Tempat sastra dalam kebudayaan
Oleh karena itu, sastra adalah artefak kebudayaan; wujudnya menggunakan unsur-unsur formal kebudayaan (bahasa dan kesenian, misalnya), dan dalam bingkai anggapan fiksionalitasnya yang dikenakan padanya, kenyataan-kenyataan kebudayaan sentiasa terjejaki. Itulah sebabnya orang memerlukan pengetahuan relatif mengenai konvensi budaya yang melatari sebuah sastra sebagai bekal awal untuk menanggapi (memetik makna) karya sastra itu.
Pernyataan terakhir ini bukanlah bermaksud menafikan kemungkinan universalitas satu atau lebih karya sastra, dan menganggap setiap karya sastra ‘terkunci’ di dalam partikularitasnya belaka. Universalitas suatu karya sastra pada akhirnya adalah persoalan khalayak penyimak karya itu sendiri: harapan-harapan apa yang dibawanya dalam dialog dengan karya itu?
Untuk ini, sebagai contoh, saya ingin menyebut Will Derks dan hasil dialognya dengan dua versi cerita lisan Panglimo Awang yang didendangkan oleh Pak Ganti dan Pak Taslim dalam bahasa Melayu logat Rokan. Berdasarkan pembacaan mendalamnya atas transkripsi rekaman dan terjemahan (bahasa Inggris) kedua versi cerita itu, Derks berpendapat bahwa cerita Panglimo Awang yang sangat ‘lokal’ itu terbukti bisa dibaca sebagaimana ‘orang Barat’ membaca karya-karya Thomas Mann dan lain-lain.
Pada peringkat tertentu, pembacaan tersebut menghasilkan makna-makna universal yang sama dengan karya-karya kanonik dalam sastra dunia. (Lihat disertasinya: The Feast of storytelling: on Malay oral tradition, 1994). Sebelum itu, Maier dalam bukunya In the center of authority: the Malay Hikayat Merong Mahawangsa (1988) telah pula ‘mengejar’ dan menyentuh universalitas hikayat Melayu (Kedah) Merong Mahawangsa (yang diperkirakan ditulis pada pertengahan abad ke-19) sebagai sebuah kisahan yang menganjungkan ambiguitas; sebuah gejala yang dalam pensejarahan sastra dunia ditempatkan sebagai ciri sastra mutakhir.
Demikian pula Vladimir Braginsky (1979) dan G.L. Koster (1993/2011), yang dalam penjelajahan mereka atas teks-teks Melayu dari tradisi naskah (oral-aural manuscripts) sampai akhir abad ke-19, telah menemukan keindahan universal sastra Melayu tersebut di balik tampilan partikularnya.