Semarang – Salah satu amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja (UUCK) adalah penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan dasar. Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum juga memiliki beberapa arti penting, yaitu mendukung pembangunan infrastruktur; mendukung aktivitas perekonomian; mendukung kemudahan berinvestasi serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sebagai bentuk pengejawantahan dari amanat UUCK, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. PP ini sebagai peraturan turunan dari UUCK yang di dalamnya terdapat 7 Bab dan 143 Pasal dan Penjelasan.

Direktur Bina Pengadaan dan Pencadangan Tanah Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengadaan Tanah dan Pengembangan Pertanahan, Nurhadi Putra mengatakan bahwa dalam PP Nomor 19 Tahun 2021 ini mengenalkan pengaturan baru bagi pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan UUCK. “Dalam pasal 123 UUCK dinyatakan bahwa nilai ganti kerugian bersifat final dan mengikat dan tim penilai mendampingi saat musyawarah,” kata Nurhadi Putra saat memberikan paparan terkait Muatan PP Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum di Hotel Gumaya, Senin (19/04/2021).

Penetapan lokasi (penlok) juga diatur dalam PP Nomor 19 Tahun 2021 ini. Menurut Nurhadi Putra, penlok untuk pengadaan tanah skala kecil ditetapkan oleh bupati/wali kota dan pelaksanaan pengadaan tanahnya dapat dilakukan dengan tahapan pengadaan tanah ataupun secara langsung. Jangka waktu berlakunya penlok diberikan selama tiga tahun dan dapat diperpanjang tanpa memulai proses dari awal.

Seperti diketahui ada empat tahapan dalam proses pengadaan tanah, yaitu perencanaan, persiapan, penyerahan hasil serta pelaksanaan. “Dalam tahapan perencanaan, ini merupakan kewenangan instansi yang membutuhkan pengadaan tanah. Lalu, untuk persiapan merupakan wewenang kepala daerah. Kemudian untuk pelaksanaan merupakan tugas pokok dari Kementerian ATR/BPN,” ujar Direktur Bina Pengadaan dan Pencadangan Tanah.

Baca juga  Pendaftaran Tanah serta Perbaikan Internal sebagai Upaya Meminimalisir Sengketa dan Konflik Pertanahan

Keempat siklus pengadaan tanah itu diatur dalam PP Nomor 19 Tahun 2021. “Dalam PP tersebut, untuk dokumen perencanaan pengadaan tanah, baik skala kecil maupun skala besar harus diperhatikan juga kesesuaian tata ruang. Tata ruang ini menjadi landasan utama dan ini perlu diperhatikan dalam aspek perencanaan,” kata Nurhadi Putra.

Dalam tahapan persiapan, PP Nomor 19 Tahun 2021 menekankan bahwa harus terdapat kesepakatan lokasi dengan pihak yang berhak maupun pengelola barang serta pengguna barang. Kesepakatan lokasi tersebut didapat melalui konsultasi publik. Dalam tahapan ini peran gubernur penting karena bagaimana mewujudkan bahwa lokasi yang ditetapkan akan dilakukan pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Adanya kesepakatan lokasi ini, harapannya tidak ada masyarakat yang menolak karena sebenarnya kesepakatan sudah dicapai melalui konsultasi publik tadi.

Nurhadi Putra juga mengungkapkan bahwa dalam tahapan pelaksanaan, nilai ganti kerugian adalah layak dan adil. Ia menambahkan yang menjadi obyek penilaian adalah tanah, ruang atas tanah dan ruang bawah tanah, bangunan, tanaman, serta benda yang berkaitan dengan tanah. “Ini merupakan kerugian fisik langsung dan dinilai berdasarkan harga pasar,” katanya.

Baca juga  Wujudkan Perjanjian Kerja Sama Kementerian ATR/BPN-Polri, Menteri AHY & Kapolri Sepakat Cegah Masyarakat Jadi Korban Konflik Pertanahan

Selain mengganti kerugian fisik, PP Nomor 19 Tahun 2021 juga menilai ganti rugi non fisik. Kerugian non fisik antara lain kehilangan pekerjaan, bisnis/alih profesi, kerugian emosional (solatolium), dan kerugian karena sisa tanah dan fisik lainnya. Lalu dikenal juga beban masa tunggu. Dalam hal ini, terdapat jarak masa tunggu antara penlok dengan syarat pembayaran ganti kerugian. “Dengan adanya ganti rugi fisik, ganti rugi non fisik maupun masa tunggu tadi, seharusnya nilai ganti kerugian tidak lebih rendah dari nilai properti,” kata Nurhadi Putra.(RH/TA/YS).

#KementerianATRBPN
#MelayaniProfesionalTerpercaya
#MajuDanModern
#MenujuPelayananKelasDunia