Berikut sekilas cerita tentang terjadinya Hutan Negara di Kabupaten Kulon Progo pada umumnya dan di Kalibiru pada khususnya.

SEBELUM TAHUN 1930
Hutan Negara dahulu merupakan Perkampungan. Pada era sebelum tahun 1930, “Hutan Negara” yang ada Kabupaten Kulon Progo sekarang ini, merupakan perkampungan penduduk yang dihuni sejak lama secara turun-temurun.

Penduduk di kawasan ini bekerja sebagai petani tradisional dengan luas lahan pertanian yang sangat terbatas.

TAHUN 1930 – 1945
Penutupan Kawasan oleh penjajah Pemerintah Hindia Belanda menetapkan sebagian perkampungan menjadi kawasan tertutup untuk semua kegiatan rakyat. Kawasan ini akan dijadikan hutan penghasil kayu. Penduduk dipaksa keluar dari kawasan tanpa diberikan kompensasi yang layak.

TAHUN 1945 – 1949
Status kawasan tutupan menjadi Hutan Negara. Pada masa ini
penguasaaan kawasan hutan diambilalih oleh Pemerintah Indonesia, yang kemudian ditetapkan sebagai “Hutan Negara”. Secara keseluruhan Hutan Negara yang ada di Kabupaten Kulon Progo seluas 1.047 Ha, dan sebagian besar merupakan lahan berbukit di sepanjang perbukitan Menoreh.

TAHUN 1949 – 1964
Masa kondisi Hutan sangat bagus. Pemerintah berhasil melakukan reboisasi di kawasan Hutan Negara. sehingga kawasan ini betul-betul mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Kawasan ini mampu menjadi daerah tangkapan air yang sangat baik.

Mata air mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama, sehingga pemukiman di sekitar kawasan ini tidak pernah mengalami kekeringan.

Keawetan tanah juga lebih terjaga, tanah longsor hampir tidak pernah terjadi. Demikian juga bencana banjir dapat dicegah. Di sisi lain, keanekaragaman hayati baik berupa tanaman maupun satwa juga terjaga dengan baik.

Baca juga  Ketua SIEJ: Green Press Community Berpotensi Mendorong Kolaborasi Atasi Perubahan Iklim

Masyarakat merasa nyaman tinggal di sekitar kawasan ini. Kebutuhan hidup dapat dipenuhi dari lahan-lahan pertanian mereka.

TAHUN 1964 – 1998
Kondisi Hutan Negara Kritis Pada periode ini perlahan-lahan kualitas Hutan Negara mulai menurun akibat pengrusakan. Berawal sekitar 1964 – 1965, waktu itu situasi politik Indonesia berada dalam kekacauan akibat adanya pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena desakan kebutuhan ekonomi, mereka memilih jalan pintas dengan cara mencuri kayu di Hutan Negara.

Peluang untuk menebang pohon hutan ini semakin terbuka karena penjagaan keamanan hutan tidak begitu ketat seperti waktu-waktu sebelumnya.

Oknum penjaga hutan (Mandor Hutan) yang mestinya bertugas mengamankan hutan, justru juga terlibat dalam pembalakan hutan tersebut. Hal ini berlangsung terus-menerus hingga kondisi hutan yang dulunya lebat dan bagus, semakin hari semakin berkurang tanamannya.

Puncak dari kerusakan hutan terjadi pada saat terjadi krisis global (1997 – 2000), di mana kontrol Pemerintah terhadap sumberdaya hutan betul-betul lemah, sehingga banyak pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi ini untuk melakukan pembalakan liar.

Akibatnya terjadi penebangan secara besar-besaran di kawasan ini, dan hanya menyisakan sebagian kecil tanaman kayu hutan.

Sangat ironis, karena Hutan Negara hanya tinggal status saja, sementara jika dilihat kondisinya di lapangan tidak bisa disebut sebagai hutan, karena hanya berujud hamparan lahan tanah kosong dan batuan yang hanya ditumbuhi tanaman umbiumbian dan pohon perdu lainnya.

TAHUN 1999 – 2008
Memuncaknya pembalakan hutan yang terjadi antara tahun 1997 – 2000 telah membuat beberapa warga yang peduli terhadap hutan merasa prihatin. Hal ini juga menjadi alasan bagi salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Yayasan Damar, masuk ke wilayah masyarakat di sekitar Hutan Negara tersebut.

Baca juga  Wapres Jusuf Kalla Buka Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2019

Pada akhir 1999, melalui pendekatan terhadap orang-orang yang dianggap peduli terhadap hutan, LSM ini mulai melakukan identifikasi penyebab permasalahan yang mengakibatkan pembalakan hutan tersebut. Kehadiran LSM ini di tengah masyarakat sempat menimbulkan kecurigaan warga. Namun setelah mereka memahami maksud dan tujuannya, perlahan-lahan mereka bisa menerima keberadaan LSM ini.

Pertengahan 2000 dimulai pendampingan secara intensif oleh Yayasan Damar terhadap masyarakat “perambah” Hutan Negara. Pendampingan dilakukan terhadap 7 Kelompok Tani, yang berada
di 3 Desa, 2 Kecamatan hingga tumbuh kesadaran kolektif masyarakat.

Akhirnya pada 15 Februari 2003, Bupati Kulon Progo mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Izin Sementara Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan kepada 7 Kelompok Tani Hutan (KTH) tersebut, untuk jangka waktu 5 tahun.(TEGUHIS)