Jakarta (majalahagraria.today) – Latar belakang dilaksanakannya penandatanganan perjanjian kerja sama antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam memberantas mafia tanah di tahun 2017 silam diantaranya adalah karena sengketa pertanahan tidak hanya beraspek pada administrasi perdata saja, tetapi juga sering kali terdapat praktik pidana di dalamnya.
“Ada keterbatasan Kementerian ATR/BPN dalam menangani sengketa pertanahan pada aspek pidana, karena hal itu merupakan kewenangan dari Polri,” ujar Direktur Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, RB Agus Widjayanto dalam acara #TanyaATRBPN yang dilaksanakan di Aula Prona Lantai 7 Kementerian ATR/BPN, Jakarta, Selasa (25/02/2020).
RB Agus Widjayanto menambahkan bahwa tujuan utama dari dilakukannya kerja sama tersebut adalah pencegahan dan penertiban administrasi pertanahan yang menyebabkan terjadinya sengketa pertanahan. “Tujuan utamanya adalah pencegahan, kalau orang melakukan pelanggaran hukum dan dihukum pidana, mungkin kita berharap orang lain akan berpikir ulang. Ini adalah efek pencegahan sehingga di dalam kerja sama itu ujungnya ada dua hal, selain pencegahan, kalau memang ada kesalahan administrasi kita pelan-pelan akan menertibkan administrasi pertanahan,” tambah RB Agus Widjayanto.
Untuk diketahui, sengketa pertanahan akibat mafia tanah yang menjadi target kerja dari Kementerian ATR/BPN dengan Polri pada tahun 2020 sedikitnya terdapat 61 kasus. Dalam penyelesaiannya tentu dilakukan dengan kerja sama dan cara kerja yang baik. “Bentuk kerja sama yang kita lakukan dalam mendeteksi pergerakan mafia tanah salah satunya adalah dengan berbagi data dan informasi yang berawal dari pengaduan masyarakat,” ucapnya.
“Pengaduan itu tidak hanya disampaikan ke Kementerian ATR/BPN, sering juga pengaduan yang sama disampaikan ke Kepolisian. Jadi ketika kita ada pengaduan kita lihat ada aspek pidananya, atau biasanya di kepolisian ada masalah pertanahan yang memerlukan data dari BPN bagaimana prosesnya. Jadi ketika ada hal seperti itu, kita langsung duduk bersama melakukan paparan, berbagi data dan informasi, kemudian kita tentukan langkahnya,” terang RB Agus Widjayanto.
Sebagai imbauan, saat ini modus yang dilakukan oleh para mafia tanah yang terindikasi pidana semakin banyak, diantaranya adalah pemalsuan alas hak atau pemalsuan surat kuasa yang digunakan untuk mengurus sertipikat pengganti. “Kasus seperti ini kan sudah terencana dan terorganisir, jadi kita lakukan pencegahannya juga melalui kerja sama tadi,” tuturnya.
Dengan cara kerja yang sudah dilakukan, menunjukkan keseriusan Kementerian ATR/BPN dan Polri dalam melakukan pencegahan sengketa pertanahan akibat ulah mafia tanah. “Untuk itu, kita harap mafia tanah akan jera dan tidak coba-coba untuk melakukan perbuatan pidana yang melanggar hukum,” imbau RB Agus Widjayanto. (LS/RE/JR)