AGRARIA.TODAY – Persoalan penggunaan tanah yang tidak efektif dan tidak sesuai fungsi menyebabkan dampak yang negatif kepada lingkungan, salah satunya kontribusi terhadap peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat pengelolaan tanah yang tidak terkontrol. Pemerintah Indonesia terus berusaha menggagas pengelolaan lanskap yang berkelanjutan melalui perencanaan penggunaan tanah dengan penerapan berbagai regulasi. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai institusi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan tata ruang, terus berupaya menerapkan penataan tanah yang berkelanjutan.
Direktur Penatagunaan Tanah, Sukiptiyah, berkata bahwa sebagai upaya pengelolaan tanah yang berkelanjutan, Kementerian ATR/BPN melalui Direktorat Jenderal Penataan Agraria menerapkan Sistem Penataan Agraria Berkelanjutan (SPAB). SPAB menerapkan tiga kegiatan pokok, yaitu melalui penataan aset, penataan penggunaan tanah, dan penataan akses.
Sukiptiyah menjelaskan bahwa penataan aset merupakan usaha untuk menata penguasaan, kepemilikan, dan penggunaan tanah supaya berkeadilan. Terkait penataan penggunaan tanah, merupakan usaha untuk mendorong masyarakat menggunakan tanahnya secara baik agar mendapatkan hasil optimum. Kemudian untuk penataan akses adalah pemberian kegiatan pemberdayaan masyarakat yang memiliki tanah.
“Tujuan pengelolaan penggunaan lahan ialah terwujudnya penggunaan lahan dan/atau penggunaan lahan yang efisien dan efektif untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Demi mencapai tujuan tersebut, diatur kelembagaan masyarakat melalui penataan berbasis masyarakat, dalam bentuk pengelolaan bersama atas tanah dan/atau hak kolektif sehingga masyarakat dapat meningkatkan status ekonominya,” tutur Sukiptiyah yang hadir secara daring dalam acara United Nations Framework Convention on Climate Change Conference of the Parties 26 (UNFCCC COP26) yang berlangsung di Paviliun Indonesia, Glasgow, United Kingdom pada Kamis (04/11/2021).
Kementerian ATR/BPN juga terus melakukan usaha untuk ikut berperan dalam mengatur penyerapan karbon. Sukiptiyah berkata bahwa melalui program Reforma Agraria khususnya redistribusi tanah, memberikan aturan yang harus dipatuhi bahwa hak atas tanah tidak boleh dialihkan dalam kurun waktu 10 tahun. “Hal ini dilakukan untuk menjaga kondisi tata guna lahan yang ada, yaitu berupa pertanian/perkebunan sehingga tidak terjadi alih fungsi lahan yang akan mengakibatkan penurunan penyerapan karbon dan berdampak terhadap emisi karbon yang lebih tinggi,” pungkas Sukiptiyah.
Kementerian ATR/BPN juga terus melakukan tata guna lahan, salah satunya dengan membangun keseimbangan lahan melalui Neraca Penatagunaan Tanah (NPGT). Sukiptiyah selaku Direktur Penatagunaan Tanah menjelaskan bahwa NPGT berusaha membangun keseimbangan antara ketersediaan tanah dan kebutuhan pembangunan, sesuai dengan rencana tata ruang/penggunaan lahan.
NPGT memperhitungkan data sekunder dari internal dan eksternal/sektoral, termasuk data terkait lahan (kepemilikan), penggunaan lahan, kawasan hutan, perencanaan kota/kabupaten, dll. Data sektoral dianalisis bersama sesuai dengan rencana tata ruang. “Dalam menentukan keseimbangan tanah, kita menganalisis perubahan penggunaan lahan. Bagaimana kesesuaian penggunaan lahan dengan perencanaan, serta bagaimana menganalisis ketersediaan lahan dari data terkait kepemilikan lahan,” tutupnya. (AR/SA)
#KementerianATRBPN
#MelayaniProfesionalTerpercaya
#MajuDanModern
#MenujuPelayananKelasDunia