AGRARIA.TODAY – Persoalan konflik kelapa sawit masih mendapat atensi yang besar dari masyarakat Indonesia, menyusul kebijakan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau yang biasa disebut Moratorium Sawit. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) juga mengambil peran dalam penguatan hak atas tanah sebagai andil dalam penyelesaian konflik kelapa sawit.
Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Surya Tjandra, berkata bahwa saat ini pihaknya tengah memperkuat peraturan pemerintah terkait kawasan dan tanah telantar. Hal ini diatur dalam PP Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar. “Tahun ini kita sedang susun prosedur yang menguatkan produk hukum kita, yaitu kawasan dan tanah telantar agar lebih rigid,” jelas Surya Tjandra yang hadir secara daring dalam acara Laporan Kebijakan Tingkat Nasional Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia (POCAJI) pada Rabu (28/10/2021).
Surya Tjandra menjelaskan bahwa saat ini, tengah berlangsung evaluasi perizinan Kelapa Sawit di Papua Barat dan Papua. “Terdapat penemuan pelanggaran di situ. Sebagian sudah dicabut izinnya, mulai dari perusahaan tidak bayar pajak, menanam di luar izin, tidak sesuai Hak Guna Usaha (HGU), dan lain sebagainya sehingga dibatalkan izinnya oleh Pemerintah Kab. Jayapura,” jelas Wamen ATR/Waka BPN.
Surya Tjandra juga mengapresiasi peran akademisi dan kelompok masyarakat yang senantiasa menyuarakan penyelesaian konflik kelapa sawit. Menurutnya, ini sejalan dengan momentum dan pekerjaan yang saat ini tengah dilakukan oleh pemerintah sehingga dukungan dan pengawasan dari masyarakat dapat menjadi salah satu faktor agar penyelesaian segera menemukan ujung.
Ketika ditanya soal pengakuan hukum hak atas tanah, baik dalam dan luar kawasan hutan, Surya Tjandra menjelaskan bahwa Kementerian ATR/BPN bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) beserta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tengah berkoordinasi dalam mengupayakan penguatan hukum hak atas tanah di luar dan dalam kawasan hutan. “Kita ingin penetapan kawasan hutan itu bebas dari hak dan juga disetujui oleh masyarakat, juga akan dilakukan penetapan kawasan non hutan. Kita harap kerja sama ini dapat menguatkan warga, baik yang di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan,” tegasnya.
Deputi II Kantor Staf Presiden, Abetnego Tarigan yang juga hadir secara daring mengungkapkan bahwa Kantor Staf Presiden (KSP) senantiasa terlibat dalam pengawalan program prioritas dan isu-isu Presiden, dalam hal ini Reforma Agraria. Ia menjelaskan bahwa dua skema yang diterapkan berkaitan dengan legalisasi aset dan redistribusi tanah.
Terkait penanganan konflik agraria, Abetnego Tarigan berkata bahwa selama ini terlalu banyak kelembagaan yang berserakan dan tidak terkonsolidasi sehingga seringkali penyelesaian permasalahan agraria terkesan selesai hanya parsial. “Tidak harus membentuk kelembagaan baru untuk penanganan konflik agraria, tetapi bagaimana kelembagaan antara Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK bersama KPK dapat tereksekusi dan terkonsolidasi,” tutupnya. (AR/RS)
#KementerianATRBPN
#MelayaniProfesionalTerpercaya
#MajuDanModern
#MenujuPelayananKelasDunia