu ingatkan HKTI sebagai penjembatan agar gap tidak terlalu besar,” pungkas Moeldoko. (JR/RE)
#KementerianATRBPN
#MelayaniProfesionalTerpercaya
#MajuDanModern
#MenujuPelayananKelasDunia