JAKARTA – Keberhasilan mempertahankan pertumbuhan ekonomi di angka lima persen dan menurunkan tingkat pengangguran serta kemiskinan, tak membuat Pemerintah Indonesia lengah dalam memperbaiki tingkat pemerataan pembangunan dan peningkatan akses, serta kesempatan bagi seluruh masyarakat.

Upaya pemerataan pembangunan ekonomi secara terus menerus perlu diperbaiki, mengingat hingga 2017, sekitar 46,41 persen dari PDB nasional masih dinikmati 20 persen golongan pendapatan teratas, 36,47 persen dinikmati 40 persen penduduk golongan pendapatan menengah, dan hanya 17,12 persen dinikmati 40 persen kelompok golongan pendapatan terbawah.

Secara spasial, struktur perekonomian Indonesia pun masih didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera sebesar 80,44 persen. Sementara, Pulau Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku serta Papua hanya sekitar 19,56 persen.

Pendekatan pembangunan yang berorientasi hanya kepada pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan eksklusi sosial, yaitu ketimpangan sosial, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan. Untuk itu, Indonesia membutuhkan paradigma pembangunan baru yang lebih inklusif.

Dalam rangka menyamakan persepsi antar pelaku pembangunan, termasuk perguruan tinggi dan lembaga penelitian demi mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkualitas dan inklusif, Kementerian PPN/Bappenas menggelar public hearing untuk sosialisasi sekaligus menjaring masukan terhadap hasil perhitungan Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif (IPEI) di tingkat kabupaten/kota seluruh Indonesia yang akan resmi dirilis di Indonesia Development Forum (IDF) 2019 pada 22-23 Juli mendatang di Jakarta Convention Centre.

Perumusan kebijakan ekonomi ke depan diharapkan lebih berkualitas dan fokus pada perbaikan 21 indikator IPEI. Pendekatan yang digunakan dalam penentuan indeks bersifat terbuka dan tidak kaku sehingga dapat dikembangkan sesuai dinamika kebutuhan pembangunan ekonomi.

Baca juga  Diskusi Bersama Media Di Istana, Menteri Bambang Sampaikan Timeline Pemindahan Ibu Kota Negara Hingga 2024

Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif atau IPEI adalah instrumen yang telah dikembangkan Kementerian PPN/Bappenas untuk mengukur, memantau, dan mengendalikan kualitas pembangunan ekonomi dari tahun ke tahun, terutama terkait kemampuannya dalam menciptakan akses dan kesempatan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan, serta mengurangi kesenjangan baik antar kelompok maupun wilayah. Dengan terukurnya tingkat perkembangan kualitas pembangunan ekonomi, saya harap intervensi kebijakan dalam menentukan prioritas pembangunan ekonomi di tingkat nasional maupun daerah dapat menjadi lebih mudah,” jelas Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro pada acara Public Hearing: Indeks Pembangunan Ekonomi Inklusif, Kamis (25/4).

IPEI terdiri atas delapan sub pilar dengan total 21 indikator yang dibangun berdasarkan tiga pilar utama. Pertama,
pilar Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, meliputi pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan infrastruktur ekonomi.

Kedua, pilar Pemerataan Pendapatan dan Pengurangan Kemiskinan, mencakup ketimpangan dan kemiskinan. Ketiga, pilar Perluasan Akses dan Kesempatan, terdiri atas kapabilitas manusia, infrastruktur dasar, dan keuangan inklusif. Periode 2011-2017, capaian IPEI nasional secara berturut-turut adalah 4,78, 4,89, 5,09, 5,23, 5,41, 5,64, dan 5,75.

Namun, IPEI 2018 belum dapat dihitung mengingat belum semua indikator telah dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

“Di 2017, tiga provinsi capaian tertinggi adalah DKI Jakarta sebesar 7,36, Bali sebesar 6,49, dan DI Yogyakarta sebesar 6,44. DKI Jakarta juga mendapatkan nilai indeks tertinggi dalam pilar pertumbuhan ekonomi sebesar 7,78, sedangkan provinsi paling tidak inklusif adalah Papua dengan nilai 3,07 dari nasional 5,46. Bangka Belitung mendapatkan nilai indeks tertinggi dalam pilar pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan sebesar 7,76, sedangkan provinsi dengan nilai yang tidak memuaskan masih Papua dengan nilai 3,59 dari nasional 6,30. DI Yogyakarta mendapatkan nilai indeks tertinggi dalam pilar perluasan akses dan kesempatan sebesar 7,83, sedangkan provinsi dengan nilai terendah juga Papua dengan nilai sebesar 4,07 dari nasional adalah 5,83. Temuan fakta bahwa Papua memiliki capaian IPEI terendah nasional di 2017 membantu pemerintah menentukan target pembangunan dan arah kebijakan yang tepat untuk Papua,” pungkas Menteri Bambang.