Begitulah, di dalam sastra termaktub pengertian proses produksi di depan latar kebudayaan. Sastra dengan demikian bukan hanya persoalan teknik, kiat-kiat artistik yang dapat dikenali dari tampilan luar sebuah karya. Saya percaya, sebuah karya sastra yang baik menyiratkan proses perburuan dan pergulatan makna-makna kebudayaan yang tanda-tandanya terdapat dalam bahasa.
Pada titik ini saya membayangkan seorang sastrawan yang ‘tunduk-tengadah’ (seperti sejumlah narator dalam sastra-sastra pusaka Melayu) dengan pikiran mengembara mengarungi samudera luas tanda-tanda, menginterogasinya, memikirkannya kembali dengan cermat dan hati-hati, lagi dan lagi, untuk kemudian baru membentangkannya sebagai ekspresi pribadi bagi khalayaknya (pendengar, penyimak, pembaca).
Pujangga, yang empunya cerita, dalang, dagang, fakir, gharib, tukang cerita (penamaan diri narator-narator dalam tradisi oral-aural dan naskah Melayu), dan pengarang, sastrawan, penyair, novelis (sebutan untuk produsen sastra di masa kini), memperoleh kewibawaan dari karyanya pertama-tama bukanlah karena ‘utak-atik’ teknik artistik (bakal) karyanya itu, tapi karena kesadaran, sikap, dan keprihatinan terhadap kenyataan (kebudayaan)-nya.
Di dalam taman bahasa yang menggoda, yang tersaji dalam novel pendek Burung Tiung Seri Gading, cerpen “Pengantin Boneka” dan karya-karya fiksinya yang lain, saya melihat jelas sosok Hasan Junus yang bagai pertapa membawa akalbudinya menjelajah dunia memburu tanda-tanda dan menyerlahkan kemungkinan-kemungkinan makna baru bagi kesinambungan kebudayaannya.
Bacalah Hempasan Gelombang dan atau cerpen “Menjadi Batu”, lalu lihat dan rasakanlah perjalanan pencarian makna dan keprihatinan kebudayaan seorang Taufik Ikram Jamil. Simaklah teks-teks Pak Ganti, Pak Taslim, Mak Pilih, Wak Setah, dan banyak tukang cerita lainnya di Riau, niscaya kita menemukan para bijak-bestari di balik tabir teks-teksnya itu, yang dalam setiap denyut kehidupan mereka tak henti-hentinya menghimpun tanda dan makna kebudayaan (realitas) mereka.
Dalam konteks kebudayaan, sastrawan di masa kini –seperti halnya tukang-cerita dalam tradisi lisan– bagi saya adalah ensiklopedi hidup kebudayaannya.
Catatan: Tulisan ini merupakan suntingan terkini atas makalah yang dibentangkan dalam acara Temu Karya Penyair Muda Riau 2008, yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata Provinsi Riau, tanggal 25-26 Juni 2008 di Pekanbaru. Disunting oleh: Sita Rohana.