“Nadiem Makarim boleh besar dengan berderet gelar akademik dan valuasi Gojeknya yang triliunan rupiah, namun dibalik itu, jutaan para mitra ojek online-nya berdarah-darah di lapangan dan jauh dari sejahtera dari segi pendapatan. Intinya ojol mitranya belum happy,” ujar Igun saat dihubungi Antara di Jakarta, Senin.
Igun menyebut dua alasan penolakan Nadiem sebagai menteri. Menurut Igun, kendati Nadiem sudah melepas jabatan di Gojek, Nadiem masih tercatat sebagai pemilik bisnis.
“Artinya, Nadiem menikmati hasil dari Gojek. Karena Nadiem sebagai pendiri Gojek sekaligus pemilik bisnis Gojek walaupun secara struktural melepas jabatan-jabatannya di struktur manajemen Gojek, namun dia pemilik bisnisnya,” kata Igun.
Alasan kedua, menurut Igun, Nadiem belum berhasil mensejahterakan mitra, sebab pendapatan, misalnya bonus, masih sering terpotong.
“Selama ini Gojek terus berkembang dan hasilnya dinikmati oleh korporasi. Di sisi lain, para driver merasa sulit karena pendapatannya tergerus,” kata dia.

GARDA berharap Presiden Joko Widodo tidak hanya melihat dari sisi besarnya valuasi Gojek, yang kini telah menjadi decacorn, namun juga melihat kondisi mitra ojol yang dinilai belum sejahtera.
“Bagaimana mencoba dengan kompetensinya mensejahterakan rakyat Indonesia, apabila korporasi sendiri belum bisa mensejahterakan mitranya,” ujar Igun.
“Untung besar bagi korporasinya namun bagi kami belum sejahtera. Kami tidak harapkan untung besar namun pendapatan harusnya sesuai kerja kami di lapangan, itu dasar kami menolak,” tambah dia.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Driver Online (ADO), Christiansen Ferary Wilmar, mendukung keputusan Presiden Jokowi untuk membawa Nadiem bergabung ke kabinet baru.
“Kami harap dengan menjadi Menteri, pak Nadiem dapat membuat sebuah regulasi yang adil dan setara untuk semua pihak, dan memberikan efek yang baik bagi semua pihak,” ujar Christiansen.
Artikel ini dikutip dari Antaranews.com