Jakarta – Sebagai upaya penguatan kewenangan penetapan tanah telantar, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) melalui Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang menggelar sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar via webinar pada Rabu (17/03/2021).
Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan A. Djalil menyampaikan bahwa dengan adanya PP Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar ini dapat menjadi perhatian masyarakat agar menjaga kepemilikan tanahnya. Menurut Sofyan A. Djalil, banyak kasus pemilik tanah yang menelantarkan tanahnya bertahun-tahun dan berusaha mengkonfirmasi hak atas tanahnya ke BPN beberapa puluh tahun kemudian. Tentunya ini kurang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa tanah harus berfungsi secara sosial dan memberikan manfaat kepada pemilik tanah.
Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, Himawan Arief Sugoto dalam kesempatan ini memaparkan bahwa PP Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar ini merupakan pembaruan dari peraturan serupa sebelumnya yang tidak optimal implementasinya, di mana terdapat beberapa permasalahan sehingga Kementerian ATR/BPN kesulitan untuk menerapkan penetapan tanah dan kawasan telantar. “Adanya peraturan pemerintah ini dapat menciptakan kepastian hukum dan siklus serta tata kelola good governance,” tutur Himawan Arief Sugoto.
Hal serupa disampaikan oleh Budi Situmorang selaku Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang. Budi Situmorang memaparkan bahwa latar belakang PP Nomor 20 tahun 2021 tentang Penerbitan Kawasan dan Tanah Telantar ini berasal dari amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Dalam UUCK menyebutkan bahwa tanah/kawasan yang dengan sengaja ditelantarkan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak diberikan, akan dicabut dan dikembalikan kepada negara. Hal ini yang mendasari pemerintah untuk dapat menetapkan hak, izin atau konsesi tersebut nantinya sebagai aset Bank Tanah.
Tak hanya perihal UUCK, namun berdasarkan pengalaman yang sudah ada dalam implementasi PP Nomor 11 tahun 2010, bahwa Kementerian ATR/BPN sering kesulitan dalam perkara Tata Usaha Negara Penetapan Tanah Terlantar karena proses administrasi dan prosedur. Menurut Budi Situmorang, tujuan adanya revisi ini selain menjamin kepastian hukum, juga mewujudkan kemanfaatan atas tanah serta memperkuat fungsi sosial Hak Atas Tanah. “Ini tentunya memiliki berbagai tujuan yang berujung pada terwujudnya keadilan pertanahan dalam rangka Reforma Agraria,” tambah Budi Situmorang.
Lebih lanjut, dalam PP Nomor 20 tahun 2021 tentang Penerbitan Kawasan dan Tanah Telantar, terdapat klasifikasi objek untuk penertiban kawasan dan tanah telantar. Dalam objek penertiban kawasan telantar, terdiri dari kawasan pertambangan, kawasan perkebunan, kawasan indsutri, kawasan pariwisata, kawasan perumahan/pemukiman skala besar/terpadu serta kawasan lain yang penggunaannya berdasarkan perizinan berusaha sesuai dengan pemanfaatan tanah dan ruang.
Untuk objek penertiban tanah telantar, terdiri dari Tanah Hak Milik, Tanah Hak Guna Bangunan (HGB), Tanah Hak Guna Usaha (HGU), Tanah Hak Pakai dan Tanah Hak Pengelolaan. Masing-masing mempunyai karakteristik yang sama yakni tidak dimanfaatkan dan dipelihara sesuai dengan kewajiban yang telah ditetapkan pada konsesi atau perizinan berusaha atau rencana pemanfaatan kawasan.
Sosialisasi PP Nomor 20 tahun 2021 tentang Penerbitan Kawasan dan Tanah Telantar ini dimoderatori dengan apik oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat Yulia Jaya Nirmawati. Merupakan sosialisasi kedua dari serangkaian sosialisasi peraturan pemerintah pelaksanaan UUCK di Lingkungan Kementerian ATR/BPN. Webinar ini diikuti sekitar 1000 peserta dari Kementerian ATR/BPN, Kantor Wilayah BPN, Kantor Pertanahan seluruh Indonesia. (AR/RH/FM)
#KementerianATRBPN
#MelayaniProfesionalTerpercaya
#MajuDanModern
#MenujuPelayananKelasDunia