Jakarta – Penyelesaian konflik agraria tengah menjadi salah satu prioritas pemerintah. Memahami arah kebijakan pengelolaan sumber daya agraria dan tipologi konflik agraria akan memudahkan penyusunan kerangka strategi penyelesaian konflik agraria. Seperti yang dipaparkan oleh Direktur Jenderal Penataan Agraria, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Andi Tenrisau dalam Webinar Nasional Seri III, Dies Natalis Universitas Nusa Bangsa ke-34 dengan tema UU Cipta Kerja dalam Kerangka Penyelesaian Konflik Agraria pada Rabu, (23/06/2021).

Andi Tenrisau menjelaskan bahwa menurut TAP MPR IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, pengelolaan sumber daya agraria yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) serta menimbulkan berbagai konflik. Sehingga, pembaruan agraria yang ada mencakup proses penataan kembali P4T demi tercapainya kepastian hukum serta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. “UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) hadir dalam rangka harmonisasi beberapa Undang-Undang, salah satunya terdapat klaster Tata Ruang dan Pertanahan,” tutur Andi Tenrisau.

Mengenal Tipologi Konflik Agraria, Andi Tenrisau berkata bahwa tipologi konflik agraria terbagi menjadi delapan tipologi konflik yakni mulai dari letak/batas bidang tanah; penetapan hak/pendaftaran tanah; penguasaan kepemilikan tanah; pelaksanaan putusan pengadilan; tanah ulayat; ganti rugi tanah eks partikelir; tanah objek landreform dan pengadaan tanah.

Baca juga  Tata Ruang Berbasis Pencegahan dan Mitigasi Bencana: Kunci Pembangunan Berkelanjutan

Menurut Andi Tenrisau, dapat disimpulkan bahwa akar permasalahan semua konflik agraria berpusat pada empat hal yakni kepastian dan perlindungan hukum hak atas tanah; ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah; penggunaan dan pemanfaatan tanah tidak efektif dan efisien, berhasil guna dan berdaya guna; serta tingkat kemakmuran dan kesejahteraan.

Melihat hal di atas, Andi Tenrisau berkata bahwa Kementerian ATR/BPN menjalankan strategi penyelesaian sumber daya agraria dalam bentuk Rencana Strategis (Renstra) berupa program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), yakni program percepatan pendaftaran di seluruh wilayah Indonesia. Target renstra tersebut adalah pada tahun 2024 nanti semua bidang tanah di seluruh Indonesia akan terdaftar. “Kalau pendaftaran tanah sudah lengkap, perlindungan dan kepastian hukum hak atas tanah akan dijamin negara,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Kementerian ATR/BPN juga menjalankan program Reforma Agraria sebagai percepatan penyelesaian konflik agraria. Menurut Dirjen Penataan Agraria, berbagai akar masalah seperti ketidakpastian hukum, gini rasio atau ketidakadilan serta pemanfaatan tanah yang tidak efektif dapat diatasi melalui penataan aset dan penataan akses melalui redistribusi tanah.

Selain itu, implementasi UUCK dan peraturan pelaksanannya juga berperan penting dalam percepatan penyelesaian konflik agraria. Seperti pada PP Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian antara Tata Ruang dengan Kawasan Hutan, Izin dan/atau Hak Atas Tanah dan PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. “Seperti pada PP Nomor 18 Tahun 2021, masalah keterbatasan tanah akan dilakukan redistribusi tanah dan manfaat melalui penguatan Hak Pengelolaan (HPL), harapannya dengan melakukan ini konflik agraria dapat diperbaiki,” tutupnya. (AR/YS)

Baca juga  Inovasi Layanan Pertanahan Guna Tingkatkan Minat Masyarakat dalam Mengurus Berkas Pertanahan secara Mandiri

#KementerianATRBPN
#MelayaniProfesionalTerpercaya
#MajuDanModern
#MenujuPelayananKelasDunia