AGRARIA.TODAY – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) berupaya melaksanakan Reforma Agraria dengan memberi perhatian terhadap masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat, lokal, dan tradisional. Wilayah pesisir sendiri merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Kondisi demikian menjadi kompleks karena keunikan alam, perekonomian, bahkan terkait pula dengan batas negara.

Terkait dengan hal tersebut, Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Surya Tjandra menyatakan bahwa peran Kementerian ATR/BPN didasarkan pada Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 19 Bagian II tentang Pendaftaran Tanah dimulai dari pendataan, pendaftaran, dan pemberian hak atas tanah. Menurutnya, ketiga peran tersebut dapat dijadikan strategi Reforma Agraria dalam konteks masyarakat di wilayah pesisir. “Dalam hal pelaksanaan Reforma Agraria bagi masyarakat pesisir, apa langkah konkret yang bisa kita lakukan bersama sebagai jawaban untuk mendukung pembangunan wilayah mereka?” tanya Surya Tjandra dalam Focus Group Discussion (FGD) #RoadtoWakatobi dengan tema “Inventarisasi Isu Masyarakat Pesisir Khususnya Masyarakat Adat, Tradisional, dan Lokal (Perspektif, Kebutuhan, Pendekatan, dan Solusi)” secara daring pada Kamis (26/08/2021),

“Paradigma kita apakah langsung kepada pemberian hak atau barangkali dibutuhkan lebih banyak pendataan dan pendaftaran dahulu. Dalam konteks ini memang akan lebih sensitif terhadap kebutuhan masyarakat tradisional, lokal, dan adat setempat. Bukan hanya yang memang sudah lama tinggal di pesisir, tetapi para pendatang, masyarakat dari daerah lain yang merantau dan kemudian menetap di situ,” tambah Surya Tjandra.

Setelah berdiskusi dengan jajaran internal terkait dengan pembangunan wilayah pesisir, Wamen ATR/Waka BPN menyebutkan bahwa tantangan yang dapat menjadi peluang, salah satunya masalah rezim hukum yang berbeda-beda antar Kementerian terkait dapat diatasi dengan disusunnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri ATR/Kepala BPN, Menteri LHK dan Menteri KKP. Hal ini tentu membutuhkan komunikasi untuk menciptakan sinkronisasi dan koordinasi satu sama lain untuk kepentingan masyarakat.

“Itu adalah tantangan-tantangan yang kalau memang menjadi peluang rasanya juga tidak bisa asal, namun butuh langkah-langkah konkret. Seperti apa strateginya, bagaimana supaya apa yang kita lakukan itu bisa kemudian memberikan nilai tambah termasuk peluang-peluang pemberdayaan yang dibutuhkan,” tutur Wamen ATR/Waka BPN.

Baca juga  Komitmen Sukseskan Program Pemerintah, Kementerian ATR/BPN Bersinergi dengan Kementerian Pertanian, BSSN, dan BRI

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal (Dirjen) Penataan Agraria, Andi Tenrisau mengungkapkan bahwa pelaksanaan Reforma Agraria di wilayah pesisir sangat terkait dengan potensi ekonomi, sosial, politik, termasuk juga pertahanan dan keamanan. Menurutnya, masyarakat yang ada di wilayah tersebut masih perlu pendampingan pemberdayaan dalam rangka memperbaiki perekonomian. Reforma Agraria juga dilakukan dengan penataan aset, yakni legalisasi aset dan redistribusi tanah.

Ia menyebutkan fakta dan fenomena di wilayah pesisir antara lain pulau-pulau yang tidak ada penguasaan (APL), pulau-pulau kecil yang masuk dalam kawasan hutan, pulau-pulau kecil yang sudah ada penguasaan, dan pengusahaan di wilayah perairan. Sementara itu, untuk melaksanakan redistribusi tanah, dilakukan kepastian dan perlindungan hukum di antaranya Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah pada permukaan bumi, ruang atas dan ruang bawah tanah. “Kita harus tahu karakteristiknya, bagaimana ketika kita melakukan penataan aset, dalam arti memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terkait dengan adanya pemanfaatan tanah di wilayah pesisir itu,” tegas Andi Tenrisau.

Baca juga  Tinjau Kanwil BPN Provinsi Kaltim, Menteri AHY: Simultan Bangun Kapasitas dan Integritas untuk Wujudkan Instansi yang Terpercaya

Menutup FGD tersebut, Direktur Pemberdayaan Tanah Masyarakat, Andry Novijandri mengatakan bahwa pelaksanaan Reforma Agraria bagi masyarakat pesisir mengacu pada Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), di mana pengelolaan wilayah pesisir harus saling terintegrasi. “Presiden Joko Widodo sudah menginisiasi terhadap adanya UUCK yang mestinya sudah terharmonisasi apa yang harus dilakukan terhadap land tenurial maupun terhadap pemanfaatan. Kita juga mengenal bahwa pengelolaan pesisir itu juga harus terintegrasi ekosistemnya antara darat dan laut, dipengaruhi juga oleh perubahan iklim dan batas-batas administrasi,” pungkasnya. (YS/SA)

#KementerianATRBPN
#MelayaniProfesionalTerpercaya
#MajuDanModern
#MenujuPelayananKelasDunia