Yogyakarta – Pertanahan serta agraria memang memiliki Undang-Undang inti dalam mendukung kegiatannya. Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Undang-Undang ini dibuat oleh pemerintah pada 24 September 1960 guna mengatur sektor agraria dan pertanahan. Pada tahun tersebut juga, berlakunya hak-hak atas tanah yang kita kenal sekarang.

Seiring berjalannya waktu, UUPA memang tetap eksis, tapi kondisi pertanahan di Indonesia terus berkembang. Salah satunya perkembangan ekonomi dan kebutuhan akan investasi. Berdasarkan hal tersebut, DPR RI bersama Pemerintah menggagas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan. “Untuk memperkaya muatan dalam RUU Pertanahan, kami membuka dialog dengan banyak pihak,” ujar Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan A. Djalil saat menjadi pembicara pada seminar RUU Pertanahan di Hotel Grand Keisha, Yogyakarta, Jumat (15/11).

“Kita akan bentuk tim yang akan menjelaskan kepada kalangan LSM maupun universitas serta kita juga meminta masukan dari mereka untuk memperkaya RUU Pertanahan,” sambung Sofyan A. Djalil.

Untuk mendukung perkembangan ekonomi dan mengundang hadirnya investasi ke Indonesia, Menteri ATR/Kepala BPN mengungkapkan bahwa ada beberapa hal baru yang dimuat dalam RUU Pertanahan ini. “Banyak hal-hal baru dalam RUU Pertanahan. Salah satunya mengatur hak di atas tanah dan hak di bawah tanah. Selain itu, RUU Pertanahan juga mengatur harga tanah. Tentu kita tahu, harga tanah di perkotaan sudah sangat mahal. Generasi sekarang sulit memiliki tanah, untuk itu perlu kita atur dalam RUU Pertanahan,” tambah Menteri ATR/Kepala BPN.

Lebih lanjut, Menteri ATR/Kepala BPN mengutarakan bahwa saat ini negara tidak punya tanah. Untuk itu, melalui RUU Pertanahan dikenalkan istilah Bank Tanah atau Lembaga Pengelolaan Tanah. “RUU Pertanahan mengenalkan Lembaga Pengelolaan Tanah atau Bank Tanah. Lembaga ini mengelola tanah yang bersumber dari tanah terlantar dan tanah yang sudah habis haknya (HGB dan HGU). Ini akan digunakan untuk menciptakan keadilan sosial, yakni melalui program Reforma Agraria dan untuk mendukung pembangunan negara kita,” ujar Sofyan A. Djalil.

Baca juga  Selesai Akhir 2021, Pemerintah Pastikan Bandara di Kediri Mulai Dibangun Awal 2020

Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Gajah Mada (UGM), Nurhasan Ismail mengatakan bahwa RUU Pertanahan ini tidak memberi hambatan kepada bisnis properti. “Melalui RUU Pertanahan, bisnis properti tidak akan terhambat, kecuali oleh birokrasi. Karena melalui RUU Pertanahan, bisnis properti dapat memperoleh tanah untuk keperluan usahanya melalui tiga jaminan, yakni pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan oleh investasi swasta, perjanjian pemanfaatan tanah yang dipunyai instansi pemerintah terutama yg berstatus HPL, melalui lembaga pengelolaan tanah (Bank Tanah). Kedua, terbuka untuk memperoleh tanah untuk luas yang pengusaha properti inginkan bukan yang diatur oleh pemerintah. Ketiga, perluasan konsumen, yakni orang asing bisa memperoleh bangunan dengan status HGB,” ujar Nurhasan Ismail.