AGRARIA.TODAY – Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mendapat mandat untuk melakukan pembangunan wilayah adat melalui pelaksanaan Reforma Agraria kontekstual Papua. Perlu adanya sinkronisasi terkait konteks pembangunan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan pemetaan partisipatif agar pembangunan Papua dan Papua Barat menjadi tepat.

Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN), Surya Tjandra, menjelaskan bahwa berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2020, terdapat beberapa fokus, salah satunya ialah terkait kepastian hukum hak atas tanah serta fasilitasi penanganan masalah hukum terkait tanah adat dan tanah ulayat. “Selain itu, adanya pelaksanaan percepatan pembangunan wilayah adat Laa Pago dan Domberay. Kabupaten Maybrat ini masuk dalam kawasan Domberay. Secara dasar hukum sudah ada, tinggal eksekusinya,” terang Surya Tjandra yang hadir secara daring dalam acara Lokakarya dan Diskusi Perdasus Masyarakat Adat – Pemerintah Daerah Maybrat pada Selasa (23/11/2021).

Surya Tjandra juga memaparkan, berdasarkan laporan hasil kunjungannya ke beberapa daerah di Papua dan Papua Barat, Kementerian ATR/BPN menjalankan Reforma Agraria yang mempertimbangkan kontekstual Papua yang harus dimulai dari pemetaan sosial dan spasial wilayah adat tanah Papua. “Hal ini sesuai dengan satu instruksi presiden yang mengarahkan untuk melakukan pendekatan pembangunan Papua dari perspektif sosial budaya, wilayah adat, dan zona ekologis dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan fokus kepada Orang Asli Papua (OAP),” jelasnya.

Baca juga  Kemendagri Monev Pelaksanaan Pembebasan BPHTB pada Proyek Strategis Nasional

Terkait pemetaan tersebut, Surya Tjandra menegaskan bahwa penting adanya pemetaan sosial dan spasial secara partisipatif yang melibatkan masyarakat adat agar terwujud kesepakatan dan tidak ada batas yang tertindih. “Jadi, klaim dari masyarakat adat dan Pemda harus tersinkron dengan data dari Kementerian ATR/BPN. Itulah mengapa teman-teman Kementerian ATR/BPN perlu diajak proses dari awal,” imbaunya.

Pascaimplementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), tertuang pengaturan tentang Hak Pengelolaan dalam PP Nomor 18 Tahun 2021 yang menyangkut Hak Pengelolaan Tanah bagi tanah ulayat. “Sebelumnya, HPL hanya dimiliki oleh pemerintah, sekarang dimungkinkan dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat (MHA). HPL di atas tanah ulayat ini diberikan kepada masyarakat hukum adat yang telah diakui dan ditetapkan keberadaannya sesuai peraturan perundang-undangannya,” ujar Wamen ATR/Waka BPN.

Lebih lanjut, Surya Tjandra menjelaskan bahwa pada tahap pengakuan tanah masyarakat hukum adat, dibutuhkan kerja sama lintas Kementerian dan Lembaga (K/L). Tahap pengakuan tanah dimulai dari pemetaan sosial dan spasial bersama K/L terkait, kemudian dilakukan tahap perencanaan pembangunan berdasarkan pemetaan wilayah adat. Setelah itu, berlangsung tahap pengakuan MHA dan wilayah adat di tingkat pemerintah daerah serta tahap pendaftaran wilayah adat/hutan adat. “Saya siap mendukung. Semoga mimpi besar ini mudah-mudahan terwujud,” ujarnya.

Baca juga  Seluruh Tanah Terpetakan dan Terdaftar, Menteri ATR/Kepala BPN Deklarasikan Yogyakarta sebagai Kota Lengkap

Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Papua Barat, Roberth K.R. Hammar yang juga hadir secara daring, menuturkan bahwa besar harapannya agar Undang-Undang terkait MHA yang tengah diproses di pemerintah pusat untuk cepat ditetapkan dalam rangka pengakuan MHA. “Harus dilakukan penelitian yang mendalam terkait identifikasi masyarakat adat, mulai dari wilayah, struktur kepemimpinan adat hingga hukum adatnya yang mengatur soal-soal tanah. Kemudian dilakukan validasi dan verifikasi untuk dilakukannya pengakuan,” tutupnya. (AR/TA)

#KementerianATRBPN
#MelayaniProfesionalTerpercaya
#MajuDanModern
#MenujuPelayananKelasDunia