Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang berlaku saat ini dinilai tidak lagi mengakomodir kondisi yang sudah banyak berubah di masyarakat, UUPA harus dilengkapi dengan peraturan yang lebih spesialis atau spesifik mengenai perkembangan pertanahan saat ini. Hal ini guna terciptanya keseimbangan tata guna tanah sehingga dapat dinikmati secara baik dan optimal oleh masyarakat maupun negara.

“Target Pemerintah saat ini, menghasilkan Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang bisa menjawab tantangan permasalahan pertanahan dan tata ruang kedepan. Fungsi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) baru sebagai administrator di bidang pertanahan dan tata ruang, yang akan kita dorong ke depan ATR/BPN bisa sebagai regulator tanah, ruang, dan administrator,” ujar Sekretaris Jenderal, Himawan Arief Sugoto pada acara _Forum Group Discussion (FGD)_ Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan di Hotel Grand Inna, Bali, Jumat (15/3).

Himawan Arief Sugoto menambahkan ada beberapa yang menjadi pertimbangan dalam penyusunan RUU Pertanahan, di antaranya _One Map Policy for Single Land Registration System,_ Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) menuju sistem positif, pengendalian penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan ruang mendukung ketertiban penggunaan, pemanfaatan tata ruang dan tanah menuju Ekonomi Berkeadilan, perubahan dan penambahan jangka waktu Hak Guna Bangunan untuk mendukung perumahan berbasis vertikal, pembentukan Bank Tanah untuk penyediaan tanah untuk kepentingan umum, pelaksanaan Reforma Agraria, keadilan hukum pertanahan bagi masyarakat hukum adat serta Pembentukan Peradilan Pertanahan dan Penegakan Hukum.

Baca juga  Kolaborasi Implementasi Kebijakan FOLU Net Sink 2030, Sekjen KLHK Teken MoU Dengan IOJI Dan ICEL

“Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai kepentingan agar hal berkaitan dengan masalah pertanahan yang sudah begitu banyak di luar jangkauan undang-undang yang ada, harus dibuatkan payung hukum yang lebih jelas. Sehingga masyarakat bisa merasakan ada kepastian hukum tentang hal yang berkaitan dengan pertanahan, itu kenapa DPR berinisiatif mengajukan usul tentang RUU Pertanahan ini, mudah-mudahan bisa diselesaikan pada periode DPR 2014-2019,” ujar Ketua Komisi II Zainudin Amali.

Pelaksanaan FGD RUU Pertanahan di Bali ini sebagai rangkaian kegiatan yang telah dilakukan di beberapa tempat dan terakhir di Yogyakarta ketika sebelumnya sudah dilakukan dibanyak tempat. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan masukan dan menyatukan pandangan dari para pemangku kepentingan, akademisi dari Lembaya Swadaya Masyarakat, para pelaku bidang pertanahan dan dari instansi terkait di pemerintahan pusat dan daerah.

Baca juga  Menteri LHK Serahkan Dokumen Persetujuan Pendirian Pusat Koordinasi Pengendalian Pencemaran Asap Lintas Batas ASEAN

Diharapkan masukan ini akan memperkaya materi yang dibahas dalam pembahasan RUU pertanahan, saat ini tahapan RUU Pertanahan sudah memasuki perumusan dan sinkronisasi.

Memang sangat diperlukan kedetailan dan pembahasan yang mendalam mengenai RUU Pertanahan ini agar bisa menjawab seluruh persoalan dan kekhawatiran masyarakat mengenai pertanahan dan tata ruang. Hal itu berguna untuk meminimalisir munculnya masalah di masa depan. (NA/TA)