Reforma agraria adalah salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas masyarakat serta mengatasi kesenjangan kepemilikan tanah. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria, pertanahan dan tata ruang mencatat beberapa capaian dari pelaksanaan program reforma agraria.
Melalui nawa cita yang kemudian dijadikan rujukan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019, hingga awal Agustus 2019, pencapaian reforma agraria antara lain: tanah transmigrasi dengan realisasi penerbitan sertipikat 109.901 bidang atau seluas 73.633,67 Ha, legalisasi tanah masyarakat melalui PRONA & Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dengan realisasi sertipikat sebanyak 14.965.338 bidang atau seluas 3.295.271 Ha, redistribusi tanah yang berasal dari Hak Guna Usaha (HGU) habis dan tidak diperpanjang, tanah terlantar dan Tanah Negara lainnya dengan realisasi sebesar 573.432 bidang atau seluas 440.085 Ha, dan redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan dengan realisasi penerbitan sertipikat 25.310 bidang atau seluas 19.490 Ha.
“Secara agregat, berdasarkan capaian tersebut yang masih memerlukan perhatian lebih adalah penerbitan sertipikat tanah transmigrasi dan redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan karena capaiannya masih rendah. Sedangkan untuk legalisasi tanah masyarakat dan redistribusi tanah dari HGU habis, tanah terlantar dan Tanah Negara lainnya sudah on the track,” ujar Muhammad Ikhsan, Direktur Jenderal Penataan Agraria saat diwawancarai di Jakarta, Senin (12/08).
Untuk memperoleh pencapaian kinerja reforma agraria tersebut, bukanlah perkara yang mudah, karena banyak kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya, yaitu keterbatasan objek yang tersedia, namun di sisi yang lain subjek yang membutuhkan tanah sangat banyak, serta banyaknya sengketa dan konflik agraria yang terkait dengan HGU yang dikuasai masyarakat maupun penguasaan tanah dalam kawasan hutan.
Untuk penyelesaian terhadap HGU-HGU yang dikuasai masyarakat misalnya, dapat diselesaikan melalui win-win solution, yaitu terhadap yang sudah dikuasai masyarakat diberikan/dilepaskan kepada masyarakat dan terhadap yang masih dikuasai dan diusahakan oleh pemegang hak dapat diperpanjang HGU-nya oleh Pemerintah.
Untuk perusahaan pemegang HGU diharapkan dapat menerapkan pola kemitraan dengan petani di sekitar lokasi HGU dengan bertindak sebagai avalis atau bapak angkat dan membangunkan kebun masyarakat, sehingga masyarakat di sekitar lokasi HGU dapat merasakan peningkatan ekonomi sebagai salah-satu indikator meningkatnya kesejahteraan.
Untuk penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 sebagai solusinya.
Lebih lanjut, Muhammad Ikhsan menyampaikan banyaknya sengketa dan konflik agraria juga disebabkan karena banyak bidang tanah di wilayah Republik Indonesia yang belum terdaftar.
“Untuk itu, Pemerintah mempunyai target untuk menuntaskan mendaftar seluruh bidang tanah yang ada di Indonesia sampai dengan Tahun 2025. Sebagai gambaran, saat ini terdapat sekitar 70 juta bidang tanah yang belum terdaftar, sehingga perkiraan target tiap-tiap tahun sekitar 14 juta bidang,” ujarnya.
Untuk melaksanakan reforma agraria agar berjalan dengan baik, yang tidak kalah penting adalah kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) terutama kebutuhan SDM untuk pengukuran sebagai prasyarat dalam proses mendaftar seluruh bidang tanah.
Saat ini Kementerian ATR/BPN menyiapkan berbagai strategi yang terkait dengan kebutuhan SDM ini, yaitu penerimaan juru ukur Aparatur Sipil Negara (ASN), penggunaan Kantor Jasa Surveyor Kadaster Berlisensi (KJSKB), memperbanyak penggunaan tenaga lulusan sekolah vokasi yang berasal dari pendidikan tinggi yang menunjang pada penguasaan keahlian terapan pengukuran, menggunakan alat pengukuran dengan teknologi terkini, dan penggunaan data berbasis teknologi atau digital.
Terakhir, Muhammad Ikhsan menekankan bahwa reforma agraria itu penataan aset plus penataan akses, sehingga reforma agraria tidak akan berhasil apabila hanya dilaksanakan melalui penataan aset (legalisasi aset atau redistribusi tanah) tanpa adanya penataan akses atau pemberian akses reform atau pemberdayaan masyarakat, “Karena dengan pemberian akses reform diharapkan dapat menjadi daya ungkit bagi pengembangan perekonomian masyarakat yang berbasis agraris sehingga dapat menjadi multiplier effect dalam pertumbuhan perekonomian nasional,” ujarnya. (NA)