Jakarta – Kawasan perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak hingga Cianjur yang selanjutnya dikenal dengan kawasan perkotaan Jabodetabek-Punjur merupakan kawasan strategis nasional yang dilihat dari sudut kepentingan ekonomi, terdiri atas kawasan perkotaan inti dan kawasan perkotaan di sekitarnya yang membentuk kawasan metropolitan. Kawasan ini dinilai sangat dinamis karena dengan luas wilayah 7.062 km², Jabodetabek-Punjur mengalami laju pertumbuhan penduduk 2,9% per tahun sehingga membuat kawasan ini menjadi kawasan metropolitan terbesar di Indonesia, dan terbesar kedua di dunia setelah Tokyo.
“Memang perkembangan Jabodetabek-Punjur sangat dinamis. Hal ini dapat dilihat dari perubahan penggunaan lahannya di mana rasio konversi lahan menunjukkan 48% lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun dan 24% konversi lahan sawah menjadi bangunan,” papar Direktur Jenderal (Dirjen) Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Abdul Kamarzuki saat menjadi narasumber pada kegiatan Jabodetabek Study Forum yang diadakan secara virtual oleh Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB University pada Kamis (11/06/2020).
Lebih lanjut, Abdul Kamarzuki mengungkapkan, terdapat 6 (enam) isu strategis kawasan Jabodetabek-Punjur sehingga dibuat kebijakan baru yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur. “Terdapat 6 (enam) isu yang ditinjau yaitu banjir, ketersediaan air baku, sanitasi dan persampahan, permasalahan pesisir dan pulau reklamasi, kemacetan dan juga antisipasi pemindahan Ibu Kota Negara,” ungkapnya.
Dari 6 (enam) isu strategis tersebut, banjir dan macet memang sudah menjadi momok bagi masyarakat Jabodetabek-Punjur, khususnya di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Untuk itu, dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2020 dikembangkan konsep penanganan banjir melalui konsep pola ruang: Jabodetabek-Punjur Sebagai Kawasan Terpadu Hulu, Tengah, Hilir hingga Pesisir. “Dengan diaturnya konsep pola ruang ini, maka kawasan yang masuk dalam hulu, tengah, hilir dan pesisir masing-masing memiliki peran. Kawasan hulu berperan sebagai kawasan lindung dan sumber air, kawasan tengah berperan sebagai kawasan penyangga dan resapan air, kawasan hilir berperan sebagai kawasan budidaya dan kawasan pesisir berperan sebagai lindung pesisir dan kawasan budidaya,” ujar pria yang akrab disapa Uki.
Selain itu, untuk meminimalisir terjadinya banjir di kawasan Jabodetabek-Punjur, penanganan banjir juga dilakukan melalui penetapan Situ, Danau, Embung dan Waduk (SDEW) yang saat ini hanya ada di 305 titik. “Penetapan SDEW juga merupakan salah satu upaya pengendali banjir yang terus dilakukan, karena terdapat pengurangan SDEW dari tahun 2008. Dari yang tadinya terdapat 525 SDEW, saat ini hanya 305 SDEW. Tentunya hal ini sangat berpengaruh terhadap pengendalian banjir di kawasan Jabodetabek-Punjur,” kata Dirjen Tata Ruang.
Di dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2020 juga dikembangkan penyelesaian isu kemacetan yang hingga saat ini dirasa belum berhasil teratasi. “Masalah kemacetan akan diatasi oleh transportasi massal berbasis rel seperti Kereta Rel Listrik (KRL), Lintas Rel Terpadu (LRT), Moda Raya Terpadu (MRT) dan Kereta Api (KA) Bandara dan juga 24 rencana titik pengembangan Transit Oriented Development (TOD),” tutur Abdul Kamarzuki.
Di akhir paparannya, Dirjen Tata Ruang menambahkan bahwa di dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2020 telah memperhitungkan sedikitnya 3 (tiga) aspek yaitu sosial, lingkungan dan ekonomi secara berkelanjutan sehingga dapat mencapai tujuan perencanaan tata ruang. “Dengan Perpres ini kami harapkan dapat mewujudkan penyediaan ruang bagi pengembangan ekonomi dan pusat aktivitas perkotaan dalam suatu metropolitan yang terpadu dan mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan,” ucapnya. (LS/TA)
#MaskerUntukSemua
#jagajarak
#BERSATUTANGGUH…BERSATUSEMBUH
#tidakmudik